Langsung ke konten utama

Hibah, Hadiah, dan Perlombaan




Disusun oleh :
Al Milatul Mizza  (111-11-056)
Yogi Ari Susanto (111-11-058)
Siti Haniah (111-11-117)
Muhammad Anshori (111-11-125)



      I.            HIBAH
A.    Definisi Hibah.
Hibah secara bahasa berasal dari hubub al-rih, yaitu:
روره لمرور ها من يد الى اخرى                              
Artinya : “Perlewatannya untuk melewatkannya dari tangan kepada yang lain.”
Terdapat pendapat lainnya bahwa bahwa al-hibab diambil dari haba yang berarti
istaiqazha (bangun), yaitu sesuai dengan kalimat :              هب من نومه            
Artinya : “ Terbangun dari tidurnnnya.”
Al-hibah diartikan istiqazha karena:    لان فاعلها استيقظ للا حسا                
Artinya: Perilaku hibah bangkit untuk berbuat kebaikan setelah ia lupa akan kebaikan.[1]

Menurut Zakiyah Daradjat, kata hibah dalam bahasa arab berarti: Kebaikan atau keutamaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak yang lain berupa harta atau bukan. Seperti Zakaria mohon  kepada Allah agar dihibahkan lepadanya keturunan yang baik.[2] Allah swt berfirman:
 tA$s% Éb>u ó=yd Í< `ÏB Rà$©! Zp­Íhè ºpt7ÍhsÛ ( ¨RÎ) ßìÏÿx Ïä!$tã$!$# ÇÌÑÈ
38.  Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah Aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.(Ali Imron: 38)
Menurut terminologi Hibah ialah:
تمليك تطوع في حباة                       
Pemilik yang sunnat ketika hidup.
تمليك منجز مطلق في عين حال الحياة بلا عوض ولو من الاعلى                            
Pemilikan yang munjiz (selesai) dan mutlak pada sesuatu benda ketika hidup tanpa penggantian meskipun dari yang lebih tinggi.
Ada pula yang berpendapat Hibah adalah pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi. Atau dapat dikatakan : Pemberian hak milik secara sukarela ketika masih hidup dan yang ini lebih utama dan singkat.[3]
B.     Hukum Hibah.
Banyak perbuatan Rasulullah yang dapat dijadikan dasar bahwa hibah nukumnya mubah.
Dasar hukum hibah, ialah hadits:
        عن ابى هريرة رضى الله عنه يقول الرسول صلى الله عليه وسلم :
 تها دوا تحابوا 
ِArtinya: Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda: Saling memberilah kamu, niscaya kamu sekalian kasih mengasihi. (HR Bukhary dan Baihaqiy).
Bahwa selain hadits diatas Nabi saw mencela orang – orang yang meminta kembali hibah yang telah diberikannya kepada seseorang,
 berdasarkan hadits :
عن ابى عباس قال: قال النبى (ص): العائد فى هبته كالكلب يقىء ثم يعود فى قيئه ز.
Artinya: dari ibnu ‘Abbas ra ia berkata: Bersabdalah Rasulullah saw: Orang yang meminta kembali hibahnya adalah seperti anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya itu. (HR Bukhary dan Muslim)
Berdasarkan hadits berikut ini, Rasulullah membolehkan seorang muslim menerima pemberian dari orang- orang musyrik.[4]
ان عياضا اهدى الى النبى (ص) هدية فقال له النبى (ص):                                    
 اسلمت ؟ قال: لا: انى نهيت عن زبد المشركينز.
Artinya: Bahwasanya ‘Iyadh memberikan sesuatu kepada Rasulullah sw suatu pemberian, maka berkata Nabi saw kepadanya: Apakah engkau telah masuk islam. Ia menjawab: Tidak. Beliau berkata: Sesungguhnya aku dilarang menolak pemberian orang- orang musyrik.( HR Ahmad dan Ibnu Daud dan Turmudziy)
Ayat-ayat Alquran maupun al-hadis banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu contoh bentuk tolong-menolong adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkanya,[5] firman Allah:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur
Artinya: “... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa.”         (Al-Maidah: 2)
C.     Rukun dan Syarat Hibah
Rukun hibah ada tiga :
a.       Dua belah pihak yang berakad (aqidain).
Terdapat beberapa syarat untuk pemberi Hibah, yakni: harus memiliki hak milik atas barang yang dihibahkan dan mempunyai kebebasan mutlak untuk berbuat terhadap artanya.
b.      Harta yang dihibahkan (mauhub).
Kriterianya adalah setiap benda yang boleh diperjualbelikan boleh dihibahkan, karena dia adalah akad yang bertujuan mendapatkan hak milik terhadap satu barang, maka dia bisa memiliki sesuatu yang bisa dimilikinya dengan cara jual beli, sehingga setiap boleh dijual boleh dihibahkan sebagiannya walaupun barang tersebut banyak.[6]
c.       Shighat hibah, Ialah kata- kata yang diucapkan oleh orang – orang yang melakukan hibah. Karena hibah semacam akad, maka shigat hibah terdiri dari ijab dan qabul. Contoh: si A berkata kepada si B: Aku hibahkan kepadamu B sebidang tanahku yang luasnya 400 m2, yang terletak di desa X, kecamatan Y. Si B menjawab: Aku terima hibah A itu. Sejak waktu itu tanah A beralih menjadi milik B.[7]

