Oleh: M. BURHANUDIN (11510003); IKE SULISTIANI (11510020); DIYAH AYU SETYASIH (11510028)
A.
Definisi Qiyas
Secara etimologi, qiyas diartikan sebagai berikut :
تَقْدِ يرُ شَيءٍ
بِشَيءٍ أَخَر
Yaitu mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Dalam buku-buku ushul
fiqh, ditemukan beberapa ungkapan lain, seperti :
ﺍﻠﺘﻗﺪﻴﺭﯚﺍﻠﻣﺴﺍﯡﺓ
Qiyas dapat pula diartikan sebagai berikut :
ﺘﻗﺪﻴﺭﺍﻟﺸﺊﻋﻟﻰﻤﺜﺍﻝﺷﺊﺍﺨﺮﻭﺘﺴﻭﯦﺘﮫ
Yaitu mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan
menyamakannya.
Tentang arti qiyas menurut terminologi, terdapat beberapa
devinisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantaranya definisi-definisi
tersebut adalah :
1. Shadru al syari’ah menyatakan bahwa qiyas
adalah perpindahan hukum yang terdapat pada asha/lﺍﺼﻝ kepada furu’/ ﻓﺮﻉ atas dasar ‘illat/ ﻋﻟﺔ yang tidak dapat diketahui dengan
logika bahasa.
2. Ibnu al Humam menyatakan bahwa qiyas
adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘illat hukumnya yang tidak dapat
diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.
3. Al Badhawy menyatakan bahwa qiyas
adalah menetapkan atau memberlakukan hukum yang serupa dari nash atas sesuatu persekutuan ‘illat hukum antar keduanya.
4. Ibnu al hajib mendefinisikan qiyas
yaitu samanya far’u dengan ashal dalam ‘illat hukumnya.
Sebenarnya masih banyak defiinisi lainnya yang dibuat oleh
para ulama’, namun secara garis besar semua definisi yang ada dapat dibagi menjadi dua kelompok. Yaitu sebagai berikut :
1. Kelompok pertama, menyatakan bahwa
qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid.
2. Kelompok kedua,
menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan syar’i, yakni merupakan dalil hukum
yang berdiri sendiri atau merupakan hujjah illahiyah
yang dibuat syar’i sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap
ada baik dirancang oleh para mujtahid maupun tidak.
Dua pendapat yang berbeda tersebut pada
dasarnya memiliki prinsip yang sama, yaitu bahwa qiyas dapat berlaku jika ada
kesamaan ‘illat antara ashal dan far’u. Sedangkan definisi secara umum qiyas adalah suatu proses
penyikapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash dengan suatu hukum yang disebutkan
dalam nash karena adanya kesamaan
dalam ‘illatnya.
B.
Rukun-Rukun Qiyas
Rukun-rukun qiyas itu adalah sebagai berikut:
1. Ashal / Maqis ‘alaih/ mahal hukum (pokok/ ﺍﺼﻝ),yaitu suatu
peristiwa yang sudah ada nashnya,disebut juga al maqis ‘alaih / ﺍﻟﻤﻘﻴﺱﻋﻟﻴﻪ tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya.
2. Far’u (cabang/
ﻓﺮﻉ),yaitu peristiwa
yang tidak ada nashnya yang ingin dicarikan hukumnya dengan metode qiyas,
disebut juga al maqis/ﺍﻟﻤﻘﻴﺱ .
Syarat-syarat far’u yaitu;
a. ‘illat yang terdapat pada far’u
memiliki kesamaan dengan’illat yang
terdapat pada ashal(sama jenis ‘illat
dan sama jenis hukum).
b. Ketetapan hukum pada far’u itu tidak
menyalahi dalil qath’i.
c. Far’u itu
tidak pernah diatur dalam nash tertentu.
d. Far’u itu
tidak mendahului ashal (sebagai maqis
‘alaih / ﻤﻘﻴﺱﻋﻟﻴﻪ)dalam keberadaannya.
e. Tidak bertentangan dengan hukum lain
yang lebih kuat dibandingkan hukum far’u dan hukum penentang itu berlawanan
dengan ‘illat.
