Oleh: Meiliya dewi I (11510006); Indri Hastuti (11510009); Dewi
Ermawati (11510029); dan M.Royani
1.
Pengertian
Menurut lughat Istishab berarti membawa atau menemani. Sedangkan
menurut istilah:
اِستِبْقَاءُالْحُكْمِ
الثَّابِتِ فِى الزَّ مَانِ الْمَاضِى عَلَى مَا كَانَ
Artinya :
“ Berlangsungnya hukum
yang telah ada semenjak masa yang lalu berdasarkan apa yag telah ada itu”.
Jadi
secara jelas bahwa Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yag mengubahnya. Dengan ungkapan lain
Istishhab adalah menjadikan hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula
tetap berlaku hingga peristiwa peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang
mengubah ketentuan hukum itu.
Contoh
istishhab
a.
Telah terjadi
perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan
berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah
itu, maka perempuan B ingin menikah dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum
dapat kawin dengan C karena ia masih terikat tali perkawinan dengan A dan belum
ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun telah lama berpisah. Berpegang
dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan
B, adalah hukum yang telah ditetapkan dengan istishhab.
b.
Menurut firman
Allah SWT :
هُوَالَّذِى خَلَقَ لَكُمْ مَافِي اْلاَرْضِ جَمِيْعًا
Artinya : Dia
(Allah) lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu (manusia). (Q.S. Al-Baqarah:
29)
Dihalalkan bagi
manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya, kecuali
kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah
kehalalan mereka sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang
mengubah atau mengecualikannya.
2.
Dasar Hukum
Istishhab
Istishhab bukanlah suatu cara untuk menetapkan hukum, tetapi pada
hakikatnya adalah mengatakan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang
pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan.
Pernyataan itu sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan
hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari
contoh-contoh di atas. Seandainya si B dibolehkan kawin dengan si C, tentulah
akan terjadi perselisihan antara A dan C atau akan terjadi suatu keadaan
pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah (batal) dan antara yang
halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishhab
itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk
menetapkan hukum yang baru. Istishhab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk
menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah
pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian
halnya istishhab dapat dijadikan dasar hujjah.
Sebagian besar pengikut Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab
Safi’i, Madzhab Hambali, dan Madzhab Zhahiri berhujjah dengan Istishab, hanya
terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya, seperti pernyataan Abu Zaid,
salah seorang ulama Madzhab Hanafi Istishhab itu hanya dapat dijadikan dasar
hujjah untuk menolak ketetapan yang mengubah ketetapan yang telah ada, bukan
untuk menetapka hukum baru.
Jika diperhatikan proses terjadi atau perubahan undang-undang dalam
suatu negara atau keputusan pemerintah, maka Istishab ini adalah kaidah yang
selalu diperhatika oleh setiap pembuat undang-undang atau peraturan.
3.
Kehujjahan
istishhab
a.
Menurut
mayoritas Mutakalimin (ahli kalam) Istishab tidak bisa dijadikan dalil karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.
b.
Menurut
mayoritas ulama Hanafiyah khususnya Mutaakhirin (generasi belakangan) istishab
bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan
menganggap hukum ini, tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak
bisa menetapkan hukum yang ada.
c.
Menurut ulama
Malikiyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syiah berpendapat bahwa Istishhab itu
bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama
belum ada dalil yang mengubahnya.
4.
Macam-macam
istishhab
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat
dijadikan dasar untuk mengisthinbathkan hukum.
Ditinjau dari
segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:
a.
Istishhab
berdasar penetapan akal
Berdasarkan ayat 29 surat Al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan
suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah
untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana
dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian
halnya maka segala sesuatu itu pada azasnya mubah (boleh) digunakan,
dimanfaatkan atau dikerjakan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah
itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti
sebelum turunnya ayat 90 surat Al-Maidah, kaum muslimin dibolehkan meminum
khamar. Setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian
ayat tersebut mengecualikan khamar dan benda-benda lain yang dibolehkan
meminumnya.