D.    Macam- macam Hibah.
Bermacam- macam sebutan orang- orang yang menyerahkan harta, macam- macam hibah sebagai berikut:
a.       Al-hibah, yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya tanpa mengharapkan penggantian (balasan).
b.      Shadaqah, yakni pemberian zat benda dari seseorang kepada orang lain tanpa mengganti dan hal ini dilakukan karena ingin memperoleh ganjaran (pahala) dari Allah Yang Maha Kuasa.
c.       Whasiat, yakni pemberian seseorang kepada yang lain yang diakadkan ketika hidup dan diberikan setelah yang mewasiatkan meninggal dunia.
d.      Hadiah, ialah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan maksud memuliakan.[8]

E.     Persoalan- Persoalan Hibah.
1.      Hibah bersyarat.
Pada hakikatnya pemberian dilakukan dengan tidak mengharap balasan, tetapi pemberian boleh juga dilakukan dengan persyartan, seperti seseorang berkata “Aku berikan ini kepadamu dengan syarat kamu harus menyerahkan pulpenmu kepadaku”.
Dalam pemberian bersyarat, apabila syarat tidak dipenuhi boleh pemberian diminta kembali. Dalam salah satu hadis dikatakan bahwa seseorang laki-laki memberikan sesuatu kepada Rasulullah Saw. dengan mengemukakan beberapa syarat terlebih dahulu, yakni agar Rasul memberikan sesuatu yang disukainya.
2.      Hibah dengan ‘Umra dan Ruqbah.
Bahwa arti kata‘Umra artinya umur, dan ruqbah artinya mengintai. Pemberian dengan ‘umra dan ruqbah adalah perbuatan  orang-orang Arab sejak zaman jahiliah yang kemudian ditetapkan atau dilestarikan keberlakuannya oleh agama islam.
Contohnya : seseorang  berkata: Aku berikan benda ini kepadamu selama engkau hidup. Atau seseorang berkata: jika aku mati sebelum engkau, maka benda tersebut untukmu. Kedua akad tersebut menunjukkan hibah secara ‘umra.
Sedangkan hibah  secara ruqbah karena masing- masing mangintai kematian yang lain. Contoh: jika seseorang berkata: jika engkau mati sebelumk, penberian itu tetap kembalikan kepadaku. Syarat ini batal karena pemberi tetap menjadi milik orang yang diberi. Bila yang diberi telah meninggal dunia, maka benda tersebut menjadi milik para ahli warisma.
3.      Hibah Khitbah.
Merupakan materi yang perlu dibahas dalam
Fiqh Munakahat, tapi dalam pelaksnaannya khitbah di masyarakat Indnesia terdapat pemberian  dari pihak laki laki kepada pihak wanita.[9]

F.      Hikmah Hibah.
a.       Memberi atau hibah dapat menghilangkan penyakit dengki.
b.      Pemberian atau hibah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi.
c.       Hadiah atau pembarian dapat menghilangkan rasa dendam.[10]

