Disusun oleh :
Al
Milatul Mizza (111-11-056)
Yogi Ari Susanto
(111-11-058)
Siti Haniah
(111-11-117)
Muhammad Anshori
(111-11-125)
I.
HIBAH
A. Definisi Hibah.
Hibah secara bahasa berasal dari hubub al-rih,
yaitu:
روره
لمرور ها من يد الى
اخرى
Artinya : “Perlewatannya untuk melewatkannya dari tangan
kepada yang lain.”
Terdapat pendapat lainnya bahwa bahwa al-hibab
diambil dari haba yang berarti
istaiqazha (bangun), yaitu
sesuai dengan kalimat :
هب من نومه
Artinya : “ Terbangun dari tidurnnnya.”
Al-hibah diartikan istiqazha
karena: لان
فاعلها استيقظ للا حسا
Artinya: Perilaku hibah bangkit untuk berbuat kebaikan
setelah ia lupa akan kebaikan.[1]
Menurut Zakiyah Daradjat, kata hibah dalam bahasa arab
berarti: Kebaikan atau keutamaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak
yang lain berupa harta atau bukan. Seperti Zakaria mohon kepada Allah
agar dihibahkan lepadanya keturunan yang baik.[2] Allah swt berfirman:
tA$s% Éb>u ó=yd Í< `ÏB Rà$©! ZpÍhè ºpt7ÍhsÛ ( ¨RÎ) ßìÏÿx Ïä!$tã$!$# ÇÌÑÈ
38. Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya
seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah Aku dari sisi Engkau seorang anak
yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.(Ali Imron: 38)
Menurut terminologi Hibah ialah:
تمليك
تطوع في حباة
Pemilik yang sunnat ketika hidup.
تمليك
منجز مطلق في عين حال الحياة بلا عوض ولو من
الاعلى
Pemilikan yang munjiz (selesai) dan mutlak pada sesuatu
benda ketika hidup tanpa penggantian meskipun dari yang lebih tinggi.
Ada pula yang berpendapat Hibah adalah pemberian hak
milik secara langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi. Atau dapat dikatakan :
Pemberian hak milik secara sukarela ketika masih hidup dan yang ini lebih utama
dan singkat.[3]
B. Hukum Hibah.
Banyak perbuatan Rasulullah yang dapat dijadikan dasar
bahwa hibah nukumnya mubah.
Dasar hukum hibah, ialah hadits:
عن ابى هريرة رضى الله عنه يقول الرسول صلى الله
عليه وسلم :
تها دوا تحابوا
ِArtinya: Dari Abu
Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda: Saling memberilah kamu, niscaya kamu
sekalian kasih mengasihi. (HR Bukhary dan Baihaqiy).
Bahwa selain hadits diatas Nabi saw mencela orang – orang
yang meminta kembali hibah yang telah diberikannya kepada seseorang,
berdasarkan hadits :
عن ابى عباس قال: قال النبى (ص): العائد فى هبته
كالكلب يقىء ثم يعود فى قيئه ز.
Artinya: dari ibnu ‘Abbas ra ia berkata: Bersabdalah
Rasulullah saw: Orang yang meminta kembali hibahnya adalah seperti anjing yang
muntah kemudian memakan kembali muntahannya itu. (HR Bukhary dan Muslim)
Berdasarkan hadits berikut ini, Rasulullah membolehkan
seorang muslim menerima pemberian dari orang- orang musyrik.[4]
ان
عياضا اهدى الى النبى (ص) هدية فقال له النبى
(ص):
اسلمت ؟ قال: لا: انى نهيت عن زبد المشركينز.
Artinya: Bahwasanya ‘Iyadh memberikan sesuatu kepada
Rasulullah sw suatu pemberian, maka berkata Nabi saw kepadanya: Apakah engkau
telah masuk islam. Ia menjawab: Tidak. Beliau berkata: Sesungguhnya aku
dilarang menolak pemberian orang- orang musyrik.( HR Ahmad dan Ibnu Daud dan
Turmudziy)
Ayat-ayat Alquran maupun al-hadis banyak yang
menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan
salah satu contoh bentuk tolong-menolong adalah memberikan harta kepada orang
lain yang betul-betul membutuhkanya,[5] firman Allah:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur
Artinya: “... dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan
taqwa.” (Al-Maidah: 2)
C. Rukun dan Syarat Hibah
Rukun hibah ada tiga :
a. Dua belah pihak
yang berakad (aqidain).
