Langsung ke konten utama

AL-MAHKUM FIH DAN AL-MAHKUM ‘ALAIH




Oleh: Ahmad Lilik S    (11510079); Puji Lestari (11510083); dan Nurul Khikmah (11510086)

A.    Al-Mahkum Fih
a.      Pengertian
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum (perbuatan mukalaf).Al- Mahkum Fih adalah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan syara’.Mahkum fih adalah perbuatan-perbuatan mukallafyang dibebani suatu hukum (perbuatan hukum). Tidak ada pembebanan selain pada perbuatan. Artinya beban itu erat hubungannya dengan perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu apabila Syari' mewajibkan atau mensunnahkan suatu perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu tak lain adalah perbuatan yang harus atau seyogianya dikerjakan.Firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah:1
$ygƒr'¯»tƒšúïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qèù÷rr&ÏŠqà)ãèø9$$Î/4….
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388].


[388] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

Kewajiban yang diambil dari khithab ini adalah berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi janji yang kemudian dijadikan hukum wajib.

b.      Syarat Sah Tuntutan Dengan Perbuatan
Perbuatan yang sah menurut syara’ untuk diharuskan memiliki tiga syarat:
1.      Tuntutan perbuatan itu harus diketahui mukallaf secara jelas sehingga ia mampu melaksanakannya sebagaimana yang dituntutkan.
Atas dasar ini, nash Al-Qur’an yang masih global, artinya belum jelas maksudnya, tidak sah menuntut mukallaf untuk melakukannya kecuali setelah mendapat keterangan dari Rasulullah SAW. Misalnya firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah: 43 yang artinya “dirikanlah shalat”, adalah nash Al-Qur’an yang belum jelas rukun, syarat dan cara melakukannya. Bagaimana seorang mukallaf dituntut shalat padahal ia tidak tahu rukun, syarat, dan cara melaksanakannya? Oleh karena itu Rasulullah SAW menjelaskan keglobalan nash itu dengan sabda beliau: “shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihatku melaksanakan shalat”.
Demikian pula haji, puasa, zakat, dan sebagainya. Yang mana tuntutan untuk melaksanakannya dianggap tidak sah sebelum diketahui syarat, rukun, waktu, dan cara melaksanakannya.

2.      Hendaknya diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaan menuntut dan dari orang yang hukumnya wajib diikuti mukallaf. Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melksanakan perintah Allah semata.
Artinya, bahwa hukum-hukum yang menunjukkan arti wajib bagi mukallaf adalah pelaksanaannya. Atau bisa juga dikatakan bahwa seseorang yang sehat akalnya dan sanggup mengetahui hukum syara’ dengan sendirinya atau dengan menanyakannya kepada orang lain yang mengetahui maka orang itu dianggap mengetahui apa yang ditaklifkan tersebut dan diberlakukan kepadanya hukum dan segala akibatnya.

3.      Perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf harus berupa sesuatu yang mungkin, atau mampu dilakukan atau dihindari oleh mukallaf. Ada dua cabang:
·         Tidak sah menurut syara’ pembebanan yang mustahil, baik mustahil sebab perbuatan itu sendiri atau mustahil sebab yang lain.
·         Tidak sah menurut syara’ membebani seseorang mukallaf agar orang lain berbuat atau meninggalkan suatu perbuatan.
·         Tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
·         Tercapaiya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah dan suci dalam masalah sholat.

c.       Al-Masyaqqoh
Salah satu syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu, dalam melaksanakannya pasti ada suatu kesulitan ataupun halangan (masyaqqoh).Masyaqqoh disini terdapat dua macam, yaitu sebagai berikut:
1)      Masyaqqoh Mu’tadah
Yaitu kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya.Kesulitan ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan.Misalnya, diwajibkan adanya sholat ini bukan bermaksud agar badan capek atau bagaimana, tetapi untuk melatih dirinya agar terhindar serta mencegah perbuatan keji dan munkar.