     II.            HADIAH
A.    Definisi Hadiah.
Hadiah (hadiyyah) berasal dari kata hadâ wa ahdâ. Bentuk pluralnya hadâyâ atau hadâwâ menurut bahasa penduduk Madinah. Hadiah secara bahasa berarti sesuatu yang Anda berikan (mâ athafa bihi).
         Pengertian ini belum cukup karena tidak semua pemberian merupakan hadiah. Pemberian itu bisa berupa sedekah, wakaf, hibah, pinjaman ataupun wasiat.
Secara istilah, dalam al-Qâmûs al-Fiqhî dinyatakan, menurut ulama Syafiiyah, Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, hadiah adalah tamlîku ’ayn bi lâ ’iwadh ikrâm[an] ilâ al-muhdâ ilayh (pemindahan pemilikan suatu harta tanpa kompensasi sebagai penghormatan kepada orang yang diberi hadiah).
         Dalam Mu’jam Lughah al-Fukahâ’, hadiah adalah al-’athiyah bi lâ ’iwadh ikrâman (pemberian tanpa kompensasi sebagai suatu penghormatan). Hadiah juga bermakna i’thâ’ syay’[in] bighayr ‘iwadh shilat[an] wa taqarrub[an] wa ikrâm[an] (pemberian sesuatu tanpa kompensasi karena adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan sebagai bentukpenghormatan).
Hadiah adalah pemberian oleh orang berakal sempurna sebuah barang yang dimilikinya dengan tidak ada tukarnya serta dibawa ketempat yang diberi karena hendak memuliakannya.[11]

B.     Rukun dan Syarat Hadiah.
Rukun dan syarat hadiah sama dengan hibah untuk terwujudnya suatu hadiah maka mesti memenuhi rukun dan syaratnya sebagai tanda adanya transaksi.
1.      Rukun-rukun hadiah adalah sebagai berikut:
         Ada yang memberi.
         Ada yang diberi.
         Ada ijab dan qabul.
         Ada barang yang diberikan.
2.      Syarat-syarat hadiah adalah sebagai berikut:
         Ijab, yaitu pertanyaan pemberi kepada orang yang ia tanya tentang sesuatu dan ia beri sesuatu dengan senang hati.
         Qabul, yaitu penerimaan oleh penerimaan dengan berkata: “Aku terima apa yang engkau berikan kepadaku”, atau ia menyodorkan tangannya untuk menerimanya, karena jika orang muslim memberi sesuatu kepada saudara seagamanya, namun belum diterima oleh penerimaannya, kemudian pemberi meninggal dunia, maka sesuatu tersebut menjadi hak ahli warisanya dan penerima tidak mempunyai hak terhadapnya.

C.     Hukum Hadiah.
Hukumnya adalah sunnah, karena hal ini merupakan perbuatan baik yang dianjurkan untuk dikerjakan dan berlomba-lomba kepadanya dengan dalil-dalil berikut:
         “Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai” (QS. Ali-Imran: 92).
         “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa” (QS. Al-Maidah: 2).
         “Bukanlah menghadapkan wajah kalian kearah timur dan barat itu suatut kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya” (QS. Al-Baqarah: 177).
Rasulullah saw bersabda:
تهادوا تحابوا وتصافحوا يدهب الغل عنكم
Hendaklah kalian saling memberi hadiah niscaya saling mencintai dan hendaklah kalian saling berjabat tangan niscaya perasaan tidak senang hilang dari kalian” (HR. Ibnu Asakir).
من سره أن يبسط له في رزقه وأن ينسأله في أثره فليصل رحمه
Barang siapa ingin dilapangkan rezkinya dan ditunda (diperpanjang) ajalnya, hendaklah menyambung kekerabatan” (HR. Bukhari)[12]

D.     Hikmah Hadiah.
1.      Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang
2.      Menghilangkan tipu daya dan sifat kedengkian.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :
“Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan
kedengkian” (HR. Abu Ya’la).
“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR. Dailami)
.

