Oleh:
Muhamad Ikhsan (11510038);
Muhammad Saalikuddin (11510039); Eko Riyanto (11510043); dan Siti Ratnasari (11510041)
A.
Pengertian
Al-Istishab (الا ستصحا ب)
Secara bahasa
al-istishab adalah طلب الصحبة واستمرارها
yaitu tuntunan pemeliharaan dan melanjutkan.[1] Istishab menurut bahasa arab ialah mengakui
adanya hubungan perkawinan. Sedangkan
menurut istilah ulama ushul fiqh adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan
sebelumnya sehingga terdapat dalil untuk mengubah hokum tersebut. [2]
Pengertian
Istishab menurut para Ahli Ushul Fiqh yaitu :
استبقاءالحكم
الذ ى ثبت بد ليل فى الما ضى قا ئما فى الحا ل حتى يو جد د ليل يغير ه.
“Membiarkan berlangsungnya suatu hokum yang
sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai
sekarang kecuali jika ada dalil lain yang merubahnya”.
Sedangakan
menurut Ibn Qoyyim, Istishab yaitu
melanjutkan ketetapan suatu hokum yang telah ada atau meniadakan suatu hokum
yang sejak semula tidak ada.[3]
Didalam buku
karangan Drs. H. Muchtah Hadi diterangkan bahwa Istishab itu adalah sebagai
berikut:
الا ستصحا ب فى اصطلا ح
الا صو ليين هو جعل الحكم كا ن ثا بتا فى الما ضى با قيا فى الحال لعدم العلم بد
ليل يغير ه
“Istishab menurut ulama Ushul Fiqh ialah menjadikan
hokum yang telah tetap pada masa lampau terus berlaku sampai sekarang karena
tidak diketahui ada dalil yang merubahnya.”[4]
Menurut
Abdul-Karim Zaidan, ahli ushul fiqh
berkebangsaan mesir yaitu :
استدامة اثبا ت ما كان ثا بتا, أو نفى ما
كان منفيا
“Menganggap tetapnya setatus sesuatu
seperti keadaannya semula selama sebelum ada bukti ada sesuatu yang mengubahnya.[5]
Definisi
istishab menurut Abu Bakar Ismail Muhammad miqa yaitu :
الا
بقا ء عل حكم المسأ لة الذي ثبت لها فى الما ضى نفيا واثبا تا قا ئما عل ما هو
عليه في الحال حتى يو جد دليل يغيره
“melanggengkan hokum suatu masalah yang
sudah tetap dari jaman lampau, baik ia di cegah maupun diperintahkan ;
ketentuan itu tetap berlaku hingga sekarang sehingga terdapat dalil yang
merubahnya.
Imam Syihab
al-Din Abu al-‘Abbas al-Qurafi, dalam karyanya Syarh Tanqih al-Fushul fi
Ikhtishar al-Mahshul fi al-Ushul, menjelakan bahwa yang dimaksud dengan
Istishab yaitu :
اعتقاد كون الشيء في
الما ضى أوالحا ضر يو جب ظن ثبو ته فى الحال اوالاستقبال
“keyakinan (mujtahid) tentang suatu pada
masa lalu atau sekarang ini, ia mewajibkan untuk menetapkan (hukumnya)
berdasarkan dugaan sekarang dan pada masa akan datang.
Imam al-Syaukani,
pengarang kitab Irsyad al-Fukhul menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
Istishab adalah :
بقاءالأمر مالم يو جد ما يغيره
“tetapnya sesuatu selama tidak ada sesuatu
yang lain mengubahnya”.
Definisi yang
dikemukakan oleh al-Syaukani dikomentari oleh Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa
sebagai berikut :
ان ما ثبت فى الما ضى فا لأصل بقاؤه على
ماكان عليه في الزمن الحاضر والمستقبل حتى يأ تي دليل يغيره
“Sesungguhnya sesuatu yang telah tetap pada
zaman lampau, tetap sebagaimana adanya hinggga sekarang ini dan mendatang
sebelum ada dalil yang mengubahnya”.
Ali Hasab Allah
dalam kitab Ushul al-Tasyri’ al-Islami menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
al-Istishab adalah :
الحكم عل سيء بما كان ثابتا له أو منفيا
عنه لعد م قيا م الد ليل على خلا فه
“Kebenaran ketetapan (hukum) sesuatu, baik ia
dibolehkan maupun dicegah karena tidak ada dalil yang mengubahnya”.
