Langsung ke konten utama

BANK SYARIAH





Oleh: Handayani (111-11-140),Siti Zulaikha (111-11-097), dan Irsyadul Ibad (111-11-094)

A.Pengertian Bank Syari’ah
Pengertian bank menurut UU No 7 tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Istilah Bank dalam literatur Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature Islam dikenal dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Isitilah lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syariah. Secara akademik, istilah Islam dan Syariah memang mempunyai pengertian berbeda. Namun secara teknis untuk penyebutan Bank Islam dan Bank Syariah mempunyai pengertian yang sama. Dalam Undang-Undang No 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa Bank Umum merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dan pihak lain untuk menyimpannya, pembiayaan atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, Bank Syari’ah berarti bank yang tata cara operasionalnya didasari dengan tatacara Islam yang mengacu kepada ketentuan Al-Quran dan Al Hadist. [1]
B.Sejarah Bank Syari’ah di Indonesia
Ide pendirian bank syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970. dimana pembicaraan mengenai bank syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia – Timur Tengah pada tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan ( LSIK ) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Di tingkat internasional,gagasan untuk mendirikan Bank Islam terdapat dalam konferensi negara-negara islam di Kuala Lumpur,Malaysia pada tanggal 21 sampai dengan 27 April 1969 yang diikuti 19 negara peserta. Konferensi tersebut memutuskan beberapa hal yaitu :
1.      Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika ia tidak termasuk riba dan riba itusedikit atau banyak hukumnya haram
2.      Diusulkan supaya dibentuk suatu Bank Islam yang bersih dari system riba dalam waktu secepat mungkin
3.      Sementara menunggu berdirinya Bank Islam, bank-bank yang menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi. Namun jika benar-benar dalam keadaan darurat.
Gagasan berdirinya Bank Islam di Indonesia lebih konkret pada saat lokakarya ”Bunga Bank dan Perbankan” pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Ide tersebut ditindaklanjuti dalam Munas IV. Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) di hotel Sahid tanggal 22-25 Agustus 1990. Setelah itu, MUI membentuk suatu Tim Steering Committee yang diketuai oleh Dr.Ir.Amin Aziz. Tim ini bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan berdirinya Bank Islam di Indonesia. Tim Mui ternyata dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, tebukti dalam waktu 1 tahun sejak ide berdirinya.
 Bank Islam tersebut, dukungan umat Islam dari berbagai pihak sangat kuat. Setelah semua persyaratan terpenuhi pada tanggal 1 November 1991 dilakukan penandatanganan akte pendirian Bank Mu’amalat Indonesia ( BMI ) di Sahid Jaya Hotel dengan akte Notaris Yudo Paripurno,S.H dengan izin Menteri Kehakiman No.C.2.2413 HT.01.01. Akhirnya, dengan izin prinsip Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No.1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991 BMI bias memulai operasi untuk melayani kebutuhan masyarakat melalui jasa-jasanya.
Setelah BMI mulai beroperasi sebagai bank yang menerapkan prinsip syariah di Indonesia, frekuensi kegairahan umat Islam untuk menetapkan dan mempraktikan system syariah dalam kehidupan berekonomi sehari-hari menjadi tinggi. Setelah lahirnya BMI, kini di masa reformasi ,telah beroperasi pula lembaga-lembaga perbankan konvensional yang menerapkan prinsip-prinsip syariah, baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta. Kemunculan bank-bank syariah ‘baru’, seperti Bank IFI Cabang Syariah,Bank Syariah Mandiri,Bank BNI Divisi Syariah sebenarnya tidak terlepas dari peristiwa krisis moneter yang cukup parah sejak 1998 atau pasca-likuidasi ratusan bank konvesional, karena pengelolaanya yang menyimpang.[2]
C. Prinsip- Prinsip Bank Syari’ah
Meskipun UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah telah dikeluarkan, namun Indonesia masih menganut dual banking system ( dua system perbankan ). Ini berarti memperkenankan dua system perbankan secara co-existance. Dua system perbankan itu adalah bank umum dan bank berdasarkan bagi hasil ( yang secara impisit mengakui system perbankan berdasarkan prinsip Islam ). Bank Syariah dapat dilakukan melalui 1) bank umum syariah 2) bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) ; 3) Islamic windows; dan 4) office channeling. Bank umum syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Perkreditan Rakyat Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
 Office Chanelling merupakan istilah yang diberikan guna menandai dimungkinkannya melakukan kegiatan usaha perbankan syariah di kantor cabang dan/atau kantor cabang pembantu bank umum konvesional. Praktik perbankan syariah tidak diperkenankan dilakukan bersama-sama dalam satu kantor yang berpraktik konvesional. Dalam PBI No.4/1/PBI/2002, dibuka kesempatan kepada bank umum konvesional untuk membuka cabang syariah dengan prsyaratan yang cukup ketat, yaitu adanya pemisahan pembukuan,pemisahan modal,pemisahan pegawai,dan pemisahan keragaan ruangan. Operasional Bank Islam didasarkan kepada prinsip jual beli dan bagi hasil sesuai dengan syariah Islam. 
Adapun prinsip bagi hasil ( profit sharing ) sebagai berikut :
1.      Al Wadiah yaitu perjanjian antara pemilik barang ( termasuk uang ) dengan penyimpan ( termasuk bank ) di mana pihak penyimpan bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang da atau uang yang dititipkan kepadanya. Terdapat 2 jenis Al Wadiah yaitu:
a.       Al Wadiah Amanah yaitu titipan murni dari pihak yang mempunyai barang / asset  kepada pihak penyimpan yang diberi amanah/kepercayaan.
b.      Al Wadiah Dhamanah yaitu  pihak penyimpan bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada  barang / asset titipan
2.      Al Mudharabah yaitu perjanjian antara pemilik modal dengan pengusaha. Dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek atau usaha dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian. Rukun mudharabah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa yaitu :
a.       Pelaku akad
b.      Objek akad
c.       Sighah
Syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam  mudharabah yaitu modal dan keuntungan.
3.      Al Musyarakah yaitu perjanjian kerja sama antara dua belah pihak atau lebih pemilik modal untuk mebiayai suatu usaha. Menurut fiqih islam dibagi 2 macam yaitu :
a.       Syirkah Amlak adalah kepemilikan bersama 2 belah pihak atau lebih dari suatu property.
b.      Syirkah ‘Ukud adalah kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak bersama, atau usaha komersil bersama