   III.            PERLOMBAAN.
A.     Definisi Perlombaan.
Dalam bahasa Arab perlombaan disebut dengan musabaqah. Perlombaan disyariatkan karena termasuk olahrags yang terpuji.  Hukumnya berubah- ubah, bisa sunnat, mubah, bisa pula haram tergantung pada niatnya.
Dalil- dalil tentang perlombaan :
         Dan siapkanlah utuk menghadapi mereka dengan kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda- kuda yang ditambat (Al- Anfal:60).
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Aisyah r.a berkatsa:
         Aku berlomba lari dengan Rasulullah saw. Tetapi aku dapat mengejarnya. Ketika aku mulai gemuk, akupun berlomba lari dengan belia, tetapi beliau dapat mengejarku,. Aku berkata, “Kemenangan ini adalah sebagai imbangan bagi kekalahan itu.”
Perlombaan biasanya menggunakan anak panah, senjata, kuda, bighal, dan keledai. Dalam sebuah hadits dijelaskan Rasulullah saw. Bahwa semua permainan haram kecuali 3 macam, lengkapnya adalah sebagai berikut:Artinya: “setiap permainan adalah haram, kecuali yang tiga macam, permainan seorang laki- laki dengan istrinya, melempar anak panah dari busurnya, dan melatih kuda- kudanya..[13]
Mengenai persiapan jihad, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat” (QS. Al Anfal: 60).
Yang dimaksud dengan kekuatan apa saja, ditafsirkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memanah (HR. Muslim no. 1917).

B.     Syarat-syarat Sah Perlombaan.
Berikut ini syarat sah perlombaan, yaitu :
         Menentukan jenis kendaraan dengan mata kepala.
         Kendaraan yang dipergunakan untuk berlomba harus sama, seperti kuda arab dengan kuda arab dsb.
          Jaraknya harus ditentukan.
         Bila ada hadiah, maka hadiah itu harus mubah dan diketahui.
          Tidak boleh ada unsur perjudian.

C.     Hukum Perlombaan.
Hukumnya selalu berubah-ubah tergantung kegiatannya. Hukum musabaqah ada tiga macam. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “perlombaan ada tiga macam:
1.      Perlombaan yg dicintai oleh Alloh سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم seperti lomba berkuda, memanah dan sebagainya yg tujuannya adalah persiapan untuk jihad. dasarnya adalah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: “Tidak ada perlombaan kecuali pada khuff (unta) atau panah atau hafir (kuda)”. (HR yg lima). Madzhab hanafiyah memasukkan dalam golongan ini perlombaan menghafal Al Qur’an, hadits dan fiqih dan dipilih oleh syaikhul islam ibnu Taimiyah.
2.      Perlombaan yg dibenci oleh Allah سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم yaitu yang dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan dan menghalangi dari dzikir kepada Alloh سبحانه وتعالى dan shalat. Seperti maen kartu remi dsb.
3.      Perlombaan yang tidak dicintai oleh Alloh سبحانه وتعالى tidak juga dimurkai, hukumnya mubah seperti lomba lari, lomba renang, adu gulat dsb.
Hukum Perlombaan Berhadiah. Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata: “Mengambil ‘iwadl (hadiah) dalam perlombaan ada tiga macam:
1.      Perlombaan yang diperbolehkan tanpa hadiah dan tidak boleh mengambil hadiah seperti perlombaan balap mobil, perahu dsb.
2.      Perlombaan yang tidak boleh dilakukan baik dengan hadiah maupun tanpa hadiah, yaitu setiap perlombaan yg menjerumuskan kepada dosa dan permusuhan.
3.      Perlombaan yang diperbolehkan baik dengan hadiah ataupun tidak, yaitu perlombaan dalam memanah, berkuda dan unta sebagaimana ditunjukkan oleh hadits di atas.
Hukum Mengeluarkan Harta (hadiah) Dalam Perlombaan. Para ulama menyebutkan tiga keadaan:
1.      Hadiah dari gubernur atau yang semacamnya. Hukumnya boleh dengan ijma para ulama.
2.      Hadiah dari salah satu peserta lomba, seperti si A berkata kepada kpd si B: ayo lawan aku dalam perlombaan, jika kamu menang saya akan memberikan hadiah untukmu, dan jika kamu kalah maka kamu tidak ada kewajiban apa-apa. Hukumnya juga boleh menurut seluruh ulama kecuali yg diriwayatkan dari Al Qasim bin Muhammad. Namun yang shahih boleh karena ini sama dengan hadiah dan tidak ada makna perjudian.
3.      Hadiah dari semua peserta, dimana setiap peserta mengeluarkan uang dan yang menang mengambil semua uang tsb. Hukumnya: terjadi khilaf para ulama: jumhur menyatakan haram kecuali bila ada pihak ketiga yang disebut muhallil, alasannya karena ini adalah bentuk perjudian karena hakikat perjudian adalah seseorang berada diantara untung atau rugi. Dan ini ada dalam perlombaan seperti itu.
Namun untuk perlombaan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu perlombaan yang mendukung jihad seperti lomba memanah, dan berkuda, syaikhul islam membolehkannya secara mutlak, dan beliau memandang bahwa itu pengecualian dari perjudian karena mashlahatnya besar.
Perlombaan yang tanpa pertaruhan diperbolehkan hal ini karena sudah kesepakatan para ulama. Perlombaan yang menggunakan pertaruhan di bagi menjadi dua yaitu:
         Pertaruhan yang diharamkan. Diharamkan apabila salah satu menang memperoleh hadiah dan yang kalah berutang kepada temannya hal seperti ini sama dengan perjudian.
         pertaruhan yang dihalalkan. Sedangkan perlombaan yang dihalalkan adalah sebagai berikut :
a.       Dibolehkan mengambil hadiah apabila hadiah itu dari penguasa atau yang lain.
b.      Hadiah dikeluarkan dari salah satu pihak yang berlomba
c.       Petaruh itu boleh diambil apabila datang dua orang yang berlomba atau beberapa pihak yang berlomba, sementara diantara mereka terdapat salah atau salah satu pihak itu menerima hadiah itu bila dia menang dan tidak berhutang apabila ia kalah.