Semua definisi yang dikemukakan
oleh ulama diatas menuju pada kesamaan arti yang didasari oleh tiga segi/aspek
yaitu :
1.
Segi Waktu
2.
Segi ketepatan
3.
Segi dalil
Dari
segi waktu ai-Istishab dihubungkan dengan tiga waktu yaitu lampau, sekarang dan
mendatang. Dari segi ketetapan ada dua
kemungkinan yaitu diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Serta dari segi dalil, ketidak adaan dalil
yang mengubah ketetapan masa lalu merupakan kunci dari Istishab. Apabila terdapat dalil yang mengubah suatu
ketetapan, Istishab tidak berlaku lagi. [6]
B.
Macam-macam
al-Istishab (الا ستصحا ب)
Secara umum Istishab dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1.
Istishab hukm al-‘aql bi al-ibahat aw
al-bara’at al-ashliyyat.
2.
Istishab hukm syar’iy bi al-dalil wa lam
yaqum alil ‘ala taghayyurib.
Sedangkan
secara rinci, Abu Bakar Isma’il Muhammad Miqa membagi Istishab kedalam tiga
macam yaitu :
1.
Istishab al-bara’at al-ashliyyat
2.
Istishab al washf al-mutsbit li al-hukm
batta yatsbuta khilafuh
3.
Istishab al-hal al-sabiqat.
Dalam
rangka untuk memperjelas pembagian istishab secara umum seperti yang dikatakan
oleh Ali Hasab Allah, sebaliknya istilah tersebut disederhanakan sebagai
berikut : Istishab hukm al-‘aql bi al-ibahat aw al-bara’at al-ashliyyat menjadi
Istishab akal dan Istishab hukm syar’iy bi al-dalil wa lam yaqum alil ‘ala
taghayyurib menjadi Istishab Syara’.[7]
Sedangkan
menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu :
1.
Istishab al-ibahah al-ashliyah
Yaitu
Istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu adalah mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam
menetapkan hukum di bidang mu’amalat.
Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari
sesuatu yang bermanfaat itu boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama
tidak ada dalil yang melaranganya.
Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 29.
هو الذي خلق لكم ما في الارض جميعا ...
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang
ada dibumi untuk kamu …”.
Ayat
diatas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi untuk umat manusia dalam pengertian
boleh dimakan makanannya boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi
kehidupan. Apabila ada larangan, berarti
pada makanan dan perbuatan tersebut berbahaya bagi manusia.
2.
Istishab al-baraah al-ashliyah
Istishab
yang didasarkan pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif
sampai ada dalil yang mengubah status itu. Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat
pada diri seseorang ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada
dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan setatusnya itu tidak bisa diganggu
gugat kecuali ada bukti yang jelas. Jadi
seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap berada dalam status
tidak bersalah sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
3.
Istishab al-hukm
Istishab
yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada
bukti yang mengubahnya.
Misalnya : seorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak
seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti
dengan peristiwa yang mngubah status hukum itu, seperti duijual atau di
hibahkan kepada pihak lain.
4.
Istishab al-washf
Istishab
yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada
sebelumnya sampai ada bukti yang
mengubahnya.
Misalnya: sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap
masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.[8]
Di dalam penerapan Istishab yang disepakati
itu (1,2,3) terjadi perbedaan, yang diantaranya dapat terlihat pada
masalah-masalah berikut :
1. Apabila
seseorang dalam keadaan berwudhu’, kemudian ia ragu bahwa ia berhadas. Menurut Malik orang tersebut tidak boleh
shalat sebelum ia berwudhu’ lagi. Yang
demikian disebabkan bertentangan dua macam asal :
a.
Tetapnya sifat wudhu’ berdasarkan
Istishab dan tidak bisa dihilangkan oleh syak.
b.
Bahwa tanggung jawabnya ialah
melaksanakan kwajiban shalat.
Dengan
berpegang pada Istishab beban kewajiban shalat hanya bisa bebas apabila telah
dilaksanakan menurut tata caranya dengan wudhu yang tsabit secara yakin, sedang
wudhu orang tersebut berada dalam setatus ragu dan keraguan terhadap suci
meniadakan syarat sahalat. Ulama’ selain
Malik menetapkan orang tidi boleh shalat karena wudhu’nya tidak
hilang/batal. Dalam pendapat ini,
pendapat Imam Malik lebih berhati-hati dan lebih patut diterima.