2)      Masyaqqoh Goiru Mu’tadah
Yaitu suatu kesulitan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan merusak jiwanya jika dipaksakan. Allah SWT tidak akan menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan. Seperti puasa siang dan malam serta secara terus menerus melakukan shalat.Hal ini juga dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 185 yang artinya “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.
d.      Macam-macam Mahkum Fih
Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi menjadi empat macam, yaitu:
a)      Semata-mata hak Allah, yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Seseorang tidak dibenarkan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. Misalnya, ibadah mahdhoh seperti rukun iman dan rukun islam yang lima.
b)      Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang. Seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
c)      Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan. Seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
d)     Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak hamba didalamnya lebih dominan. Seperti dalam masalah melakukan qishas.
Dilihat dari segi keberadaannya secara material dan syara’, ada empat  macam, yaitu:
a)      Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
b)      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’. Seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hokum syara’, yaitu hudud dan qishash.
c)      Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
d)     Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain. Seperti nikah, jual-beli, dan sewa-menyewa. 

B.     Al-Mahkum Alaih
a.      Pengertian
Al-Mahkum Alaih adalah mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’.Menurut keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum alaih adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103). Sehingga dapat dismipulkan bahwa, Mahkum Alaih adalah orang mukalaf yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah.
Secara etimologis, mukallaf berati yang dibebani hukum.Dalam ushul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek hukum).
b.      Dasar Taklif
Menurut Abdul Wahab Khallaf, hokum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya.
Seorang manusia belum dikenakan taklif sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu ulama mengemukakan dasar taklif adalah akal dan pemahaman.  Maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Maka orang yang belum berakal dianggap tidak bisa memahami taklif dari syari’ (Allah dan Rasul). Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SWA:
ر فع القلم عن ثلا ث: عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى يفق
Diangkatlah pembebanan hokum dari tida (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia balig, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R. al-Bukhari, abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibn Majah, dan Al-Daruquthni dari ‘Aisyah dan Ali ibn Abi Thalib)

c.     Syarat-syarat Taklif
Seorang mukallaf dianggap sah menanggung beban menurut syara’ harus memenuhi dua syarat:
1.      Mukallaf mampu memahami dalil taklif (pembebanan).
Seperti jika dia mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan kepadanya dari Al-Qur’an dan As-sunnah secara langsung atau dengan perantaraan. Karena orang yang tidak mampu memahami dalil taklif, tentu dia tidak dapat melaksanakan tuntutan itu dan tujuan pembebanan tidak akan tercapai.
Kemampuan memahami dalil taklif hanya dapat terwujud dengan akal. Sedangkan nash yang dibebankan kepada orang-orang berakal, hanya dapat dipahami oleh akal mereka. Karena akal adalah alat memahami dan menemukan, dan dengan akal suatu keinginan itu dapat diarahkan untuk mengikuti. Namun, karena akal adalah sesuatu yang samar yang tidak dapat diketahui oleh indera lahir, maka syari’ mengikat pembebanan itu dengan sesuatu yang diketahui oleh indera, yaitu tempat dugaan akal, yakni usia baligh (dewasa).
2.      Mukallaf adalah ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
Ahli menurut bahasa artinya layak dan pantas. Artinya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hukum, maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggung jawabkan. Seperti anak kecil yang belum baligh, orang gila, dan orang yang dianggap berada dibawah pengampunan.

d.      Ahliyyah 
Dari segi etimilogis berati kecakapan menangani suatu urusan.Adapun secara terminologis adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’ (Syafe’i, 2007: 339).
Pembagian Ahliyyah
Para ulama ushul fiqh membagi ahliyyah kepada dua bentuk, yaitu:
1.      Ahliyyah Ada’
Adalah sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negative.Ukuran untuk menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah aqil baligh dan cerdas. Hal ini sesuai firman Allah dalam surat an-nisa ayat 6:
(#qè=tGö/$#ur4yJ»tGuŠø9$##Ó¨Lym#sŒÎ)(#qäón=t/yy%s3ÏiZ9$#÷bÎ*sùLäêó¡nS#uäöNåk÷]ÏiB#Yô©â(#þqãèsù÷Š$$sùöNÍköŽs9Î)
öNçlm;ºuqøBr&(
Artinya: Dan ujilah[269] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.

[269] Yakni: Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.

