Langsung ke konten utama

Al-‘Urf

Oleh: Damar Yuli Budi Utomo (11510073); Ali Rusidi (11510074); dan
Afrizan Gusmayoni (11510077)

A.  Pengertian urf
            Secara etimologi, kata urf berasal dari bahasa arab yaitu (( العر ف  artinya ”yang baik” para ulama membedakan antara adat dan urf dalam membahas kedudukanya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syarak. Adat didevinisikan sebagai berikut:
الامر المتكر ر من غير علاقة عقلية
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”

Jika dilihat dari pengertian diatas maka jika sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang namun menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Devinisi ini juga mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak. Adat juga bisa muncul dari sebab alamiah misalnya iklim, letak geografis dan masih banyak lagi. Adat juga bisa muncul karena hawa nafsu dan kerusakan ahlak.
Adapun urf menurut ulamausul fikh adalah:
عدة جمهور قوم في قول اوفعل
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan maupun perbuatan”
Mustofa ahammad al-zarqomengatakan bahwa urf merupakan bagian dari adat,karena adat lebih luas cakupannya dari urf. Sebuah urf harus berlaku bagi sebagian besar orang didaerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu. Urf bukan kebiasaan alami seperti yang berlaku pada kebanyakan adat, akan tetapi munculdari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan acara pernikahan bisa diambil dari mas kawin yang diberikan oleh mempelai pria.
Jika ditinjau dari pengertian urf yang dipaparkan di atas akan terkesan bahwa urf mirip dengan ijma namun sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara urf dan ijma yaitu sebagai berikut:
1.      Urf adalah kebiasaan atau kesepakatan orang banyak baik orang biasa, orang pandai, atau orang-orang ahli ijtihad sedang ijma adalh kebulatan pendapat para ahli ijtihad saja.
2.      Urf dianggap sah baik kesepakatan tersebut terjadi antara seluruh orang tidak terkecuali maupun hanya sebagian besar saja, sedang ijma hanya berlaku apabila semua mujtahid sependapat atau setuju artinya bila ada satu saja mujtahid yang tidak setuju maka berakibat tidak adanya ijma
3.      Hukum yang didasarkan pada ijmasama kuatnya dengan hukum yang didasarkan atas nash, sedangkan hukum yang didasarkan pada urf bisa berubah menurut urf itu sendiri
B.   Macam-macam urf
Para uluma ushul fiqh membagi urf menjadi tiga macam:
1.      Dari segi objeknya. Menurut objeknya urf dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Al-urf al-lafdzi ( العر ف الفظي)
          Kebiasaan masyarakat dalam penggunaan lafadz tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami oleh masyarakat. Misalnya ungkapan daging yang oleh suatu masyarakat dipahami sebagai daging sapi padahal daging adalah kata yang bermakna luas bisa daging ayam atau daging kambing.
b.      Al-urf al-amali ( (  العرف العملي 
            Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan sehari-hari ataupun perbuatan muamalah keperdataan. Seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad / transaksi dengan cara tertentu misalnya kebiasaan melakukan jual beli dengan mengambil sendiri barang yang dibutuhkan kemudian membayarnya tanpa adanya ijab dan kobul.
2.      Dari segi cakupannya. Disini urf dibagi menjadi dua hal yaitu:
a.       Al-urf al-am ( العرف العام  )
          Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya saat membeli hewan ternak contohnya kambing atau sapi maka tali pengikat leher yang berfungsi sebagai penuntun termasuk dalam harga jual tanpa adanya ijab kobul dan tanpa adanya harga tambahan.
b.      Al-urf al-khash (العرف الخاص   )
          Adalah kebiasaanyang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya pemberian garansi saat pembelian suatu barang tertentu maka garansi antara barang satu dan yang lainnya toko satu dan yang lainnya akan berbeda.
3.      Dari sege keabsahannya dari pandangan syaradibagi menjadi dua yaitu:
a.       Al-urf al-shahih ( العرف الصحيح    )
           Yaitu kebiasaan masyarakat tertentu yang tidak bertentangan dengan nash baik dari al-quran dan hadits, tidak menghilangkan kemaslahatan, dan tidak menimbulkan kemadzorotan. Misalnya pemberian hadiah pada saat tunangan dan barang hadiah itu tidak termasuk mas kawin.
b.      Al-urf al-fasid (  العرف الفا سد  )
            Adalah kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan nash al-quran dan hadits. Contohnya kebiasaan memperbolehkan riba dikalangan pedagang. Misalnya peminjaman uang 10 juta dalam waktu 3 bulan harus dikembalikan sebesar 11 juta, meskipun bunganya tidak merugikan orang yang berhutang karna mungkin keuntungan yang dihasilkan dari uang yang dipinjam lebih besar dari bunganya namun itu tidak bisa dibenarkan karena dalam syarapertukaran barang sejenis tidak boleh ada pelebihan.