3. Hukum Syara’ (hukum ashal),yaitu
hukum yang akan diberlakukan pada far’u (cabang),syaratnya
:
a. Hukum ashal itu adalah hukum syara’
b. Hukum ashal itu ditetapkan melalui nash
c. Hukum ashal itu adalah hukum yang masih berlaku, bukan hukum yang telah
dinasakhkan.
4. ‘illat / ﻋﻟﺔ, yaitu suatu sifat yang terdapat pada
ashal.
Dengan
adanya sifat inilah , ashal mempunyai suatu hukum, dan dengan sifat itu pula,
terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakan dengan hukum ashal.
C.
Macam-Macam Qiyas
1. Ditinjau dari segi kekuatan
Menurut Abu Zahra, dilihat dari segi kekuatannya ‘illat yang
terdapat pada far’u dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada ashal, qiyas
dapat dibagi ke dalam tiga macam, yaitu:
a. Qiyas aula ﺍﻭﻟﻰ/ , yaitu qiyas yang ‘illat dalam far’u
(cabang) lebih kuat daripada ‘illat yang ada dalam ashal, misalnya mengqiyaskan
memukul kedua orang tua dengan mengatakan “uff” kepadanya, ‘illatnya adalah menyakiti hati yang disebut dalam firman Allah SWT
surah Al Isra’ :23
b. Qiyas musawy/ﻤﺴﺍﻭﻱ , yaitu qiyas yang ‘illatnya dalam far’u (cabang)‘illat sama kuat dengan ‘illat yang ada dalam ashal, misalnya mengqiyaskan membakar
harta anak yatim dengan memakan harta anak yatim, ‘illatnya adalah merusak
harta. (An Nisa’ :10).
c. Qiyas adna/ﺍﺩﻧﻰ , yaitu qiyas yang
‘illat dalam far’u (cabang)lebih rendah kekuatannya daripada ‘illat yang ada
pada ashal. Misalnya, sifat memabukkan dalam sebagian minuman yang memabukkan
selain khamr, meskipun hal itu tidak menghalangi ditetapkannya ‘illat dalam far’u (cabang).
2. Ditinjau dari segi kuantitas ashalnya
Imam Syafi’i membagi qiyas menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Qiyas ma’na/ ﻤﻌﻧﻰ , yaitu qiyas yang ashal bagi far’u (cabang)
hanya satu. yang masuk dalam qiyas ini adalah qiyas aula,musawi dan adna.
b. Qiyas syibhi/ ﺸﺑﻪ, yaitu qiyas yang ashal bagi far’u (cabang)
berbilang banyak, sehingga mujtahid mengqiyaskan far’u kepada ashal yang
lebih mendekati (syabah). Misalnya seorang budak yang dirusak atau dibuat cacat
oleh orang lain (bukan pemiliknya)dapat diqiyaskan kepada dua hal. Pertama
kepada orang merdeka karena sama-sama keturunan adam. Kedua diqiyaskan kepada
harta benda karena sama-sama dapat diperjual belikan, dihadiahkan, diwariskan
dsb. Mengenai perkara ini lebih dekat jika diqiyaskan dengan harta benda,
sehingga budak atau hamba yang dirusakkan itu dapat diganti nilainya.
3. Ditinjau dari segi kekuatan ‘illatnya
Menurut Khudhari Bek, ulama syafi’iyah membagi qiyas kepada
dua macam yaitu:
a. Qiyas jaly/ ﺠﻟﻲ, yaitu qiyas yang peniadaan perbedaan
antara far’u dengan ashal mencapai tingkat yaqin, seperti mengqiyaskan
amat (budak) kepada hal hukum
kemerdekaan.
b. Qiyas khafy/ ﺧﻓﻲ, yaitu qiyas yang peniadaan perbedaan
antara far’u dengan ashal hanya mencapai tingkat dzan (ﻈﻦ/ dugaan kuat) saja, seperti
mengqiyaskan nabidz (perasan
buah-buahan) kepada khamr dalam hal keharamannya jika sedikit.
Kemudian ulama’ syafi’iyah membagi qiyas dari segi ‘illatnya
kepada tiga macam, yaitu qiyas ‘illat,
qiyas dalalah, dan qiyas fi ma’na al ashal. Ulama hanafiyah
membagi qiyas kepada dua macam, yaitu:
1. Qiyas jaly, qiyas yang dengan cepat dapat difahami (kesamaan ‘illatnya)
2. Qiyas khafy, yaitu istihsan.
D.