2.      Ahliyyah Wujub
Adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya apabila harta bendanya dirusak orang lain, maka ia dianggap cakap untuk menerima ganti rugi.
Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia semenjak lahir sampai meninggal dalam segala sifat, kondisi, dan keadaannya serta tidak dibatasi umur, baligh atau tidak, dan cerdas atau tidak.
Para ulama ushul fiqh membagi ahliyyah wujub menjadi dua, yaitu:
·         Ahliyyah al-wujub al-naqishah
Yaitu seseorang yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin ini sudah dianggap memiliki ahliyyah wujub, akan tetapi belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya sebelum ia dilahirkan kedunia.
Hak-hak dari seorang janin yang masih dalam kandungan ada empat, yaitu:
Ø  Hak keturunan dari ayahnya
Ø  Hak warisan dari ahli warisnya yang meninggal dunia
Ø  Wasiat yang ditujukan kepadanya
Ø  Harta wakaf yang ditujukan kepadanya
·         Ahliyyah al-wujub al-kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan balig dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila.

e.       Penghalang keahlian (Ahliyyah)
Telah dijelaskan di atas bahwa keahlian wajib ada pada manusia karena sifat kemanusiaannya. Dan telah dijelaskan juga bahwa keahlian melaksanakan itu tidak dimiliki manusia di saat masih janin sebelum dilahirkan, saat kanak-kanak sebelum usia tujuh tahun. Bahwa ia sejak tamyiz (usia 7 tahun) sampai baligh (usia 15 tahun) ia baru memiliki keahlian melaksanakan yang tidak sempurna.
Selain itu juga dijelaskan bahwa seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akal, tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sama sekali, sehingga mengakibatkan ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Kecakapan seseorang dalam bertindak hukum bisa berubah karena disebabkan oleh hal-hal berikut:
a)      Awaridh al-samawiyyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan oleh manusia seperti gila, dungu, sakit yang berkelanjutan kemudian mati, dan lupa.
b)      Awaridh al-muktasabah, yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, tersalah, berada dibawah pengampunan dan bodoh.
Hal-hal yang menghalangi keahlian melaksanakan ini di antaranya dapat menghilangkan keahlian itu sama itu sama sekali seperti gila, tidur dan pingsan. Orang yang gila, tidur atau pingsan sama sekali tidak memiliki keahlian melaksanakan. Sehingga pengelolaan yang dilakukannya sama sekali tidak mempunyai akibat syar’i. Orang gila menurut keahlian wajibnya tidak wajib melaksanakan kewajiban pada harta yang ditunaikan oleh walinya.Orang tidur dan pingsan menurut keahlian wajibnya tidak wajib melaksanakan kewajiban pada tubuh dan hartanya yang ditunaikan setelah mereka tersadar.
Keahlian melaksanakan dasarnya adalah dapat membedakan dengan akalnya. Tanda-tanda akal adalah usia baligh (dewasa). Seorang yang baligh dan berakal maka keahlian melaksanakannya adalah sempurna.Jika ada hal baru yang dapat menghilangkan akalnya seperti gila, atau yang melemahkannya seperti kurang akal, atau keadaan yang tidak didasarinya seperti tidur atau pingsan, maka hal baru itu adalah pengahalang yang dapat mempengaruhi keahlian melaksanakan, dengan menghilangkan atau mengurangi.

C.      Kesimpulan
Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’ dinamakan dengan Mahkum Fih. Namun ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan objek hukum, yang mana syarat tersebut telah disebutkan pada bab pembahasan.
Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami kesulitan-kesulitan (masyaqqoh).Ada yang mampu diatasi manusia seperti sholat, puasa, haji.Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa dilakukan oleh mukallaf.Ada kesulitan yang tidak wajar yang manusia tidak sanggup untuk melakukannya, seperti puasa siang malam dan mengerjakan sholat secara terus menerus atau suatu pekerjaan yang sangat berat seperti perang fisabilillah, karena ini memerlukan pengorbanan jiwa, harta, dan sebagainya.Mukallaf yang telah mampu mengetahui tuntutan syara’ maka sudah dikenakan taklif atau pembebanan perbuatan yang dapat mengakibatkan hal yang positif maupun yang negative.

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf,2003.Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam.Jakarta:Pustaka Amani
Koto, Aladin.2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, edisi revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Harun, Nasrun, Haji. 1996. Ushul Fiqh 1, cetakan 1. Jakarta: Logos Publishing House.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.