Terdapat beberapa syarat untuk pemberi Hibah, yakni:
harus memiliki hak milik atas barang yang dihibahkan dan mempunyai kebebasan
mutlak untuk berbuat terhadap artanya.
b. Harta yang dihibahkan
(mauhub).
Kriterianya adalah setiap benda yang boleh
diperjualbelikan boleh dihibahkan, karena dia adalah akad yang bertujuan
mendapatkan hak milik terhadap satu barang, maka dia bisa memiliki sesuatu yang
bisa dimilikinya dengan cara jual beli, sehingga setiap boleh dijual boleh
dihibahkan sebagiannya walaupun barang tersebut banyak.[6]
c. Shighat hibah,
Ialah kata- kata yang diucapkan oleh orang – orang yang melakukan hibah. Karena
hibah semacam akad, maka shigat hibah terdiri dari ijab dan qabul. Contoh: si A
berkata kepada si B: Aku hibahkan kepadamu B sebidang tanahku yang luasnya 400
m2, yang terletak di desa X, kecamatan Y. Si B menjawab: Aku terima hibah A
itu. Sejak waktu itu tanah A beralih menjadi milik B.[7]
D. Macam- macam Hibah.
Bermacam- macam sebutan orang- orang yang menyerahkan
harta, macam- macam hibah sebagai berikut:
a. Al-hibah,
yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya tanpa
mengharapkan penggantian (balasan).
b. Shadaqah, yakni
pemberian zat benda dari seseorang kepada orang lain tanpa mengganti dan hal
ini dilakukan karena ingin memperoleh ganjaran (pahala) dari Allah Yang Maha
Kuasa.
c. Whasiat, yakni
pemberian seseorang kepada yang lain yang diakadkan ketika hidup dan diberikan
setelah yang mewasiatkan meninggal dunia.
d. Hadiah, ialah
pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan
maksud memuliakan.[8]
E. Persoalan- Persoalan Hibah.
1. Hibah bersyarat.
Pada hakikatnya pemberian dilakukan dengan tidak
mengharap balasan, tetapi pemberian boleh juga dilakukan dengan persyartan, seperti
seseorang berkata “Aku berikan ini kepadamu dengan syarat kamu harus
menyerahkan pulpenmu kepadaku”.
Dalam pemberian bersyarat, apabila syarat tidak dipenuhi
boleh pemberian diminta kembali. Dalam salah satu hadis dikatakan bahwa
seseorang laki-laki memberikan sesuatu kepada Rasulullah Saw. dengan
mengemukakan beberapa syarat terlebih dahulu, yakni agar Rasul memberikan
sesuatu yang disukainya.
2. Hibah dengan ‘Umra dan
Ruqbah.
Bahwa arti kata‘Umra artinya umur, dan ruqbah artinya
mengintai. Pemberian dengan ‘umra dan ruqbah adalah perbuatan orang-orang
Arab sejak zaman jahiliah yang kemudian ditetapkan atau dilestarikan
keberlakuannya oleh agama islam.
Contohnya : seseorang berkata: Aku berikan benda
ini kepadamu selama engkau hidup. Atau seseorang berkata: jika aku mati sebelum
engkau, maka benda tersebut untukmu. Kedua akad tersebut menunjukkan hibah
secara ‘umra.
Sedangkan hibah secara ruqbah karena masing-
masing mangintai kematian yang lain. Contoh: jika seseorang berkata: jika
engkau mati sebelumk, penberian itu tetap kembalikan kepadaku. Syarat ini batal
karena pemberi tetap menjadi milik orang yang diberi. Bila yang diberi telah
meninggal dunia, maka benda tersebut menjadi milik para ahli warisma.
3. Hibah Khitbah.
Merupakan materi yang perlu dibahas dalam
Fiqh Munakahat, tapi dalam pelaksnaannya khitbah di
masyarakat Indnesia terdapat pemberian dari pihak laki laki kepada pihak
wanita.[9]
F. Hikmah Hibah.
a. Memberi atau hibah
dapat menghilangkan penyakit dengki.
b. Pemberian atau hibah
dapat mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi.