2. Apabila
seorang menjatuhkan talak kepada istriny, kemudian ia ragu apakah ia
menjatuhkan talak satu atau talak tiga.
Dalam kasus ini Jumhur Fuqaha berpendapat jatuh talah satu, sedangkan
Imam Malik mangatakan talak tiga, dengan alasan disini terjadi pertentangan dua
asal :
a.
Tetap halalnya (jatuh satu) sebelum
tsabit berubahnya. Disani terjadi
kegu-raguan apakah tsabit-nyayang mengubah itu yaitu talak. Dari segi ini, maka tetap halal (jatuh satu).
b.
Bahwa talak bila dijatuhkan maka tsabit
dengan yakin. Tetapi, keraguan
terjadi apakah tsabit rujuk atau tidak,
sedangkan rujuk (jatuh satu) tidak tsabit dengan terjadinya keragu-raguan.
Dalam
hal ini pendapat Jumhur lebih diterima karena kehalalan dalam masalah nikah
adalah diyakini dan tidak bisa hilang kecuali dengan yakin dan bukan
ragu-ragu. Tidak boleh dikatakan bahwa
asal dalam keharaman dengan sebab talak dan diragukan tentang kehalalan.
3. Apabila
seorang menjatuhkan talak kepada salah seorang istrinya kemudian ia ragu kepada
istri yang mana dijatuhkan talak itu.
Menurut Malikiyah jatuh talak kepada dua istrinya, karena tsabitnya
talak terjadi dengan yakin. Maka talak
itu terjadi dengan yakin terhadap salah seorang istrinya sedangkan jalan untuk
menentukan salah satunya tidak ada, maka jatuhnya talak terhadap kedua istrinya
berdasarkan Istishab dengan hukum talah yang tsabit dengan yakin tadi. Tetapi Jumhur Fuqaha menetapkan bahwa yang
tsabit dengan yakin adalah nikah, maka ia tidak hilang dengan sebab
keraguan tentang adanya talak yang
mencegah hukum akad nikah (hukum perkawinan) yang tsabit.
Dari kaidah-kaidah Istishab dan perbedaan Fuqaha
dalam penerapannya, jelaslah bahwa :
1. Istishab
itu bukan dalil syara’ dan bukan sumber istidlal, tetapi hanyalah pengamalan
terhadap dalil-dalil yang sudah ada dan pengakuan terhadap hukum yang sudah
tsabit yang tak terdapat sesuatu yang mengubahnya.
2. Istishab
menjadi landasan kaidah yang ketiga seperti yang ditegaskan oleh Ibn Hazmin yaitu :
a.
Apa yang tsabit dengan yakin, tidak bisa
hilang kecuali dengan yakin sepertinya.
b.
Apa yang tsabit halalnya , tidak menjadi
haram kecuali dengan dalil yang merubahnya atau dengan sesuatu yang mengubah
sifatnya.
c.
Bahwa setiap yang tak ada dalil syara’,
masih tetap berlaku menurut hukum asal.[9]
C. Qaidah al-Istishab (الا ستصحا ب)
Dari pengertian
Istishab seperti diatas ditetapkan beberapa qaidah antara lain :
1. الا صل بقاء ما كا ن على ما كا ن
Artinya : pada
pokoknya sesuatu itu tetap menurut adanya semula.
2. الا صل فى الا شياء الا باحة حتى يد ل الد
ليل على التحر يم
Artinya
: pada pokoknya segala sesuatu itu adalah boleh, sehingga ada dalil yang
mengharamkannya.
3. اليقين لا يزا ل با لشك
Artinya : sesuatu
yang terbukti dengan yakin tidak hapus karena keragu-raguan.
4. الا صل فى الا نسا ن البراء ة
Artinya : pada
pokoknya manusia itu bebas tanggungan.
5. الا صل فى الا شياء التحر يم حتى يد ل الد
ليل على الا با حة
Artinya :pada
pokoknya segala sesuatu itu haram sehingga ada dalil yang memperbolehkannya.
Berkaitan dengan hal ini Imam Syaifi’i
berpendapat bahwa Allah itu maha Bijaksana, sehingga menciptakan sesuatu, lalu
mengharamkan sesuatu atas hamba-Nya.
