Langsung ke konten utama

AL-ISTISHAB (الا ستصحا ب)




Oleh: Muhamad Ikhsan (11510038); Muhammad Saalikuddin (11510039); Eko Riyanto (11510043); dan Siti Ratnasari (11510041)

A.    Pengertian Al-Istishab (الا ستصحا ب)
Secara bahasa al-istishab adalah طلب الصحبة واستمرارها yaitu tuntunan pemeliharaan dan melanjutkan.[1]  Istishab menurut bahasa arab ialah mengakui adanya hubungan perkawinan.  Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil untuk mengubah hokum tersebut. [2]

Pengertian Istishab menurut para Ahli Ushul Fiqh yaitu :
استبقاءالحكم الذ ى ثبت بد ليل فى الما ضى قا ئما فى الحا ل حتى يو جد د ليل يغير ه.
“Membiarkan berlangsungnya suatu hokum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang kecuali jika ada dalil lain yang merubahnya”.
Sedangakan menurut Ibn Qoyyim, Istishab  yaitu melanjutkan ketetapan suatu hokum yang telah ada atau meniadakan suatu hokum yang sejak semula tidak ada.[3]
Didalam buku karangan Drs. H. Muchtah Hadi diterangkan bahwa Istishab itu adalah sebagai berikut:
الا ستصحا ب فى اصطلا ح الا صو ليين هو جعل الحكم كا ن ثا بتا فى الما ضى با قيا فى الحال لعدم العلم بد ليل يغير ه
“Istishab  menurut ulama Ushul Fiqh ialah menjadikan hokum yang telah tetap pada masa lampau terus berlaku sampai sekarang karena tidak diketahui ada dalil yang merubahnya.”[4]
Menurut Abdul-Karim  Zaidan, ahli ushul fiqh berkebangsaan mesir yaitu :
استدامة اثبا ت ما كان ثا بتا, أو نفى ما كان منفيا
“Menganggap tetapnya setatus sesuatu seperti keadaannya semula selama sebelum ada bukti ada sesuatu yang mengubahnya.[5]
Definisi istishab menurut Abu Bakar Ismail Muhammad miqa yaitu :
الا بقا ء عل حكم المسأ لة الذي ثبت لها فى الما ضى نفيا واثبا تا قا ئما عل ما هو عليه في الحال حتى يو جد دليل يغيره
“melanggengkan hokum suatu masalah yang sudah tetap dari jaman lampau, baik ia di cegah maupun diperintahkan ; ketentuan itu tetap berlaku hingga sekarang sehingga terdapat dalil yang merubahnya.
Imam Syihab al-Din Abu al-‘Abbas al-Qurafi, dalam karyanya Syarh Tanqih al-Fushul fi Ikhtishar al-Mahshul fi al-Ushul, menjelakan bahwa yang dimaksud dengan Istishab yaitu :
اعتقاد كون الشيء في الما ضى أوالحا ضر يو جب ظن ثبو ته فى الحال اوالاستقبال
“keyakinan (mujtahid) tentang suatu pada masa lalu atau sekarang ini, ia mewajibkan untuk menetapkan (hukumnya) berdasarkan dugaan sekarang dan pada masa akan datang.
Imam al-Syaukani, pengarang kitab Irsyad al-Fukhul menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Istishab adalah :
بقاءالأمر مالم يو جد ما يغيره
“tetapnya sesuatu selama tidak ada sesuatu yang lain mengubahnya”.
Definisi yang dikemukakan oleh al-Syaukani dikomentari oleh Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa sebagai berikut :
ان ما ثبت فى الما ضى فا لأصل بقاؤه على ماكان عليه في الزمن الحاضر والمستقبل حتى يأ تي دليل يغيره
“Sesungguhnya sesuatu yang telah tetap pada zaman lampau, tetap sebagaimana adanya hinggga sekarang ini dan mendatang sebelum ada dalil yang mengubahnya”.
Ali Hasab Allah dalam kitab Ushul al-Tasyri’ al-Islami menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Istishab adalah :
الحكم عل سيء بما كان ثابتا له أو منفيا عنه لعد م قيا م الد ليل على خلا فه
“Kebenaran ketetapan (hukum) sesuatu, baik ia dibolehkan maupun dicegah karena tidak ada dalil yang mengubahnya”.
Semua definisi yang dikemukakan oleh ulama diatas menuju pada kesamaan arti yang didasari oleh tiga segi/aspek yaitu :
1.      Segi Waktu
2.      Segi ketepatan
3.      Segi dalil
Dari segi waktu ai-Istishab dihubungkan dengan tiga waktu yaitu lampau, sekarang dan mendatang.  Dari segi ketetapan ada dua kemungkinan yaitu diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.  Serta dari segi dalil, ketidak adaan dalil yang mengubah ketetapan masa lalu merupakan kunci dari Istishab.  Apabila terdapat dalil yang mengubah suatu ketetapan, Istishab tidak berlaku lagi. [6]