Kehujahan Qiyas
Berkaitan dengan kehujjahan qiyas ini, terdapat tiga
kelompok ulama’ yang berbeda pendapat dalam memandang eksistensi qiyas dan
kehujjahannya sebagai dalil hukum islam.
1. Kelompok mutsbit al qiyas (pendukung
qiyas)
Kelompok pertama berpendapat bahwa qiyas adalah adalah dalil
hukum islam. Menurut Sya’ban, kelompok pertama ini mengatakan bahwa para fuqaha
telah sepakat dimana qiyas merupakan salah satu pokok atau dasar tasyri’ dan dalil hukum islam. Pandangan
kelompok pertama ini melahirkan sikap dan dianut oleh mayoritas ulama’ bahwa
qiyas adalah dalil hukum dan karenanya ia menjadi hujjah syar’iyyah. Argumentasi
mereka adalah Al qur’an, sunnah praktek sahabat dan logika.
2.
Kelompok nufat al qiyas (penolak qiyas)
Kelompok ini terdiri dari al Nizzam dan pengikutnya dari
kalangan Mu’tazilah, Daud al Zahiri, Ibnu Hazm, dan sebagian kelompok syi’ah.
Ibnu Hazm menyatakan dengan tegas penolakannya berhujjah dengan ra’yu dan hanya berhujjah dengan sunnah
dengan memperhatikan makna lahirnya saja. Menurutnya, karena qiyas adalah
bagian dari berpijak pada ra’yu, maka
yang demikian tidak dapat diterima sebagai dalil dan hujjah.
3. Pandangan al Ghazali dan ulama’ kontemporer
Kelompok ketiga ini adalah kelompok yang berlawanan dengan
kedua kelompok di atas. Kelompok ketiga ini kelihatannya ingin mendudukan qiyas
pada posisi dalam hukum islam. Al Ghazali misalnya,mengatakan bahwa qiyas
adalah sebuah cara dalam menghasilkan hukum dari penalaran teks nash melalui
analogi. Pernyataan Al Ghazali ini memberikan indikasi bahwa qiyas bukanlah
dalil hukum. Lebih jelas lagi, dalam kitab al Mushtafa, al Ghazali memang tidak
memasukkan qiyas dalam tertib urutan dalil sebagaimana terlihat di kalangan
mayoritas ulama’ mahzab. Bagi al Ghazali, yang termasuk dalil hukum adalah al
Qur’an, sunnah, ijma’,istishab,qaul shababi,istihsan dan istishlah. Empat yang
disebutkan terakhir dinyatakan al Ghazali sebagai dalil akal.
Di sisi lain, qiyas ditempatkan dalam satu kelompok dengan
langkah- langkah yang ditempuh untuk menghasilkan suatu ketentuan hukum dan
berbagai dalilnya. Kemudian, pandangan yang sama dengan dengan al Ghazali
diperlihatkan oleh pemikir ushul fiqh kontemporer. Diantaranya adalah Abu
Zahrah dan Ahmad Hasan. Kedua ini menyatakan bahwa qiyas adalah salah satu cara
untuk menggali hukum, dan Abu Zahrah menambahkan bahwa hakekatnya qiyas tidak
lebih dari sekedar alat yang dipakai untuk menafsirkan nash.
Argumentasi ketiga kelompok ulama tentang penggunaan qiyas
tersebut, dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu yang menerima dan yang
menolak qiyas. Masing-masing kelompok mengemukakan dalil al quran, sunah, ijma’
ulama’ atau sahabat dan dalil aqli.
Dalil yang dikemukakan ulama dalam
menerima qiyas
Dasar hukum qiyas secara umum ada dua, yaitu al quran dan
sunnah. Dasar hukum dari al quran diantaranya adalah firman Allah SWT. Dalam
surat al Hasyr (59:2) :
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا
ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ
اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي
قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي
الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
“Dia-lah yang mengeluarkan
orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat
pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar
dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan
mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman)
dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke
dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka
sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”.