C.   Kehujjahan urf
             Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa al-urf al-shahih baik urf lafdzi, urf amali, urf al-am maupun urf al-khas dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum syara selama tidak ditemukan nash yang menjelaskan masalah yang dihadapi tersebut.. Menurut imam al-qarafi seorang mujtahid dalam menentukan hukum harus meneliti kebiasaan yang berlaku di masyarakat agar hukum yang dihasilkan tidak bertentangan dan tidak menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut.
            Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-quran diturunkan banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang telah ada, contohnya memperbolehkan jual beli sebelum islam. Dari berbagai kasus urf yang dijumpai, para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqhyang berkaitan dengan urf diantaranya:
1.      العادة محكمة  
Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum
2.      لاينكر تهير الاحكا م بتغيرالازمنة والامكنة
Tidak diingkari perubahan hukum karena perbedaan waktu dan tempat.
3.      المعروف عرفا كالمشروط شرطا
Yang baik itu menjadi urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.
4.      الشا نت با لعرف كاالشا نت با لنص
Yang ditetapkan melalui urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.
          Para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa hukum yang didasarkan melalui urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman dan tempat tertentu.
D.   Syarat-syarat urf
           Para ulama menyatakan bahwa suatu urf baru dapat dijadikansebagai salah satu dalil dan menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Urf tersebut berlaku secara umum. Artinya urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2.      Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan muncul. Artinya, urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dulu ada dari persoalan yang akan ditetapkan.
3.      Urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Misalnya dalam membeli barang antara pembeli dan penjual telah sepakat barang tidak diantarkan akan tetapi dibawa sendiri oleh pembeli maka meskipun dalam kebiasaan (urf) barang selelu diantar maka dalam permasalahan yang seperti ini urf itu tidak berlaku lagi.
4.      Urf itu sendiri tidak bertentangan dengan nash, urf yang bertentangan dengan nash tidak bisa dijadikan dalil syara’ karena salah satu kehujjahan urf adalah tidak bertentangan dengan nash.
  1. Pertentangan nash dengan dalil syara’
             Urf yang ada dikalangan masyarakat ada kalanya bertentangan dengan nash baik dari al-quran dan hadits maupun dengan dalil syara’ lainnya.dalam persoalan urf dengan nash para ulama ushul fiqh merincinya sebagai berikut:
1.      Pertentangan urf dengan nash yang bersifat khusus atau rinci
             Apabila terjadi pertentangan urf dengan nash yang bersifat rinci menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka urf  tidak dapat diterima. Contoh kebiasaan pada zaman jahiliah dalammengadopsi anak dan anak adopsi mempunyai status yang sama dengan anak kanndung sehingga mendapat warisan yang sama besarnya saat ayah angkatnya meninggal maka urf yang demikian ini tidak berlaku atau tidak berguna.
2.      Pertentangan urf dengandengan nash yang  bersifat umum
               Menurut mustofa ahmad al zarqo’ apabila urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum maka harus dibedakan antara urf  lafdzi dan urf amali apabila urf  itu urf lafdzi maka boleh selama tidak ada indikator yang menunjukkan bahwa nash umum itu tidak dapat dikususkan oleh urf. Misalnya kata sholat, puasa, dan haji diartikan dengan ma’na urf. Namun bila urf  itu berupa urf amali ada perbedaan pendapat, menurut ulama hanafiah apabila urf itu bersifat umum maka urf tersebut dapat mengkususkan hukum nash yang umum,karena pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash itu menjadi tidak bisa diamalkan. Akan tetapi menurut imam al-qorofi urf seperti ini tidak dapat mengkhususkan hukum umum yang dikandung nash tersebut.
3.      Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan urf tersebut.
                Apabila suatu urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama’ fiqh sepakat menyatakan bahwa urf seperti ini, baik yang bersifat lafdzi maumun amali, sekalipun urf  itu bersifat umum, tidak bisa dijadikan dalil dalam menentukan hukum syara’ karena seakan akan urf itu menshkan (membatalkan) nash. Sedangkan urf tidak bisa me-nash-kan nash. Urf yang seperti ini menurut ulama’ tidak bisa dijadikan patokan.

DAFTAR PUSTAKA
1.     Hanafi. A, Usul Fiqh, Jakarta, Widjaya Jakarta,1963.
2.     Haroen nasrun, Ushul Fiqh, Ciputat, Logos Publishing House, 1995, Cet.I .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.