B.     Macam-macam al-Istishab (الا ستصحا ب)
Secara umum Istishab dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1.      Istishab hukm al-‘aql bi al-ibahat aw al-bara’at al-ashliyyat.
2.      Istishab hukm syar’iy bi al-dalil wa lam yaqum alil ‘ala taghayyurib.
Sedangkan secara rinci, Abu Bakar Isma’il Muhammad Miqa membagi Istishab kedalam tiga macam yaitu :
1.      Istishab al-bara’at al-ashliyyat
2.      Istishab al washf al-mutsbit li al-hukm batta yatsbuta khilafuh
3.      Istishab al-hal al-sabiqat.
Dalam rangka untuk memperjelas pembagian istishab secara umum seperti yang dikatakan oleh Ali Hasab Allah, sebaliknya istilah tersebut disederhanakan sebagai berikut : Istishab hukm al-‘aql bi al-ibahat aw al-bara’at al-ashliyyat menjadi Istishab akal dan Istishab hukm syar’iy bi al-dalil wa lam yaqum alil ‘ala taghayyurib menjadi Istishab Syara’.[7]
Sedangkan menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu :
1.      Istishab al-ibahah al-ashliyah
Yaitu Istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu adalah mubah (boleh).  Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang mu’amalat.  Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat itu boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melaranganya.  Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 29.
هو الذي خلق لكم ما في الارض جميعا ...
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu …”.
Ayat diatas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di  bumi untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan.  Apabila ada larangan, berarti pada makanan dan perbuatan tersebut berbahaya bagi manusia.

2.      Istishab al-baraah al-ashliyah
Istishab yang didasarkan pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah status itu.  Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan setatusnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali ada bukti yang jelas.  Jadi seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalah sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
3.      Istishab al-hukm
Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.  Misalnya : seorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mngubah status hukum itu, seperti duijual atau di hibahkan kepada pihak lain.
4.      Istishab al-washf
Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti  yang mengubahnya.  Misalnya: sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.[8]
      Di  dalam penerapan Istishab yang disepakati itu (1,2,3) terjadi perbedaan, yang diantaranya dapat terlihat pada masalah-masalah berikut :
1.      Apabila seseorang dalam keadaan berwudhu’, kemudian ia ragu bahwa ia berhadas.  Menurut Malik orang tersebut tidak boleh shalat sebelum ia berwudhu’ lagi.  Yang demikian disebabkan bertentangan dua macam asal :
a.       Tetapnya sifat wudhu’ berdasarkan Istishab dan tidak bisa dihilangkan oleh syak.
b.      Bahwa tanggung jawabnya ialah melaksanakan kwajiban shalat.
      Dengan berpegang pada Istishab beban kewajiban shalat hanya bisa bebas apabila telah dilaksanakan menurut tata caranya dengan wudhu yang tsabit secara yakin, sedang wudhu orang tersebut berada dalam setatus ragu dan keraguan terhadap suci meniadakan syarat sahalat.  Ulama’ selain Malik menetapkan orang tidi boleh shalat karena wudhu’nya tidak hilang/batal.  Dalam pendapat ini, pendapat Imam Malik lebih berhati-hati dan lebih patut diterima.