Al I’tibar dalam bahasa arab berarti mengemngbalikan hukum sesuatu
kepada yang sebanding dengannya. Ia menamai ashal yang kepadanya dikembalikan
bandingnya secara ibarat.
Dasar hukum sunnah sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Rosulullah saw ketika seorang perempuan datang kepada beliau dan berkata
“sesungguhnya bapak saya sudah tua yang tidak mampu lagi menunaikan ibadah haji
tetapi dia sudah terkena kewajiban menunaikan ibadah haji, apakah jika saya
menghajikannya,haji tersebut akan bermanfaat baginya?. Kemudian rosulullah
menjawab: bagaimana pendapatmu jika bapakmu mempunyai hutang kemudian kamu
membayarkannya, apakah pembayaran itu bermanfaat baginya?. Perempuan itu
menjawab: ya, bermanfaat. Kemudian rosulullah besabda : hutang Allah lebih hak
untuk dibayar.”
Para sahabat mengqiyaskan pengangkatan Abu Bakar sebagai
khalifah dengan keimanan beliau atas orang-orang dalam salat, sebagaimana para
sahabat ( di zaman Abu Bakar) mengqiyaskan untuk membunuh orang-orang yang
tidak mau mengeluarkan zakat dengan orang-orang yang meninggalkan salat.
Sedangkan alasan secara rasionalnya adalah pertama, Allah mensyariatkan hukum
hanyalah untuk kemaslahatan, kemaslahatan hambanya yang menjadi tujuan akhir dari
penetapan suatu hukum. Apabila peristiwa yang tidak disebut nash, maka hikmah
dan keadilan menuntut mempersamakan hukumnya dalam mewujudkan mashlahat yang
menjadi tujuan hukum. Kedua nash-nash
al-Qur’an dan sunnah terbatas dan terhingga,sedang peristiwa yang dihadapi
manusia dan kebutuhannya tiada terbatas dan terhingga. Maka nash yang terbatas
itu saja tidaklah mungkin menjadi sumber hukum dari suatu yang tak terbatas.
Qiyaslah yang menjadi hukum tasyri’ yang seiring dengan peristiwa kejadian yang
baru tumbuh dan mengungkapkan hukum ayara’ terhadap peristiwa yang baru serta
menyelaraskan antara tasyri’ dan maslahat. Ketiga,
qiyas adalah dalil yang didukung jiwa yang sehat dan pemikiran yang benar yang
dijadikan oleh para pemikir dalam merumuskan hukum-hukumnya. Sebagai contoh
seorang yang dilarang meminum-minuman karena beracun,mereka qiyaskan dengan
minuman beracun itu segala sesuatu yang mengandung racun.
Dalil kelompok yang menolak qiyas
Kelompok
ulama yang menolak penggunaan qiyas dalam menerapkan hukum syara’ sebenarnya
ada banyak, salah satunya adalah
Zhahiriyah (ashli zhahir) yang dipimpin oleh Daud dan Khalat. Mereka memiliki
metode penggalian hukum tersendiri atas suatu kasus yang oleh ulama jumhur
ditetapkan melalui qiyas, yairu kaidah”umum lafaz nash”.
Adapun landasan mereka secara lebih jelas adalah sebagai
berikut :
1.
Qiyas itu adalah berdasarkan dugaan keras (zharin). Hukum
yang berdasarkan zhann adalah zhanni. Padahal Allah melarang mengikuti sesuatu
yang berdasarkan zhann. Dalam surat al-Isra’:36, Allah berfirman:
وَلا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tetanggganya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.”
2. Qiyas itu adalah berdasarkan kepada
pandangan yang berbeda-beda dalam menetapkan “illat suatu hukum. Oleh karena
itu, hal tersebut akan menimbulkan hukum yang berbeda-beda dan saling
berlawanan. Dalam syariat yang bijaksana tidak boleh terjadi adanya
pertentangan-pertentangan hukum-hukum yang
dimuatnya.
3. Sebagai sahabat sangat mencela cara menetapkann hukum hanya berdasarkan
kepada pendapat logika. Misalnya umar pernah berkata :
“
hati-hatilah terhadap orang-orang ahli fikir. Sebab mereka itu adalah ahli
sunnah, yang (karena) hadits-hadits itu membuat mereka tidak berdaya untuk
dihafalkannya, mereka lalu mengatakannya dengan pikiran (akibatnya) mereka
tersesat dan menyesatkan.
