Oleh:
Dina Chusnita (11510013);
Utari Diplomawati (11510014);
Linna Fauziyah (11510018);
Thoriq Aziz (11510031)
PENDAHULUAN
Sunnah
secara etimologis (bahasa) berarti “jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang
senantiasa dilakukan”.
Secara
terminologi, sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadits
identik dengan hadits, yaitu “seluruh yang disandarkan kepada nabi Muhammad
saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya sebagai manusia
biasa, akhlaknya, apakah itu sebelum maupun setelah diangkat menjadi rasul.
Sunnah
menurut para ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang diriwayatkandari nabi
Muhammad saw. Berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan
hukum islam.
Disini
tujuan kamimembuat makalah ini adalah agar kita tahu tentang apa itu sunnah dan
juga macam-macam sunnah, untuk mendalami ataumengerti lebih jauh lagi tentang
hukum-hukum islam menurut sunnah.
Ø Pengertian
Sunnah
Sunnah secara etimologis (bahasa)
berarti “jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”,
apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk. Pengertian sunnah secara
etimologis ini ditemukan dalam sabda Rasulullah saw. Yang berbunyi:
Barangsiapa yang membiasakan
sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala
orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya...(H.R. Muslim)
Secara terminologi, Sunnah bisa dilihat dari tiga bidang
ilmu, yaitu dari ilmu hadist, ilmu fiqh, dan ushul fiqh. Sunnah menurut para
ahli hadist identik identik dengan hadist, yaitu “seluruh yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau
sifatnya sebagai manusia biasa, akhlaknya, apakah itu sebelum maupun setelah diangkat
menjadi Rasul.”
Sunnah menurut ahli ushul fiqh adalah:”segala yang
diriwayatkan dari Nabi saw. Berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang
berkaitan dengan hukum.”
Sedangkan Sunnah menurut para ahli fiqh, disamping
pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan
sebagai salah satu hukum taklifi, yang mengandung pengertian “perbuatan
yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak
berdosa.”
Terjadinya perbedaan pengertian Sunnah di kalangan ahli
ushul fiqh dengan ahli fiqh, disebabkan perbedaan sudut pandang masing-masing
terhadap Sunnah. Ulama ushul fiqh memandang bahwa Sunnah tersebut merupakan
salah satu sumber atau dalil hukum. Swdangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah
sebagai salah satu hukum taklifi.
Ø Macam-macam
Sunnah
Berdasarkan definisi Sunnah yang dikemukakan
para ulama ushul fiqih diatas, sunnah yang menjadi sumber kedua hukum islam itu
ada tiga macam, yaitu:
1. Sunnah
Fi’liyyah, yaitu
perbuatan yang dilakukan Rasulullah saw. yang dilihat atau diketahui dan
disampaikan para sahabat kepada orang lain. Misalnya tatacara sholat yang
ditunjukkan Rasullullah saw. kemudian
disampaikan sahabat yang melihat atau mengetahuinya kepada orang lain.
2. Sunnah
Qouliyyah, yaitu
ucapan Rasulullah saw. yang didengar dan disampaikan seseorang atau beberapa
sahabat kepada orang lain, misalnya sabda Rasullullah yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah yang artinya
Tidak
sah sholat sseorang yang tidak membaca al-fatikhah. (H.Rbukhori dan Muslim)
3. Sunnah
Taqririyah, yaitu
perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan
Rasullullah saw, tetapi Nabi hanya diam, dan tidak mencegahnya, sikap diam dan tidak
mencegahnya Rasullullah saw ini, menunjukkan persetujuan Nabi, misalnya kasus
Amr ibn al-‘Ash yang berada dalam keadaan junub(wajib mandi ) pada suatu malam
yang sangat dingin, ia tidak sanggup mandi karena khawatir sakit, Amr ibn al-‘Ash
ketika itu hanya bertayamum, lalu hal ini disampaikan orang pada Rasulllulah
saw, Rasullulah kemudian bertanya kepada Amr, “Engkau melaksanakan shalat
bersama-sama teman engkau, sedangkan engkau dalam keadaan junub?”. Amr menjawab
“saya ingat firman Allah Ta’ala yang mengatakan ‘jangan kamu membunuh diri
kamu, sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’ lalu saya
bertayamum dan langsung shalat”. Mendengar jawaban Amr ibn al-‘Ash ini
Rasullullah saw tertawa dan tidak berkomentar apapun(H.R Ahmad ibn Hambal dan
Al-Baihaqi). Tidak berkomentarnya Rasullullah saw dipandang sebagai pengakuan
bolehnya bertayamum bagi orang yang junub dalam keadaan hari yang sangat dingin
sekalipun air untuk mandi ada.