2.      Apabila seorang menjatuhkan talak kepada istriny, kemudian ia ragu apakah ia menjatuhkan talak satu atau talak tiga.  Dalam kasus ini Jumhur Fuqaha berpendapat jatuh talah satu, sedangkan Imam Malik mangatakan talak tiga, dengan alasan disini terjadi pertentangan dua asal :
a.       Tetap halalnya (jatuh satu) sebelum tsabit berubahnya.  Disani terjadi kegu-raguan apakah tsabit-nyayang mengubah itu yaitu talak.  Dari segi ini, maka tetap halal (jatuh satu).
b.      Bahwa talak bila dijatuhkan maka tsabit dengan yakin.  Tetapi, keraguan terjadi  apakah tsabit rujuk atau tidak, sedangkan rujuk (jatuh satu) tidak tsabit dengan terjadinya keragu-raguan.
      Dalam hal ini pendapat Jumhur lebih diterima karena kehalalan dalam masalah nikah adalah diyakini dan tidak bisa hilang kecuali dengan yakin dan bukan ragu-ragu.  Tidak boleh dikatakan bahwa asal dalam keharaman dengan sebab talak dan diragukan tentang kehalalan.
3.      Apabila seorang menjatuhkan talak kepada salah seorang istrinya kemudian ia ragu kepada istri yang mana dijatuhkan talak itu.  Menurut Malikiyah jatuh talak kepada dua istrinya, karena tsabitnya talak terjadi dengan yakin.  Maka talak itu terjadi dengan yakin terhadap salah seorang istrinya sedangkan jalan untuk menentukan salah satunya tidak ada, maka jatuhnya talak terhadap kedua istrinya berdasarkan Istishab dengan hukum talah yang tsabit dengan yakin tadi.  Tetapi Jumhur Fuqaha menetapkan bahwa yang tsabit dengan yakin adalah nikah, maka ia tidak hilang dengan sebab keraguan  tentang adanya talak yang mencegah hukum akad nikah (hukum perkawinan) yang tsabit.
Dari kaidah-kaidah Istishab dan perbedaan Fuqaha dalam penerapannya, jelaslah bahwa :
1.      Istishab itu bukan dalil syara’ dan bukan sumber istidlal, tetapi hanyalah pengamalan terhadap dalil-dalil yang sudah ada dan pengakuan terhadap hukum yang sudah tsabit yang tak terdapat sesuatu yang mengubahnya.
2.      Istishab menjadi landasan kaidah yang ketiga seperti yang ditegaskan  oleh Ibn Hazmin yaitu :
a.       Apa yang tsabit dengan yakin, tidak bisa hilang kecuali dengan yakin sepertinya.
b.      Apa yang tsabit halalnya , tidak menjadi haram kecuali dengan dalil yang merubahnya atau dengan sesuatu yang mengubah sifatnya.
c.       Bahwa setiap yang tak ada dalil syara’, masih tetap berlaku menurut hukum asal.[9]

C.    Qaidah al-Istishab (الا ستصحا ب)
Dari pengertian Istishab seperti diatas ditetapkan beberapa qaidah antara lain :
1.      الا صل بقاء ما كا ن على ما كا ن
Artinya : pada pokoknya sesuatu itu tetap menurut adanya semula.
2.      الا صل فى الا شياء الا باحة حتى يد ل الد ليل على التحر يم
Artinya : pada pokoknya segala sesuatu itu adalah boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya.
3.      اليقين لا يزا ل با لشك
Artinya : sesuatu yang terbukti dengan yakin tidak hapus karena keragu-raguan.
4.      الا صل فى الا نسا ن البراء ة
Artinya : pada pokoknya manusia itu bebas tanggungan.
5.      الا صل فى الا شياء التحر يم حتى يد ل الد ليل على الا با حة
Artinya :pada pokoknya segala sesuatu itu haram sehingga ada dalil yang memperbolehkannya.
      Berkaitan dengan hal ini Imam Syaifi’i berpendapat bahwa Allah itu maha Bijaksana, sehingga menciptakan sesuatu, lalu mengharamkan sesuatu atas hamba-Nya.  Beliau berdasarkan sabda Rosulullah SAW :
مااحل الله فهو حلا ل وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو
 Artinya : apa saja yang dihalalkan Allahadalah halal, dan apa saja yang diharamkan Allah adalah haram, sedangkan apa saja yang di diamkan adalah dimanfaatkan.[10]