4.      Al Murabahah dan Al-Bai’u Bithamam Ajil  
Al-Murabahah yaitu persetujuan jual-beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama dengan pembayaran ditangguhkan 1 bulan sampai 1 tahun. Sedangkan al-Bai’u Bithaman Ajil yaitu persetujuan jual-beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama.
5.      Al Ijarah dan Al-Ta’jiri
Al-Ijarah yaitu perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan Al Ta’jiri adalah perjanjia antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa untuk memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujua kedua belah pihak.
6.      Al Qardahul Hasan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban social semata, dimana peminjam tidak berkewajiban untuk mengembalikan apapun kecuali pinjaman dan biaya administrasi.[3]
Dan untuk prinsip Jual Beli ( Al – Buyu ) yaitu :

1.Murbahah
Murabahah adalah akad jual beli antara dua belah pihak,di mana pembeli dan penjual menyepakati harga jual, yang terdiri atas harga beli ditambah ongkos pembelian dan keuntungan bagi penjual.

2.Salam
Salam, yaitu pembelian barang dengan pembayaran di muka dan barang diserahkan kemudian. Salam adalah transaksi jual beli, dimana barangnya belum ada,sehingga barang yang menjadi objek transaksi tersebut diserahkan secara tangguh.

3.Istisna
Istisna adalah pembelian barang melalui pesanan dan diperlukan proses untuk pembuatannya sesuai dengan pesanan pembeli dan pembayaran dilakukan di muka sekaligus atau secara bertahap.
4.Ijarah
Ijarah adalah kegiatan penyewaan suatu barang dengan imbalan pendapatan sewa. Secara prinsip, ijarah sama dengan transaksi jual beli, hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat.

5.Wakalah
Wakalah adalah transaksi, dimana pihak pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua ( sebagai wakil ) untuk urusan tertentu dimana pihak kedua mendapat imbalan berupa fee atau komisi.

6.Kafalah
Kafalah adalah transaksi dimana pihak pertama bersedia menjadi penanggung atas kejadian yang dilakukan oleh pihak kedua, sepanjang sesuai dengan diperjanjikan dimana pihak pertama menerima imbalan berupa komisi atau fee.