Beliau berdasarkan sabda Rosulullah SAW :
مااحل الله فهو حلا ل وما حرم فهو حرام
وما سكت عنه فهو عفو
Artinya
: apa saja yang dihalalkan Allahadalah halal, dan apa saja yang diharamkan
Allah adalah haram, sedangkan apa saja yang di diamkan adalah dimanfaatkan.[10]
D. Perbedaan Pendapat Ulama’ tentang
al-Istishab (الا ستصحا ب)
Para ulama’ Ushul Fiqh seperti dikemukakan
oleh Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga macam Istishab yang disebut
pertama distas adalah sah dijadikan
landasan hukum. Mereka berbeda pendapat
pada macam yang ke empat yaitu istishab al-washf. Dalam hal ini ada dua pendapat :
1.
Kalangan hanabilah dan Syafi’iyah
berpendapat bahwa Istishab al-washf dapat dijadikan landasan secara penuh baik
dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah
ada. Misalnya seorang hilang tidak tahu
tempatnya, tetapi dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia wafat. Oleh karena masih dianggap hidup, maka
berlaku baginya segala hal bagi yang hidup seperti bahwa harta dan
istrinyamasih dianggap kepunyaanya, dan jika ahli warisnya yang wafat maka dia
turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan
sebagai hak miliknya.
2.
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa, Istishab al-washf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya
yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalan contoh diatas, orang yang hilang itu
meskipun masih dianggap hidup, yang dengan itu istrinya tetap dianggap sebagai
istrinya dan hartanya juga bersetatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang
masih hidup, namun jika ada ahli warisnya yang wafat, maka khusus kadar
pembagiannya harus disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai hak sampai
terbukti ia masih hidup. Jika terbukti
ia sudah wafat dan wafatnya lebih dulu dari pada ahli warisnya, maka kadar
pembagiannya yang disimpan tersebut dibagi antara ahli waris yang masih ada. Alasan mereka didasarkan pada dalil Istishab
yang berupa dugaan bukan hidup secara fakta.[11]
E. Kehujjahan al-Istishab (الا ستصحا ب)
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang
dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid untuk mengetahui hukum suatu
peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena ulama’ Ushul berkata :“Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat
beredar fatwa “. Yaitu mengetahui atas
suatu hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang
mengubahnya. Ini adalah teori dalam
pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan
dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan dan ketetapan mereka. Maka barang siapa yang mengetahui seorang
masih hidup, maka dihukumi atas kehidupannya, dan didasarkan pengelolaan atas
kehidupan ini sampai ada dalil yang menunjukkan atas terputusnya.[12]
Sebagai yang dikemukakan oleh Abu bakar
Ismail Muhammad Miqa, bahwa ulama’ terbagi menjadi dua dalam menentukan
kehujjahan Istishab. Ulama yang menerima
dan ulama yang menolaknya. Ulama yang
menerima Istishab sebagai hujjah berarguman bahwa dalam mu’amalah dan
pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudar berlaku diantara
mereka. Ia dapat dijadikan dasar untuk
penentuan hukum tersebut selama tidak ada dalil yang mngubahnya. Rujukan tekstualnya adalah Al-Qur’an, surat
Al-Baqarah ayat 29.
1. Sabda
Rosulullah :
صو موالرؤيته
وافطروالرؤيته فاءن غم عليكم فا كملو اعدة شعبا ن ثلا ثبن يوما
“Berpuasalah
kamu karena dilihatnya anak bulan dan berbukalah kerena dilihatnya anak
bulan. Jika dihalangi awan dilihatnya
anak bulan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban selama 30 hari”.
Yang
demikian adalah merupakan Istishab dan tetapnya bulan Sya’ban selama belum
tsabit dilihatnya anak bulan Ramadhan.