D.    Perbedaan Pendapat Ulama’ tentang al-Istishab (الا ستصحا ب)
      Para ulama’ Ushul Fiqh seperti dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga macam Istishab yang disebut pertama distas adalah sah  dijadikan landasan hukum.  Mereka berbeda pendapat pada macam yang ke empat yaitu istishab al-washf.  Dalam hal ini ada dua pendapat :
1.      Kalangan hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa Istishab al-washf dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada.  Misalnya seorang hilang tidak tahu tempatnya, tetapi dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia wafat.  Oleh karena masih dianggap hidup, maka berlaku baginya segala hal bagi yang hidup seperti bahwa harta dan istrinyamasih dianggap kepunyaanya, dan jika ahli warisnya yang wafat maka dia turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
2.      Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa, Istishab al-washf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru.  Dalan contoh diatas, orang yang hilang itu meskipun masih dianggap hidup, yang dengan itu istrinya tetap dianggap sebagai istrinya dan hartanya juga bersetatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun jika ada ahli warisnya yang wafat, maka khusus kadar pembagiannya harus disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai hak sampai terbukti ia masih hidup.  Jika terbukti ia sudah wafat dan wafatnya lebih dulu dari pada ahli warisnya, maka kadar pembagiannya yang disimpan tersebut dibagi antara ahli waris yang masih ada.  Alasan mereka didasarkan pada dalil Istishab yang berupa dugaan bukan hidup secara fakta.[11]