Dari istishhab yang berdasar akal ini diciptakan kaidah-kaidah
berikut:
اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِالْإِبَاحَةُ
Artinya :
(menurut hukum) asal (nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan).
اَلْأَصْلُ فِي الْاِنْسَانِ الْبَرَاءَةُ
Artinya : (Menurut hukum) asal (nya) manusia itu bebas dari tanggungan.
اَلْأَصْلُ بَرَاءَةُالذِّمَّةِ
Artinya :
(Menurut hukum) asal (nya) tidak ada tanggungan.
b.
Istishhab
berdasarkan hukum syara’
Sesuai dengan
ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh
seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan
syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya
melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini tetap berlaku
selama mereka tidak pernah bercerai, walaupun mereka telah lama berpisah dan
selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan
bahwa hukum syara’ itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada
hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yag pernah ditetapkan.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:
اَلْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّكِّ
Artinya : (Hukum yang ditetapkan dengan)
yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan)
ragu-ragu.
اَلْأَصْلُ بَقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ حَتَّى يَشْبُتَ
مَايُغَيِّرُهُ
Artinya :
(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku menurut
keadaan adanya, hingga ada ketetapan yag mengubahnya.
اَلْأَصْلُ بَقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ حَتَّى يَقُوْمَ
الذَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
Artinya :
(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut
keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya.
Ditinjau dari bentuknya istishhab terbagi atas berbagai bentuk :
a.
Istishab
baraa-atul ashliyah atau baraa-atul’adamil ashliyah (kebebasan asli) seperti
kebebasan tanggung jawab beban syara’ sebelum ada dalil yang menunjukkan adanya
beban tersebut.
Ø Jika ia masih kecil, maka ia bebas sebelum sampai baligh
Ø Jika ia tidak mngetahui dan ia tinggal di negeri harby, maka ia
bebas menjelang ia tahu atau menjelang ia sampai ke negeri Islam
Ø Tidak tsabit-nya hak antara suami isteri, sebelum terjadi akad
nikah yang men-tsabit-kan hak tersebut
b.
Istishab kepada
dalil syara’ atau dalil akal tentang adanya, seperti masih tetap bertanggung
jawab terhadap utang, sebelum ada petunjuk bahwa sudah dilunasi atau dibebaskan
oleh yang berpiutang, keharusan si pembeli membayar harga menurut akad sebelum
ada petunjuk bahwa ia sudah membayarnya, keharusan suami membayar mahar sebelum
ada petunjuk bahwa ia sudah melunasinya atau direlakan oleh istrinya. Semuanya
ini ditetapkan dengan hukum syara’ dan oleh akal ditetapkan masih tetapnya
sebelum ada dalil yang mengubahnya.
c.
Istishabul
hukmi, yaitu tetapnya hukum sesuatu mubah sebelum ada dalil yang menunjukkan ia
diharamkan dan tetapnya hukum sesuatu haram sebelum ada dalil yang menunjukkan
kebolehannya.
d.
Istishabul
wasfy, baik yang sudah terjadi ataupun yang belum terjadi. Inilah istishab yang
dipertikaikan antara Syafi’iyah dan Hanabilah serta Zaidiyah dan Zohiriyah
disatu pihak dengan Hanafiyah dan Malikiyah
dipihak lain. Contohnya seperti telah dikemukakan pada masalah maqfud.
Referensi :
1.
Abdullah, sulaiman.
Sumber Hukum Islam. Sinar Grafika. Jakarta: 1995
2.
Yahya, Mukhtar,
dkk. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam. PT. Al-Ma’rif. Bandung:
1986
3.
Karim, Syafi’i.
Fiqih Ushul Fiqih. CV Pustaka Setia. Bandung: 2006
4.
Ushul Fiqh I
& H . pembinaan prasrana dan sarana perguruan tinggi agama islam di Jakarta
direktorat jenderal pembinaan kelembagaan agama islam departemen agama R.I.
1986
Komentar
Posting Komentar