7.Sharf
Sharf adalah pertukaran/ jual beli mata uang yang berbeda dengan penyerahan segera/spot berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar pada saat pertukaran.

8.Hawalah
Hawalah adalah transaksi pengalihan utang-piutang

9.Rahn
Rahn adalah transaksi gadai dimana seseorang yang membutuhkan dan dapat menggadaikan barang yang dimilikinya kepada bank syariah dan atas izin bank syariah, orang tersebut dapat menggunakan barang yang digadaikan tersebut,dengan syarat harus dipelihara dengan baik.

10.Qard
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi Qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal,yaitu sebagai pinjaman talangan haji.[4]
Dalam penjelasan Pasal 2 dikemukakan kegiatan usaha yang berasaskan berikut ini:
1. Prinsip syariah, antara lain kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:
a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,kuantitas, dan waktu penyerahan ( fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu ( nasi’ah )
b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan.
c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak memiliki, tidak diketahui keberadaanya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan,
d.Haram,yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah
e.Zalim,yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
 Prinsip utama yang dianut oleh Bank Syari’ah adalah :
·         Larangan riba ( bunga ) dalam berbagai bentuk transaksi
·         Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada perolehan keuntungan yang sah menurut syari’ah dan
·         Memberikan zakat
C. Konsep Dasar Bank Syari’ah
a.Konsep Operasi
Bank syari’ah melakukan kegiatan pengumpulan dana dari nasabah melalui deposito /investasi maupun titipan giro dan tabungan. Dana yang terkumpul kemudian diinvestasikan pada dunia usaha melalui investasi sendiri ( nonbagi hasil / trade financing ) dan investasi dengan pihak lain ( bagi hasil/ investment financing ). Ketika ada hasil, maka bagian keuntungan untuk bank dibagi kembali antara bank dan nasabah pendanaan. Di samping itu, bank syari’ah dapat member berbagai jasa perbankan kepada nasabahnya.Secara teori bank syari’ah menggunakan konsep two tier mudharaba ( mudharabah dua tingkat ), yaitu bank syari’ah berfungsi dan beroperasi sebagai institusi intermediasi investasi yang menggunakan akad mudharabah pada kegiatan pendanaan maupun pembiayaan. Dalam pendanaan bank syari’ah bertindak sebagai pengusaha atau mudharib, sedangkan dalam pembiayaan bank syari’ah bertindak sebagai pemilik dana atau shahibul maal. Selain itu, bank syari’ah juga dapat bertindak sebagai agen investasi yang mempertemukan pemilik dana dan pengusaha.
Dana yang dihimpun melalui prinsip wadi’ah yad dhamanah, mudharabah mutlaqah, ijarah, dan lain-lain, serta setorans modal dimasukkan kedalam pooling fund. Pooling fund ini kemudian dipergunakan dalam penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, jual beli, dan sewa. Dari pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diperoleh bagian bagi hasil/labasesuai kesepakatan awal dengan masing-masing nasabah dari pembiayaan dengan prinsip jual beli diperoleh margin keuntungan sedangkan dari pembiayaan dengan prinsip sewa diperoleh pendapatan sewa. Keseluruhan pendapatan dari pooling fund ini kemudian dibagihasilkan antara bank dengan semua nasabah yang menitipkan, menabung, atau menginvestasikan uangnya sesuai dengan kesepakatan awal. Bagian nasabah atau hak pihak ketiga akan didistribusikan kepada nasabah, sedangkan bagian bank akan dimasukkan ke dalam laporan laba rugi sebagai pendapatan operassi pertama.
Tabel Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syari’ah

Bank Konvensional
Bank Syari’ah
Fungsi dan Kegiatan Bank
Intermediasi , Jasa Keuangan
Intermediasi,Manager Investasi, Investor, Sosial, Jasa Keuangan
Mekanisme dan Objek Usaha
Tidak antiriba dan antimaysir
Antiriba dan antimaysir
Prinsip Dasar Opersi
·         Bebas nilai ( prinsip materialis )
·         Uang sebagai Komoditi

·         Tidak bebas nilai ( prinsip syari’ah islam )
·         Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi

·         Bunga
·         Bagi hasil, jual beli, sewa
Prioritas Pelayanan
Kepentingan pribadi
Kepentingan public
Orientasi
Keuntungan
Tujuan social-ekonomi Islam, keuntungan
Bentuk
Bank komersial
Bank komersial, bank pembangunan, bank universal atau multi-porpose
Evaluasi Nasabah
Kepastian pengembalian pokok dan bunga   (creditworthiness dan collateral )
Lebih hati-hati karena partisipasi dalam risiko
Hubungan Nasabah
Terbatas debitor-kreditor
 Erat sebagai mitra usaha
Sumber Likuiditas Jangka Pendek
Pasar Uang, Bank Sentral
Pasar Uang Syari’ah, Bank Sentral
Pinjaman yang diberikan
Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba
Komersial dan nonkomersial, beerorientaswi laba dan nirlaba
Lembaga Penyelesai Sengketa
Pengadilan , Arbritase
Pengadilan, Badan Arbritase Syari’ah Nasional
Risiko Usaha
·         Risiko bank tidak terkait langsung dengan debitur, risiko debitur tidak terkait langsung dengan bank
·         Kemungkinan terjadi negative spread
·         Dihadapi bersama antara bank dan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran

·         Tidak mungkin terjadi negative spread
Struktur Organisasi Pengawas
Dewan Komisaris
Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syari’ah, Dewan Syari’ah Nasional
Investasi
Halal atau haram
Halal

b.Konsep Akad
Akad ( ikatan, keputusan, atau penguatan ) atau perjanjian atau kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai komitmen yang terbingkai dengan nilai- nilai Syari’ah. Dalam istilah Fiqih, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak,dan sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah,dan gadai. Secara khusus akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran /pemindahan kepemilikan ) dan qabul ( pernyataan penerimaan kepemilikan ) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu. Rukun dalam dalam akad ada tiga, yaitu : 1) pelaku akad, 2) objek akad, dan 3) shighah atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul. Syarat dalam akad ada empat, yaitu : 1) syarat berlakunya akad ,2) syarat sahnya akad, 3) syarat terealisasikannya akad, dan 4) syarat Lazim. Akad yang digunakan  bank syari’ah dalam operasinya terutama diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan( tijarah ) dan sebagian dari kegiatan tolong-menolong.
 Turunan dari tijarah adalah perniagaan yang berbentuk kontrak pertukaran dan kontrak bagi hasil dengan segala variasinya. Allah telah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. Akad atau transaksi yang berhubungan dengan kegiatan usaha bank syari’ah dapat digolongkan ke dalam transaksi untuk mencari keuntungan ( tijarah ) dan transaksi tidak unuk mencari keuntungan. Transaksi untuk mencari keuntungan dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu transaksi yang mengandung kepastian (naturalcertanty contracts ) yaitu kontrak dengan prinsip nonbagi hasil ( jual-beli dn sewa ), dn transaksi yang mengandung ketidakpastian, yaitu kontrak dengan prinsip bagi hasil. Secara garis besar produk-produk bank syari’ah dapat dikelompokkan ke dalam produk-produk pendanaan, pembiayaan, jasa perbankan,dankegiatan social dengan berbagai prinsip Syari’ah yang digunakan dalam akadnya.[5]
D. Kesimpulan
Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekokomi, dan prinsip kehati-hatian. Di dalam bank syariah terdapat suatu badan yang tidak ada di dalam bank-bank konvesional yaitu Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini memiliki tugas untuk meneliti produk-produk baru bank syariah dan memberikan rekomendasi terhadap produk-produk baru tersebut serta membuat surat pernyataan bahwa bank yang diawasinya masih tetap menjalankan usaha berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
B.Kritik dan Saran
            Dalam hal penulisan ini penulis masih banyak kesalah maka dari itu diharapkan bagi para pemabaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun bagi kami.



[1]Muhammad,Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syari’ah,(Yogyakarta:UII Press,2004),hal 1
[2] Zainul Arifin,Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah,(Tangerang:Azkia Publisher:2009)hal, 7-12
[3] Ascarya,Akad dan Produk Bank Syari’ah,(Jakarta:Rajawali Pers,2011),hal 46-101
[4]Ibid,hal 104-110
[5] Ibid,hal 30-35

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.