E.     Kehujjahan al-Istishab (الا ستصحا ب)
      Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena ulama’ Ushul berkata  :“Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredar fatwa “.  Yaitu mengetahui atas suatu hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya.  Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan  dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan  dan ketetapan mereka.  Maka barang siapa yang mengetahui seorang masih hidup, maka dihukumi atas kehidupannya, dan didasarkan pengelolaan atas kehidupan ini sampai ada dalil yang menunjukkan atas terputusnya.[12]
      Sebagai yang dikemukakan oleh Abu bakar Ismail Muhammad Miqa, bahwa ulama’ terbagi menjadi dua dalam menentukan kehujjahan Istishab.  Ulama yang menerima dan ulama yang menolaknya.  Ulama yang menerima Istishab sebagai hujjah berarguman bahwa dalam mu’amalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudar berlaku diantara mereka.  Ia dapat dijadikan dasar untuk penentuan hukum tersebut selama tidak ada dalil yang mngubahnya.  Rujukan tekstualnya adalah Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 29.
1.      Sabda Rosulullah :
صو موالرؤيته وافطروالرؤيته فاءن غم عليكم فا كملو اعدة شعبا ن ثلا ثبن يوما
“Berpuasalah kamu karena dilihatnya anak bulan dan berbukalah kerena dilihatnya anak bulan.  Jika dihalangi awan dilihatnya anak bulan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban selama 30 hari”.
Yang demikian adalah merupakan Istishab dan tetapnya bulan Sya’ban selama belum tsabit dilihatnya anak bulan Ramadhan.
2.      Bahwa penelitian terhadap hukum syara’ membuktikan bahwa syar’i memutuskan hukum tetapnya keadaan yang sudah ditetapkan sebelum terjadi katentuan yang mengubahnya.  Khomr tetap haram sebelum ia menjadi cuka.  Perasan anggur tetap halal sebelum menadi khomr.  Pergaulan suami istri tetap halal antara suami istri sebelum hilang hubungan suami istri.[13]
Dalam penerapan Istishab para ulama’ berpendapat :
1.      Jumhur yang dipeloporo oleh Imam Malik, sebagian ulama syafi’iyah dan hanafiah berpendapat bahwa Istishab dapat dijadikan hujjah syar’iyah ketika tidak ada dalil dalam Al-Qur’an, Assunnah, Ijma’, dan qiyas.  Hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum ada dalil yang mengubahnya.[14]
2.      Syafi’iyah dan Hanabilah serta Zaidiyah dan Zohiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya yang terdahulu.  Dalam masalah ini seseorang yanghilang tak tau rimbanya dan tidak diketahui hidup atau maningga, tetap dihukumkan hidup berdasarkan Istishab sebelum ada keterangan tentang kematiannya.  Oleh karena itu sama seperti hikum orang yang masih hidup , sehingga ia tetap mewarisi menerima wasiat menerima hak-hak baru.  Dia pun belum boleh diwarisi dan istrinya masih tetap sebagai istrinya.
3.      Hafiyah dan malikiyah membatasi Istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijaby), menjadi hujjah untuk menolak tetapi tidak untuk men-tsabit-kan.  Ini berarti bahwa orang yang hilang tadi hanya mempunyai hak terhadap haknya yang sudah ada, dengan arti tidak boleh dihilangkan dari dia, tetapi ia tidak mempunyai hak-hak baruyang belum ada sejak hilang.  Ini berarti juga istishab bukan merupakan dalil baru yang men-tsabit-kan, tetapi berpegang pada asal yang sudah tsabit dan tidak ada dalil yang mengubahnya.  Maka pengaruhnya hanya terbatas pada hak-hak yang sudah ada dan tidak melebar kapada hak-hak baru yang belum ada sebelumnya.[15]
      Sedangkan untuk ulama yang  menolak kehujjahan istishab berargumen bahwa penentuan halal, haram dan sucinya sesuatu memerlukan dalil yang dalil itu tidak didapat kecuali dari syari.  Dalil yang syar’i tercakup dalam nash Al-Qur’an, As-sunnah, Ijma’, dan Qiyas.  Istishab tidak termasuk dalil yang syar’i.[16]