II.
HADIAH
A. Definisi Hadiah.
Hadiah
(hadiyyah) berasal dari kata hadâ wa ahdâ. Bentuk pluralnya hadâyâ atau hadâwâ
menurut bahasa penduduk Madinah. Hadiah secara bahasa berarti sesuatu yang Anda
berikan (mâ athafa bihi).
Pengertian ini belum
cukup karena tidak semua pemberian merupakan hadiah. Pemberian itu bisa berupa
sedekah, wakaf, hibah, pinjaman ataupun wasiat.
Secara istilah, dalam al-Qâmûs al-Fiqhî dinyatakan, menurut ulama Syafiiyah, Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, hadiah adalah tamlîku ’ayn bi lâ ’iwadh ikrâm[an] ilâ al-muhdâ ilayh (pemindahan pemilikan suatu harta tanpa kompensasi sebagai penghormatan kepada orang yang diberi hadiah).
Secara istilah, dalam al-Qâmûs al-Fiqhî dinyatakan, menurut ulama Syafiiyah, Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, hadiah adalah tamlîku ’ayn bi lâ ’iwadh ikrâm[an] ilâ al-muhdâ ilayh (pemindahan pemilikan suatu harta tanpa kompensasi sebagai penghormatan kepada orang yang diberi hadiah).
Dalam Mu’jam Lughah al-Fukahâ’, hadiah adalah al-’athiyah bi lâ ’iwadh ikrâman
(pemberian tanpa kompensasi sebagai suatu penghormatan). Hadiah juga bermakna
i’thâ’ syay’[in] bighayr ‘iwadh shilat[an] wa taqarrub[an] wa ikrâm[an]
(pemberian sesuatu tanpa kompensasi karena adanya hubungan, untuk menjalin
kedekatan dan sebagai bentukpenghormatan).
Hadiah adalah pemberian oleh orang
berakal sempurna sebuah barang yang dimilikinya dengan tidak ada tukarnya serta
dibawa ketempat yang diberi karena hendak memuliakannya.[11]
B.
Rukun dan Syarat Hadiah.
Rukun
dan syarat hadiah sama dengan “hibah”
untuk terwujudnya suatu hadiah maka mesti memenuhi rukun dan syaratnya sebagai
tanda adanya transaksi.
1.
Rukun-rukun hadiah adalah sebagai berikut:
Ada yang memberi.
Ada yang diberi.
Ada ijab dan qabul.
Ada barang yang diberikan.
2.
Syarat-syarat hadiah adalah sebagai berikut:
Ijab, yaitu pertanyaan pemberi kepada orang yang ia tanya tentang sesuatu dan
ia beri sesuatu dengan senang hati.
Qabul, yaitu penerimaan oleh penerimaan dengan berkata: “Aku terima apa yang
engkau berikan kepadaku”, atau ia menyodorkan tangannya untuk menerimanya,
karena jika orang muslim memberi sesuatu kepada saudara seagamanya, namun belum
diterima oleh penerimaannya, kemudian pemberi meninggal dunia, maka sesuatu
tersebut menjadi hak ahli warisanya dan penerima tidak mempunyai hak
terhadapnya.
C. Hukum
Hadiah.
Hukumnya
adalah sunnah, karena hal ini merupakan perbuatan baik yang dianjurkan untuk
dikerjakan dan berlomba-lomba kepadanya dengan dalil-dalil berikut:
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai” (QS. Ali-Imran: 92).
“Dan tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa” (QS.
Al-Maidah: 2).
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian kearah timur dan barat itu suatut
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya” (QS. Al-Baqarah: 177).
Rasulullah saw
bersabda:
تهادوا
تحابوا وتصافحوا يدهب الغل عنكم
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah niscaya saling
mencintai dan hendaklah kalian saling berjabat tangan niscaya perasaan tidak
senang hilang dari kalian” (HR. Ibnu Asakir).
من
سره أن يبسط له في رزقه وأن ينسأله في أثره فليصل رحمه
“Barang siapa ingin dilapangkan
rezkinya dan ditunda (diperpanjang) ajalnya, hendaklah menyambung kekerabatan”
(HR. Bukhari)[12]
D.