2. Bahwa
penelitian terhadap hukum syara’ membuktikan bahwa syar’i memutuskan hukum
tetapnya keadaan yang sudah ditetapkan sebelum terjadi katentuan yang
mengubahnya. Khomr tetap haram sebelum
ia menjadi cuka. Perasan anggur tetap
halal sebelum menadi khomr. Pergaulan
suami istri tetap halal antara suami istri sebelum hilang hubungan suami istri.[13]
Dalam penerapan Istishab para ulama’ berpendapat :
1. Jumhur
yang dipeloporo oleh Imam Malik, sebagian ulama syafi’iyah dan hanafiah
berpendapat bahwa Istishab dapat dijadikan hujjah syar’iyah ketika tidak ada
dalil dalam Al-Qur’an, Assunnah, Ijma’, dan qiyas. Hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum
ada dalil yang mengubahnya.[14]
2. Syafi’iyah
dan Hanabilah serta Zaidiyah dan Zohiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru
timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya yang
terdahulu. Dalam masalah ini seseorang
yanghilang tak tau rimbanya dan tidak diketahui hidup atau maningga, tetap
dihukumkan hidup berdasarkan Istishab sebelum ada keterangan tentang
kematiannya. Oleh karena itu sama
seperti hikum orang yang masih hidup , sehingga ia tetap mewarisi menerima
wasiat menerima hak-hak baru. Dia pun
belum boleh diwarisi dan istrinya masih tetap sebagai istrinya.
3. Hafiyah
dan malikiyah membatasi Istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak
terhadap aspek yang menarik (ijaby), menjadi hujjah untuk menolak tetapi tidak
untuk men-tsabit-kan. Ini berarti bahwa
orang yang hilang tadi hanya mempunyai hak terhadap haknya yang sudah ada,
dengan arti tidak boleh dihilangkan dari dia, tetapi ia tidak mempunyai hak-hak
baruyang belum ada sejak hilang. Ini berarti
juga istishab bukan merupakan dalil baru yang men-tsabit-kan, tetapi berpegang
pada asal yang sudah tsabit dan tidak ada dalil yang mengubahnya. Maka pengaruhnya hanya terbatas pada hak-hak
yang sudah ada dan tidak melebar kapada hak-hak baru yang belum ada sebelumnya.[15]
Sedangkan
untuk ulama yang menolak kehujjahan
istishab berargumen bahwa penentuan halal, haram dan sucinya sesuatu memerlukan
dalil yang dalil itu tidak didapat kecuali dari syari. Dalil yang syar’i tercakup dalam nash
Al-Qur’an, As-sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Istishab tidak termasuk dalil yang syar’i.[16]
F. KESIMPULAN
1. Pengertian
istishab
Secara bahasa
al-istishab adalah طلب الصحبة واستمرارها
yaitu tuntunan pemeliharaan dan melanjutkan.
Istishab menurut bahasa arab ialah mengakui adanya hubungan
perkawinan. Sedangkan menurut istilah
ulama ushul fiqh adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga
terdapat dalil untuk mengubah hokum tersebut.
2. Macam-macam
istishab
Secara umum Istishab dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a.
Istishab hukm al-‘aql bi al-ibahat aw
al-bara’at al-ashliyyat.
b.
Istishab hukm syar’iy bi al-dalil wa lam
yaqum alil ‘ala taghayyurib.
Sedangkan
secara rinci, Abu Bakar Isma’il Muhammad Miqa membagi Istishab kedalam tiga
macam yaitu :
a.
Istishab al-bara’at al-ashliyyat
b.
Istishab al washf al-mutsbit li al-hukm
batta yatsbuta khilafuh
c.
Istishab al-hal al-sabiqat.
Dalam
rangka untuk memperjelas pembagian istishab secara umum seperti yang dikatakan
oleh Ali Hasab Allah, sebaliknya istilah tersebut disederhanakan sebagai
berikut : Istishab hukm al-‘aql bi al-ibahat aw al-bara’at al-ashliyyat menjadi
Istishab akal dan Istishab hukm syar’iy bi al-dalil wa lam yaqum alil ‘ala
taghayyurib menjadi Istishab Syara’.
Sedangkan
menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu :
a.
Istishab al-ibahah al-ashliyah
b.
Istishab al-baraah al-ashliyah
c.
Istishab al-hukm
d.
Istishab al-washf
3.
Qaidah al-Istishab (الا ستصحا ب)
Dari pengertian
Istishab seperti diatas ditetapkan beberapa qaidah antara lain :
a. الا صل بقاء ما كا ن على ما كا ن
Artinya : pada
pokoknya sesuatu itu tetap menurut adanya semula.
b. الا صل فى الا شياء الا باحة حتى يد ل الد
ليل على التحر يم
Artinya
: pada pokoknya segala sesuatu itu adalah boleh, sehingga ada dalil yang
mengharamkannya.
c. اليقين لا يزا ل با لشك
Artinya :
sesuatu yang terbukti dengan yakin tidak hapus karena keragu-raguan.
d. الا صل فى الا نسا ن البراء ة
Artinya : pada
pokoknya manusia itu bebas tanggungan.
e. الا صل فى الا شياء التحر يم حتى يد ل الد
ليل على الا با حة
Artinya :pada
pokoknya segala sesuatu itu haram sehingga ada dalil yang memperbolehkannya.