F.     KESIMPULAN
1.      Pengertian istishab
Secara bahasa al-istishab adalah طلب الصحبة واستمرارها yaitu tuntunan pemeliharaan dan melanjutkan.  Istishab menurut bahasa arab ialah mengakui adanya hubungan perkawinan.  Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil untuk mengubah hokum tersebut.
2.      Macam-macam istishab
Secara umum Istishab dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a.       Istishab hukm al-‘aql bi al-ibahat aw al-bara’at al-ashliyyat.
b.      Istishab hukm syar’iy bi al-dalil wa lam yaqum alil ‘ala taghayyurib.
Sedangkan secara rinci, Abu Bakar Isma’il Muhammad Miqa membagi Istishab kedalam tiga macam yaitu :
a.       Istishab al-bara’at al-ashliyyat
b.      Istishab al washf al-mutsbit li al-hukm batta yatsbuta khilafuh
c.       Istishab al-hal al-sabiqat.
Dalam rangka untuk memperjelas pembagian istishab secara umum seperti yang dikatakan oleh Ali Hasab Allah, sebaliknya istilah tersebut disederhanakan sebagai berikut : Istishab hukm al-‘aql bi al-ibahat aw al-bara’at al-ashliyyat menjadi Istishab akal dan Istishab hukm syar’iy bi al-dalil wa lam yaqum alil ‘ala taghayyurib menjadi Istishab Syara’.
Sedangkan menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu :
a.       Istishab al-ibahah al-ashliyah
b.      Istishab al-baraah al-ashliyah
c.       Istishab al-hukm
d.      Istishab al-washf
3.      Qaidah al-Istishab (الا ستصحا ب)
Dari pengertian Istishab seperti diatas ditetapkan beberapa qaidah antara lain :
a.      الا صل بقاء ما كا ن على ما كا ن
Artinya : pada pokoknya sesuatu itu tetap menurut adanya semula.
b.     الا صل فى الا شياء الا باحة حتى يد ل الد ليل على التحر يم
Artinya : pada pokoknya segala sesuatu itu adalah boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya.
c.       اليقين لا يزا ل با لشك
Artinya : sesuatu yang terbukti dengan yakin tidak hapus karena keragu-raguan.
d.      الا صل فى الا نسا ن البراء ة
Artinya : pada pokoknya manusia itu bebas tanggungan.
e.       الا صل فى الا شياء التحر يم حتى يد ل الد ليل على الا با حة
Artinya :pada pokoknya segala sesuatu itu haram sehingga ada dalil yang memperbolehkannya.
4.      Perbedaan Pendapat Ulama’ tentang al-Istishab (الا ستصحا ب)
      Para ulama’ Ushul Fiqh seperti dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga macam Istishab yang disebut pertama distas adalah sah  dijadikan landasan hukum.  Mereka berbeda pendapat pada macam yang ke empat yaitu istishab al-washf.  Dalam hal ini ada dua pendapat :
a.       Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa Istishab al-washf dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada.
b.      Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa, Istishab al-washf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru.
5.      Kehujjahan al_Istishab (الا ستصحا ب)
      Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena ulama’ Ushul berkata  :“Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredar fatwa “.  Yaitu mengetahui atas suatu hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya.  Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan  dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan  dan ketetapan mereka.  Maka barang siapa yang mengetahui seorang masih hidup, maka dihukumi atas kehidupannya, dan didasarkan pengelolaan atas kehidupan ini sampai ada dalil yang menunjukkan atas terputusnya.
      Sebagai yang dikemukakan oleh Abu bakar Ismail Muhammad Miqa, bahwa ulama’ terbagi menjadi dua dalam menentukan kehujjahan Istishab.  Ulama yang menerima dan ulama yang menolaknya.  Ulama yang menerima Istishab sebagai hujjah berarguman bahwa dalam mu’amalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudar berlaku diantara mereka.  Ia dapat dijadikan dasar untuk penentuan hukum tersebut selama tidak ada dalil yang mngubahnya.  Rujukan tekstualnya adalah Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 29.

DAFTAR PUSTAKA

1.       Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press.
2.      Abdullah, Dr. H. Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika.
3.      Khallaf, Prof. DR. Abdul Wahhab. 1988. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
4.      Yahya, Prof. DR. Mukhtar, Prof. Drs. Fatchurrahman. 1983. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT Alma’arif.
5.      Salam, DRS. Zarkasji Abdul, DRS. Oman Fathurohman, SW. 1994. Pengantar Ilmu Fiqh Ushul Fiqh I. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
6.      Hadi, M.Ag, Drs. H. Muchtah. 2011. Ushul Fiqh. Yogyakarta : Trust Media Publishing.
7.      Effendi, Prof. DR. H. Satria, M. Zein, M.A. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.


[1] Jaih Mubarok, 2002: 133
[2] Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, 1988 : 137
[3] Drs. Zarkasji Abdul Salam dan Drs. Oman Fathurahman SW, 1994 : 120
[4] Drs. H. Muchtah Hadi, M.Ag, 2011: 72
[5] Prof. Dr. H. Satria Efendi dan M. Zein, M.A, 2005: 159
[6] Jaih Mubarok, 2002: 133-135
[7] Jaih Mubarok, 2002: 135
[8] Prof. DR. H. Satria Efendi dan M. Zein, M.A, 2005: 159-161
[9] Dr. H. Sulaiman Abdullah, 1995 : 161-163
[10] Drs. H. Muchtah Hadi,M.Ag, 2011 : 73-74
[11] Prof. DR. H. Satria Efendi dan M. Zein, M.A, 2005 : 161-162
[12] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, 1988 : 138
[13] Dr. H. Sulaiman Abdullah, 1995: 159
[14] Jaih Mubarok, 2002 : 140
[15] Dr. H. Sulaiman Abdullah, 1995 : 159-160
[16] Jaih Mubarok, 2001: 140

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.