D.    Pertaruhan dalam Perlombaan.
Perlombaan dengan pertaruhan dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1.       Pertaruhan yang dihalalkan.
         Dibolehkan mengambil harta dalam perlombaan apabila hadiah itu datang dari penguasa atau yang lain.
          Salah seorang dari dua orang, atau salah satu pihak dari beberapa pihak yang berlomba yang mengeluarkan hadiah.
         Hadiah boleh diambil apabila datang dua orang atau beberapa pihak yang berlomba, sementara diantara mereka ada yang menang dan berhak mendapatkannya dan tidak berhutang.
2.       Pertaruhan diharamkan ulama adalah pertaruhan yang apabila salah seorang pahak yang bertaruh mendapatkan hadiah itu, sedangkan yang kalah dai berhutang kepada temannya. Karena dianggap judi yang jelas-jelas diharamkan oleh ajaran islam.[14] Termasuk kategori menganiaya binatang adalah mengadukan binatang. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas r.a berkata : “Rasulullah Saw. Melarang mengadu diantara binatang-binatang.[15]Untuk lomba yang dibolehkan dengan taruhan seperti yang disebutkan sebelumnya, ada syarat taruhan yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.       Taruhan harus jelas dalam hal jumlah dan sifat (ciri-ciri).
b.       Boleh taruhan dibayarkan saat lomba atau boleh sebagiannya ditunda (dicicil).
c.       Taruhan tersebut bisa jadi ditarik dari salah satu peserta dari dua peserta yang ikut lomba. Salah satunya mengatakan, “Jika engkau mengalahkan saya dalam lomba memanah, maka saya berkewajiban memberimu Rp.100.000”. Ini dibolehkan dan tidak ada khilaf di antara para ulama dalam pembolehan bentuk taruhan semacam ini. Namun ingat sekali lagi bentuk ini berlaku antara dua orang atau dua kelompok.
d.       Taruhan tersebut bisa pula ditarik dari pihak lain semisal dari imam yang diambil dari kas Negara (baitul maal). Karena lomba semacam ini jelas manfaatnya dan turut membantu dalam pembelajaran jihad sehingga bermanfaat luas bagi orang banyak.
e.       Bisa pula taruhan tersebut berasal dari iuran peserta (yang lebih dari dua peserta), seperti masing-masing misalnya menyetorkan iuran awal sebesar Rp.100.000 dan hadiah untuk pemenang akan ditarik dari iuran tersebut. Bentuk ketiga ini disebut rihan (taruhan). Jumhur ulama tidak membolehkan taruhan semacam ini karena ada pihak yang rugi dan ada yang beruntung. [Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24: 128-129] tidak muncul ditengah permainan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Allah.