Hikmah Hadiah.
1.
Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang
2.
Menghilangkan tipu daya dan sifat kedengkian.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :
“Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan
kedengkian” (HR. Abu Ya’la).
“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR. Dailami).
Sabda Nabi Muhammad SAW. :
“Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan
kedengkian” (HR. Abu Ya’la).
“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR. Dailami).
III. PERLOMBAAN.
A. Definisi Perlombaan.
Dalam bahasa Arab perlombaan disebut dengan musabaqah.
Perlombaan disyariatkan karena termasuk olahrags yang terpuji. Hukumnya
berubah- ubah, bisa sunnat, mubah, bisa pula haram tergantung pada niatnya.
Dalil- dalil tentang perlombaan :
Dan
siapkanlah utuk menghadapi mereka dengan kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda- kuda yang ditambat (Al- Anfal:60).
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Aisyah
r.a berkatsa:
Aku
berlomba lari dengan Rasulullah saw. Tetapi aku dapat mengejarnya. Ketika aku
mulai gemuk, akupun berlomba lari dengan belia, tetapi beliau dapat
mengejarku,. Aku berkata, “Kemenangan ini adalah sebagai imbangan bagi
kekalahan itu.”
Perlombaan biasanya menggunakan anak panah, senjata,
kuda, bighal, dan keledai. Dalam sebuah hadits dijelaskan Rasulullah saw. Bahwa
semua permainan haram kecuali 3 macam, lengkapnya adalah sebagai
berikut:Artinya: “setiap permainan adalah haram, kecuali yang tiga macam,
permainan seorang laki- laki dengan istrinya, melempar anak panah dari
busurnya, dan melatih kuda- kudanya..[13]
Mengenai
persiapan jihad, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat” (QS. Al Anfal: 60).
Yang
dimaksud dengan kekuatan apa saja, ditafsirkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan memanah (HR. Muslim no. 1917).
B. Syarat-syarat Sah
Perlombaan.
Berikut
ini syarat sah perlombaan, yaitu :
Menentukan jenis
kendaraan dengan mata kepala.
Kendaraan yang
dipergunakan untuk berlomba harus sama, seperti kuda arab dengan kuda arab dsb.
Jaraknya harus
ditentukan.
Bila ada hadiah, maka
hadiah itu harus mubah dan diketahui.
Tidak
boleh ada unsur perjudian.
C. Hukum Perlombaan.
Hukumnya selalu berubah-ubah tergantung
kegiatannya. Hukum musabaqah ada tiga macam. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“perlombaan ada tiga macam:
1. Perlombaan
yg dicintai oleh Alloh سبحانه
وتعالى
dan Rasul-Nya صلى
الله عليه وسلم
seperti lomba berkuda, memanah dan sebagainya yg tujuannya adalah persiapan
untuk jihad. dasarnya adalah sabda Nabi صلى
الله عليه وسلم:
“Tidak ada perlombaan kecuali pada khuff (unta) atau panah atau hafir (kuda)”.
(HR yg lima). Madzhab hanafiyah memasukkan dalam golongan ini perlombaan
menghafal Al Qur’an, hadits dan fiqih dan dipilih oleh syaikhul islam ibnu
Taimiyah.
2. Perlombaan
yg dibenci oleh Allah سبحانه
وتعالى
dan Rasul-Nya صلى الله
عليه وسلم
yaitu yang dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan dan menghalangi dari
dzikir kepada Alloh سبحانه
وتعالى
dan shalat. Seperti maen kartu remi dsb.
3. Perlombaan
yang tidak dicintai oleh Alloh سبحانه
وتعالى
tidak juga dimurkai, hukumnya mubah seperti lomba lari, lomba renang, adu gulat
dsb.
Hukum Perlombaan Berhadiah. Syaikh
Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata: “Mengambil ‘iwadl (hadiah) dalam
perlombaan ada tiga macam:
1. Perlombaan
yang diperbolehkan tanpa hadiah dan tidak boleh mengambil hadiah seperti
perlombaan balap mobil, perahu dsb.