4.
Perbedaan Pendapat Ulama’ tentang
al-Istishab (الا ستصحا ب)
Para ulama’ Ushul Fiqh seperti dikemukakan
oleh Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga macam Istishab yang disebut
pertama distas adalah sah dijadikan
landasan hukum. Mereka berbeda pendapat
pada macam yang ke empat yaitu istishab al-washf. Dalam hal ini ada dua pendapat :
a.
Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah
berpendapat bahwa Istishab al-washf dapat dijadikan landasan secara penuh baik
dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah
ada.
b.
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa, Istishab al-washf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya
yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru.
5.
Kehujjahan al_Istishab (الا ستصحا ب)
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang
dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa
yang dihadapkan kepadanya, karena ulama’ Ushul berkata :“Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat
beredar fatwa “. Yaitu mengetahui atas
suatu hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang
mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan
dalil yang telah menjadi kebiasaan dan
tradisi manusia dalam segala pengelolaan
dan ketetapan mereka. Maka barang
siapa yang mengetahui seorang masih hidup, maka dihukumi atas kehidupannya, dan
didasarkan pengelolaan atas kehidupan ini sampai ada dalil yang menunjukkan
atas terputusnya.
Sebagai yang dikemukakan oleh Abu bakar
Ismail Muhammad Miqa, bahwa ulama’ terbagi menjadi dua dalam menentukan
kehujjahan Istishab. Ulama yang menerima
dan ulama yang menolaknya. Ulama yang
menerima Istishab sebagai hujjah berarguman bahwa dalam mu’amalah dan
pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudar berlaku diantara
mereka. Ia dapat dijadikan dasar untuk
penentuan hukum tersebut selama tidak ada dalil yang mngubahnya. Rujukan tekstualnya adalah Al-Qur’an, surat
Al-Baqarah ayat 29.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad
Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press.
2. Abdullah,
Dr. H. Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya.
Jakarta: Sinar Grafika.
3. Khallaf,
Prof. DR. Abdul Wahhab. 1988. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
4. Yahya,
Prof. DR. Mukhtar, Prof. Drs. Fatchurrahman. 1983. Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT Alma’arif.
5. Salam,
DRS. Zarkasji Abdul, DRS. Oman Fathurohman, SW. 1994. Pengantar Ilmu Fiqh
Ushul Fiqh I. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
6. Hadi,
M.Ag, Drs. H. Muchtah. 2011. Ushul Fiqh. Yogyakarta : Trust Media
Publishing.
7. Effendi,
Prof. DR. H. Satria, M. Zein, M.A. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada
Media.
[1]
Jaih
Mubarok, 2002: 133
[2]
Prof.
Dr. Abdul Wahab Khallaf, 1988 : 137
[3]
Drs.
Zarkasji Abdul Salam dan Drs. Oman Fathurahman SW, 1994 : 120
[4]
Drs. H.
Muchtah Hadi, M.Ag, 2011: 72
[5]
Prof.
Dr. H. Satria Efendi dan M. Zein, M.A, 2005: 159
[6]
Jaih
Mubarok, 2002: 133-135
[7]
Jaih
Mubarok, 2002: 135
[8]
Prof.
DR. H. Satria Efendi dan M. Zein, M.A, 2005: 159-161
[9]
Dr.
H. Sulaiman Abdullah, 1995 : 161-163
[10]
Drs. H.
Muchtah Hadi,M.Ag, 2011 : 73-74
[11]
Prof.
DR. H. Satria Efendi dan M. Zein, M.A, 2005 : 161-162
[12]
Prof.
Dr. Abdul Wahhab Khallaf, 1988 : 138
[13]
Dr.
H. Sulaiman Abdullah, 1995: 159
[14]
Jaih
Mubarok, 2002 : 140
[15]
Dr.
H. Sulaiman Abdullah, 1995 : 159-160
[16]
Jaih
Mubarok, 2001: 140
Komentar
Posting Komentar