E.
Prosedur Penetapan Qiyas
Operasional
penggunaan qiyas dimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus
yang memiliki nash. Cara ini memerlukan kerja nalar yang luar biasa dan tidak
cukup hanya dengan pemahaman makna lafadz saja. Selanjutnya, mujtahid mencari dan meneliti ada
tidaknya ‘illat tersebut pada kasus
yang tidsk ada nash nya. Apabila ternyata ada ‘illat itu, faqih menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu
berdasarkan keadaan ‘illat. Dengan demikian, yang dicari mujtahid disini
adalah keadaan ‘illat hukum yang
terdapat pada nash ( hukum pokok ).
Selanjutnya,
jika ‘illat tersebut ternyata
betul-betul terdapat pada kasus lain, yang tampak bagi mujtahid adalah bahwa
ketentuan hukum pada kasus-kasus itu adalah satu, yaitu ketentuan hukum yang
terdapat pada nash (manshukh ‘alaih)
menjalar pada kasus-kasus lain yang tidak ada nashnya.
Bagi
orang yang akan melakukan qiyas terlebih dahulu harus mengetahui dan meneliti
nash dan hukum yang terkandung di dalamnya. Setelah itu, ia meneliti ‘illat yang dipergunakan Syari’
sebagai sandaran hukum didalamnya nash tersebut dan ‘illat pada persoalan baru
( cabang ) yang tidak disebutkan oleh nash. JIka ‘illat sudah diketahui antara pokok dan cabang, maka segera
dilakukan qiyas antara keduanya.
Oleh
karena itu, orang yang akan melakukan qiyas dituntu berhati-hati dalam memahami
nah dan hukum serta harus cermat dalam meneliti ‘illat yang terdapat pada cabang, apakah ada relevansinya dengan
pokok yang dijadikan sebagai sandaran qiyas.
F.
Hukum Mengingkari Qiyas
Berkaitan dengan hukum mengingkari qiyas
sangat tergantung kepada kelompok mana orang yang menilai berada. Artinya,
masalah ini berkaitan dengan masalah kehujjahan qiyas, bagi mereka yang
mendukung qiyas ( mutsbit al-qiyas )
jelas akan mengatakan bahwa tidak boleh ( haram ) mengingkari qiyas, karena
qiyas adalah dalil hukum syara’ yang diakui oleh al_qur’an, sunnah, praktek sahabat
dan logika sehat.
Bagi kelompok yang tidak mengakui qiyas / nufat al qiyas, berpendapat bahwa qiyas
harus diingkari atau ditolak karena bertentangan dengan al-Qur’an, praktek sahabat
dan logika sehat. Mereka tidak menerima qiyas sebagai hujjah dan dalil hukum syara’. Kelompok ketiga lebih cenderung
kepada pendapat yang pertama, yaitu mengakui dan menolak qiyas, karena qiyas
adalah salah satu atau metode menggali hukum islam.
Berhubungan dengan ini al Muzanni, sahabat
Imam ass Syafi’I berpendapat bahwa para fuqaha sejak zaman Rasulullah sampai sekarang ( zaman al
Muzanni ) telah mengguunakan qiyas dan sepakat menyatakan bahwa bandingan yang
benar itu adalah benar. Dengan demikian, tidak boleh atau haram menolak qiyas.
G.
‘Illat Hukum
Jumbur
kaum muslimin sepakat bahwa Syari’
tidaklah menetapkan suatu hokum tanpa suatu maksud atau alas an yang terkandung
didalamnya. Tetapi ia mensyariatkan sesuatu ketentuan hukum karena beberapa
sebab yang menuntut dan untuk mewujudkan beberapa kemaslahatan yang ditujunya.