2. Perlombaan
yang tidak boleh dilakukan baik dengan hadiah maupun tanpa hadiah, yaitu setiap
perlombaan yg menjerumuskan kepada dosa dan permusuhan.
3. Perlombaan yang
diperbolehkan baik dengan hadiah ataupun tidak, yaitu perlombaan dalam memanah,
berkuda dan unta sebagaimana ditunjukkan oleh hadits di atas.
Hukum
Mengeluarkan Harta (hadiah) Dalam Perlombaan. Para ulama menyebutkan tiga
keadaan:
1.
Hadiah dari gubernur atau yang semacamnya. Hukumnya boleh dengan ijma para
ulama.
2.
Hadiah dari salah satu peserta lomba, seperti si A
berkata kepada kpd si B: ayo lawan aku dalam perlombaan, jika kamu menang saya
akan memberikan hadiah untukmu, dan jika kamu kalah maka kamu tidak ada
kewajiban apa-apa. Hukumnya juga boleh menurut seluruh ulama kecuali yg
diriwayatkan dari Al Qasim bin Muhammad. Namun yang shahih boleh karena ini sama
dengan hadiah dan tidak ada makna perjudian.
3.
Hadiah dari semua peserta, dimana setiap peserta mengeluarkan uang dan yang
menang mengambil semua uang tsb. Hukumnya: terjadi khilaf para ulama: jumhur
menyatakan haram kecuali bila ada pihak ketiga yang disebut muhallil, alasannya
karena ini adalah bentuk perjudian karena hakikat perjudian adalah seseorang
berada diantara untung atau rugi. Dan ini ada dalam perlombaan seperti itu.
Namun untuk perlombaan yang dicintai
oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu perlombaan yang mendukung jihad seperti lomba
memanah, dan berkuda, syaikhul islam membolehkannya secara mutlak, dan beliau
memandang bahwa itu pengecualian dari perjudian karena mashlahatnya besar.
Perlombaan yang tanpa pertaruhan
diperbolehkan hal ini karena sudah kesepakatan para ulama. Perlombaan yang
menggunakan pertaruhan di bagi menjadi dua yaitu:
Pertaruhan yang diharamkan. Diharamkan apabila salah satu menang memperoleh
hadiah dan yang kalah berutang kepada temannya hal seperti ini sama dengan
perjudian.
pertaruhan yang dihalalkan. Sedangkan perlombaan yang dihalalkan adalah sebagai
berikut :
a. Dibolehkan
mengambil hadiah apabila hadiah itu dari penguasa atau yang lain.
b. Hadiah dikeluarkan
dari salah satu pihak yang berlomba
c. Petaruh
itu boleh diambil apabila datang dua orang yang berlomba atau beberapa pihak
yang berlomba, sementara diantara mereka terdapat salah atau salah satu pihak
itu menerima hadiah itu bila dia menang dan tidak berhutang apabila ia kalah.
D. Pertaruhan dalam
Perlombaan.
Perlombaan
dengan pertaruhan dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Pertaruhan yang
dihalalkan.
Dibolehkan mengambil harta dalam perlombaan apabila hadiah itu datang dari
penguasa atau yang lain.
Salah seorang dari dua orang, atau salah satu pihak dari beberapa pihak
yang berlomba yang mengeluarkan hadiah.
Hadiah boleh diambil apabila datang dua orang atau beberapa pihak yang
berlomba, sementara diantara mereka ada yang menang dan berhak mendapatkannya
dan tidak berhutang.
2. Pertaruhan diharamkan
ulama adalah pertaruhan yang apabila salah seorang pahak yang bertaruh
mendapatkan hadiah itu, sedangkan yang kalah dai berhutang kepada temannya.
Karena dianggap judi yang jelas-jelas diharamkan oleh ajaran islam.[14] Termasuk kategori
menganiaya binatang adalah mengadukan binatang. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas r.a berkata : “Rasulullah Saw.