E.     Jalab dan Janab dalam Petaruh.
Menurut sayyid Sabiq dalam buku fiqh al-Sunnah bahwa Uwais berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jalab adalah meneriaki seekor kuda dari belakang dalam arena perlombaan agar kuda itu menang dalam perlombaannya. Maksudnya seseorang memperlombakan kudanya disertai dengan orang yang meneriakinya agar larinya cepat. Sedangkan janab ialah bila seekor kuda didatangkan oleh seseorang kepada kudanya yang sedang dipelombakan untuk dinaikinya agar secepatnya ia mencapai tujuan.maksudnya seseorang menyediakan seekor kuda lain bersama kuda yang diperlombakan,apabila kuda yang dikendarai lelah, dia pindah kekuda yang telah disediakan itu.[16]

F.      Bermain Nard.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa bermain nard (sejenis dadu) adalah haram. Mereka menyatakan haram berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud dari Buraidah r.a., dari Rasulullah saw bersabda:
“barang siapa bermain nard syir, maka seolah- olah orang itu mencelupkan tangannya kedalam daging dan darah babi.”
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Malik dari Abi Musa r.a., bahwa Nabi bersabda: “ Barangsiapa bermain nadr, maka dia telah maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Al- Syaukani berkata bahwa bermain nadr adalah halal apabila tidak dibarengi dengan taruhan.diriwayatkan dari Ibnu Mughaffal dan Ibnu Musayyab.[17]

G.    Bermain Catur.
Diceritakan didalam kitab Fiqh Sunnah bahwa didalamnya terdapat larangan- larangan bermain catur, tetapi tidak ada satupun diantara hadits tersebut yang shahih. Maka kemudian para fuqaha berbeda pendapat dalam menghukuminya. Diantara mereka yang mengharamkan adalah Abu Hanifah, Imam Malik, dan Ahmad. Imam Syafi’i dan sebagian tabiin berpendapat Makruh, sebab sebagian sahabat telah menerima ctur, demikian juga tabiin yang tidak terhitung banyak.
Abu Hurairah, Sa’id Ibn al- Muzayyab, dan Sa’id Ibn Jubair berpendapat bahwa bermain catur boleh karena nash yang mengharamkannya tidak ada.
Dan orang-orang yang mengatakan bermain catur boleh mengemukan peryaratan- persyaratan sebagai berikut:
1.      Tidak melalaikan kewajiban agama
2.       Tidak dicampuri dengan taruhan,
3.      Tidak muncul di tengah permainan hal- hal yang bertentangan dengan syariat Islam.[18]


 DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz, Muhammad, Fiqh Muamalat, Azamanzah, Jakarta, 2010.
Daradjat Zakiyah, Ilmu Fiqih, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995.
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.



[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010) hal. 209
[2] Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqih (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995) hal. 177.
[3]Muhammad Abdul Aziz, Fiqh Muamalat (Jakarta: 2010) hal. 435.
[4] Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqih...Op. Cit. hal. 179.
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah...Op. Cit. hal. 212.
[6] Muhammad Abdul Aziz, Fiqh Muamalat...Op. Cit. hal. 442-445.
[7] Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqih...Op. Cit. hal. 180.
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah...Op. Cit. hal. 210-211.
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah...Op. Cit. hlm. 214- 216.
[10] Ibid. hal. 218
[11] Ibid. hal. 211.
[12] Abu Bakr Jabir al-Jaziri, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2006), hlm. 568- 569.

[13] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah...Op. Cit. hal.257.
[14] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah...Op. Cit. hal. 259- 260.
[15] Ibid. hal. 262- 263.
[16] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah...Op. Cit. hal. 261.
[17] Ibid. hlm. 263.
[18] Ibid.hal. 264.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.