Kemaslahatan ini tentu saja adalah kemaslahatan manusia baik individu maupun
komunal dan tidak diragukan lagi bahwa kemaslahatan tersebut tak lain dari,
“menarik manfaat”, “menolak bahaya” atau “menghilangkan kesulitan”. Kebanyakan
nash-nash yang menetapkan hukum itu tidak menghubungkan hukum dengan
maslahatyang dimaksudkan itu sendiri, tetapi menghubungkannya dengan sesuatu yang mempunyai hubungan dengan terwujudnya
maslahat tersebut. Nama dari maslahat yang dimaksud dalam penetapan hukum itu
disebut denagn Hikmatul Hukmi atau
Hikmah hukum. Sedangkan hal yang menimbulkan hikmah hukum disebut dengan ‘illat hukum.
Dengan demikian ‘illat adalah sifat yang terdapat dalam unsur
pokok ashal yang dijadikan landasan
hukum dan diketahui pula terdapat pada unsur cabang far’u. Sebagai contoh
“kemabukan” adalah sifat yang terdapat pada khamar yanag dijadikan landasan hukum
“haram “ meminumnya. Karena ‘illat- nya
adalah “kemabukan” maka segala sesuatu yang dapar menyebabkan mabuk dapat
diqiyaskan dengan khamar dan hukumnya sama dengan khamar yaitu haram.
Perbedaan
‘illat hukum, hikmah hukum, dan sebab hukum
‘Illat
hukum adalah suatu hal yang sudah jelas dan pasti yang dijadikan dasar bagi
pembuatan hukum serta ada atau tudaknya suatu hukum. Hikmah hukum adalah tujuan
yang dimaksudkan oleh syara’ untuk mencari kemaslahatan yang harus
didayagunakan dan kemudharatan yang harus dihindari. Sedangkan ada perbedaan
pendapat dikalangan Ulama Usul mengenai sebab hukum, ada yang menganggapnya
sama dengan ‘illat hukum dan ada yang mendefisikannya berbeda, yakni hal yang
sudah jelas dan pasti yang dijadikan dasar bagi pembuatan hukum serta ada atau
tidaknya suatu hukum akan tetapi tidak dapat dianalisa alasannya oleh akal.
Sebagai contoh adalah peristiwa tenggelamnya matahari sebagai sebab kewajiban
shalat maghrib bukan sebagai ‘illat, arena tenggelamnya matahari tidak dapat
dipikirkan oleh akal tentang hubungannya dengan shalat maghrib.
Syarat-syarat
‘illat
Syarat-syarat
‘illat yang telah disepakati oleh Ulama Ushul ada empat macam yakni :
1.
‘illat itu berupa sifat yang jelas atau dapat diindera,
karena ia digunakan untuk mengenal hukum yang akan ditetapkan pada cabangnya,
maka harus dapat dilihat pada cabangnya pula.
2. ‘Illat itu harus berupa sifat yang
pasti ( mundhabith ), karena asas qiyas itu adalah mempersamakan ‘illat hukum
pada cabang dengan asalnya. Persaman itu mengharuskan adanya ‘illat secara
pasti, sehingga memungkinkan persamaan hukum antara kedua peristiwa itu.
3. ‘Illat itu harus berupa sifat yang
sesuai ( munasih ) dengan hikmah hukum.
4. ‘illat tu harus terdapat pada asal dan
cabang sehingga dapat ditetapkan pada beberapa masalah selain masalah yang
cabangnya itu.
Macam-macam
‘Illat
1. Ditinjau dari segi eksistensinya
a.
‘Illat Naqliyah, ‘illst yang ditunjukkan langsung oleh nash
secara jelas dan tegas, dengan menggunakan lafal tertentu.
b.
‘Illat Isimbathiyah, ‘illat yang ditetapkan berdasarkan
istimbath, karena tidak disebutkan secara langsung oleh nash secara tegas.
2. Ditinjau dari segi pengakuan syara’
a. Munasih Muatsir
b.
Munasih Mulaiin
c.
Munatsih Mulgha
d.
Munatsih Mursal / Uthlaq
Bentuk-bentuk
‘illat
‘illat
adalah sifat yang menjadi kaitan bagi asalnya hukum. Ada beberapa bentuk sifat
yang mungkin menjadi ‘illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat tertentu.
Diantaranya bentuk sifat itu adalah :
1. Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai
oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung pada ‘urf atau lainnya.
2. Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu
yang dapat diamati denagn alat indera.
3. Sifat ‘urfi, yaitu sifat yang tidak dapat
diukur, namun dapat dirasakan bersama.
4. Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui
dari penamaannya dalam artian bahasa.
5. Sifat syar’I,
yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’I dijadikan alasan untuk
menetapkan sesuatu hukum.
6. Sifat murakkab, yaitu bergabungnya
beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hokum
Cara-cara
mengetahui ‘illat.
1. Dengan nash itu sendiri
Penetapan
nash sebagai salah satu cara dalam menetapkan ‘illat tidaklah berarti bahwa
‘illat itu langsung disebut dalam nash, tetapi dalam lafal-lafal yang digunakan
dalam nash dapat dipahami adanya ‘illat.
2. Ijma’
Melalui
ijma’, diketahui sifat tertentu yang terdapat dalam hukum syara’ yang menjadi
‘illat hukum itu.
3. Al Ima’ wa al Tanbih
Upaya
yang ditempuh untuk menemukan ‘illat dengan memperhatikan hubungan antara suatu
ketetapan hokum dengan suatu sifat yang mendasarnya.
4. Sabru wa Taqsim
Meneliti kemungkinan sifat yang terdapat pada ashal,
kemudian meneliti dan menyingkirkan sifat yang tidak pantas menjadi ‘illat,
maka ifat yang tertinggal itulah yang nenjadi ‘illat untuk hukum ashal
tersebut.
5.
Takhrijul manath
Usaha
menyatakan ‘illat enggan cara mengemukakan adanya keserasian sifat dan hukum
yang beriiringan serta terhindar dari sesuatu yang mencacatkan.
6. Tanqihul manath
Menetapkan
satu sifat diantara beberapa sifat yang terdapat didalam ashal untuk menjadi
‘illat hukum stelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan yang lainnya.
7. Thard
Penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya titik keserasian
yang berarti.
8. Syabah
Sifat yang memiliki kesamaan
9. Dawran
Melihat hubungan sifat ‘illat yang menjadi dasar dari ketentuan
hukum.
10.
Ilghau al Fariq
Adanya titik perbedaan yang dapat dihilangkan sehinggga terlihat
kesamaannya.
H. Beberapa Contoh Qiyas
1. Minuman keras dengan berbagai merk yang
ada hukumnya haram. Diqiyaskan kepadanya meminum perasaan lain yang menjadi
khamar dan terdapatnya sifat memabukkan seperti pada khamar, karena samanya
dalam ‘illat keharamannya dan khamar diharamkan dengan nash.
2. Penerima
wasiat/wakaf yang mebunuh pemberi wasiat/wakaf
terhalang untuk mendapatkan hak wasiat/wakaf karena diqiyaskan dengan
pembunuhan waris terhadap pewarisannya ( sama-sama terjadinya dugaan
mempercepat sesuatu sebelum masanya dalam pembunuhan dan keinginan mengambil
manfaat dari kejahatan ).
3. Mempologami dua
orang istri yang sama-sama muhrim hukumnya haram karena diqiyaskan dengan
mempologami dua orang istri yang bersaudara dan mempoligami dua orang istri
yang berhubungan anak kemenakan ( sama-sama membawa putusannya hubungan
kekeluargaan ).
4. Haram memukul kedua orang tua karena
diqiyaskan kepada ucapan “uf” (berkata kasar) terhadap orang tua dengan ‘illat
“menyakiti”.
I.
Kesimpulan
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan
hukum perkara lain yang sudah di tetapkan oleh nash, karena adanya persamaan
dalam illat (alasan) hukum, yang tidak bisa di ketahui dengan semata-mata
memahami lafad-lafadnya dan mengetahui dilalah-dilalah bahasanya. Dengan
demikian qiyas bisa dipandang sebagai proses berfikir dalam rangka mengeluarkan
hukum (istimbath), disamping itu qiyas juga sebagai salah satu dalil yang dapat
dijadikan petunjuk adanya hukum oleh suatu kaidah yang sudah diakui kekuatan
dan kebenarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Haroen, Nasrun.1996. Usul
Fiqh 1. Jakarta : Logos Publishing house
Ø Fathurrohman, Osman SW. 1994. Pengantar Ilmu Fiqh Usul Fiqh:
Yogyakarta. Lembaga
Studi Filsafat Islam (LESFI)
Komentar
Posting Komentar