Melarang mengadu diantara binatang-binatang.[15]Untuk lomba yang
dibolehkan dengan taruhan seperti yang disebutkan sebelumnya, ada syarat
taruhan yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Taruhan harus jelas
dalam hal jumlah dan sifat (ciri-ciri).
b. Boleh taruhan
dibayarkan saat lomba atau boleh sebagiannya ditunda (dicicil).
c. Taruhan tersebut bisa
jadi ditarik dari salah satu peserta dari dua peserta yang ikut lomba. Salah
satunya mengatakan, “Jika engkau mengalahkan saya dalam lomba memanah, maka
saya berkewajiban memberimu Rp.100.000”. Ini dibolehkan dan tidak ada khilaf di
antara para ulama dalam pembolehan bentuk taruhan semacam ini. Namun ingat
sekali lagi bentuk ini berlaku antara dua orang atau dua kelompok.
d. Taruhan tersebut bisa
pula ditarik dari pihak lain semisal dari imam yang diambil dari kas Negara
(baitul maal). Karena lomba semacam ini jelas manfaatnya dan turut membantu
dalam pembelajaran jihad sehingga bermanfaat luas bagi orang banyak.
e. Bisa pula taruhan
tersebut berasal dari iuran peserta (yang lebih dari dua peserta), seperti
masing-masing misalnya menyetorkan iuran awal sebesar Rp.100.000 dan hadiah
untuk pemenang akan ditarik dari iuran tersebut. Bentuk ketiga ini disebut
rihan (taruhan). Jumhur ulama tidak membolehkan taruhan semacam ini karena ada
pihak yang rugi dan ada yang beruntung. [Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24:
128-129] tidak muncul ditengah permainan hal-hal yang bertentangan dengan
syariat Allah.
E. Jalab dan
Janab dalam Petaruh.
Menurut sayyid Sabiq dalam buku fiqh
al-Sunnah bahwa Uwais berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jalab adalah
meneriaki seekor kuda dari belakang dalam arena perlombaan agar kuda itu menang
dalam perlombaannya. Maksudnya
seseorang memperlombakan kudanya disertai dengan orang yang meneriakinya agar
larinya cepat. Sedangkan janab ialah bila seekor kuda didatangkan oleh
seseorang kepada kudanya yang sedang dipelombakan untuk dinaikinya agar
secepatnya ia mencapai tujuan.maksudnya seseorang menyediakan seekor kuda lain
bersama kuda yang diperlombakan,apabila kuda yang dikendarai lelah, dia pindah
kekuda yang telah disediakan itu.[16]
F. Bermain
Nard.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa bermain
nard (sejenis dadu) adalah haram. Mereka menyatakan haram berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud dari Buraidah r.a.,
dari Rasulullah saw bersabda:
“barang siapa bermain nard syir, maka
seolah- olah orang itu mencelupkan tangannya kedalam daging dan darah babi.”
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Malik dari Abi Musa r.a., bahwa Nabi
bersabda: “ Barangsiapa bermain nadr, maka dia telah maksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Al- Syaukani berkata bahwa bermain nadr
adalah halal apabila tidak dibarengi dengan taruhan.diriwayatkan dari Ibnu
Mughaffal dan Ibnu Musayyab.[17]
G. Bermain Catur.
Diceritakan didalam kitab Fiqh Sunnah
bahwa didalamnya terdapat larangan- larangan bermain catur, tetapi tidak ada
satupun diantara hadits tersebut yang shahih. Maka kemudian para fuqaha berbeda
pendapat dalam menghukuminya. Diantara mereka yang mengharamkan adalah Abu
Hanifah, Imam Malik, dan Ahmad. Imam Syafi’i dan sebagian tabiin berpendapat
Makruh, sebab sebagian sahabat telah menerima ctur, demikian juga tabiin yang
tidak terhitung banyak.
Abu Hurairah, Sa’id Ibn al- Muzayyab,
dan Sa’id Ibn Jubair berpendapat bahwa bermain catur boleh karena nash yang
mengharamkannya tidak ada.
Dan orang-orang yang mengatakan bermain
catur boleh mengemukan peryaratan- persyaratan sebagai berikut:
1. Tidak melalaikan
kewajiban agama
2. Tidak dicampuri dengan
taruhan,
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Aziz, Muhammad, Fiqh Muamalat, Azamanzah, Jakarta, 2010.
Daradjat
Zakiyah, Ilmu Fiqih, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995.
Suhendi,
Hendi, Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Komentar
Posting Komentar