Dalam
pembagian sunnah menjadi sunnah fi’liyyah, sunnah qouliyyah, dan sunnah
taqrriyah, para ulama Ushul Fiqh membahas secara khusus kedudukan sunnah
fi’liyah. Persoalan yang dikemukakan oleh para ahli Ushul Fiqh adalah,
apakah seluruh perbuatan Rasulullah wajib diikuti umatnya. Dalam kaitan ini,
para ahli Ushul Fiqh membagi Sunnah fi’liyah kepada:
a. Perbuatan
yang muncul dari Rasulullah sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, duduk,
dan pakaiannya. Perbuatan seperti ini tidak termasuk Sunnah yang wajib diikuti
oleh umatnya, karena hal-hal seperti ini muncul dari Rasulullah sebagai manusia
biasa dengan tabiatnya. Termasuk dalam hal ini adalah perbuatan Rasulullah
sebagai akibat dari keahlian dan pengalaman hidupnya dalam persoalan duniawi,
seperti dalam masalah perdagangan, pertanian, peperangan atau masalah
pengobatan.
b. Perbuatan
yang dilakukan Rasulullah dan ada alasan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu
khusus untuk dirinya, seperti shalat tahajud yang ia lakukan setiap malam,
mengawini wanita lebih dari empat orang sekaligus, dan tidak menerima sedekah
dari orang lain. Perbuatan seperti ini hanya khusus untuk dirinya sendiri dan
tidak wajib diikuti umatnya.
c. Perbuatan
yang berkaitan dengan hukum dan ada alasannya, maka hukumnya berkisar antara
wajib, sunat, haram, makruh, dan boleh. Perbuatan seperti in menjadi syari’at
bagi umat Islam.
Ø Pembagian
Sunnah
Dilihat
dari segi periwayatannya, jumhur ulama ushul fiqh membagi Sunnah kepada mutawatir
dan ahad. Apabila Sunnah itu diriwayatkan secara bersambung oleh
orang banyak, yang menurut logika tidak mungkin mereka sepakat berdusta, maka
Sunnah seperti ini disebut mutawatir. Para penutur hadist (sanad)
yang dinilai tidak bersepakat berdusta itu adalah para periwayat hadist tiga
generasi, yaitu generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’i al-tabi’in, karena
setelah itu adalah masa pembukuan hadist-hadist.
Contoh
hadist-hadist mutawatir itu adalah beberapa amalan praktis yang
dikerjakan Nabi saw. Seperti bilangan raka’at shalat, kadar wajib terhadap
beberapa jenis harta yang telah wajib zakat, amalan-amalan haji, dan cara
berwudhu’ yang langsung dilihat para sahabat. Adapun hadist yang bersifat qauliyah,
misalnya hadist yang artinya,
Tidak
sah berwasiat kepada penerima waris.
Apabila
Sunnah itu diriwayatkan oleh beberapa orang saja yang tidak sampai ke tingkat mutawatir,
maka Sunnah itu disebut ahad.Kekuatan hukum hadist mutawatir, menurut
kesepakatan para ulama, adalah qath’i.Adapun kekuatan hukum ahad,
apabila berstatus shahih, hanya bersifat zhanni.
Disamping
hadist mutawatir dan ahad, ulama Hanafiyyah menambahkan satu
bentuk lain yaitu hadist masyhur, yang terletak antara mutawatir dan
ahad. Hadist masyhur adalah hadist yang pada generasi awal
(sahabat) bersifat ahad, kemudian tersebar pada generasi sesudah sahabat
secara mutawatir,
Terhadap
hadist mutawatir tidak terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang
kebolehannya dijadikan dasat dalam menetapkan hukum, baik masalah keyakinan
(i’tiqad) maupun dalam masalah hukum-hukum praktis, karena baik dari segi
periwayatan maupun dari segi kekuatan hukumnya, hadist seperti ini bersifat qath’i.
Hadist masyhur,
sekalipun periwayatannya di zaman sahabat bersifat ahad, namun pada
generasi sesudah sahabat periwayatannya bersifat mutawatir. Oleh sebab
itu, tingkat kekuatan hadist ini hanya besifat zhanni.
Dalam
masalah ‘aqidah atau keyakinan, para ulama juga sepakat mengatakan bahwa hadist
ahad tidak dapat dijadikan sebagai landasan, karena masalah keyakinan
harus ditetapkan dengan yang sifatnya mutawatir. Akan tetapi, dalam
masalah hukum, para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan hadist ahad
sebagai landasan hukum. Perbedaan ini muncul disebabkan status hadist ahad
yang bersifat zhanni, dari segi periwayatannya dan dari segi dalalat-nya
(kandungannya), sekalipun tidak setiap hadist ahad itu zhanni
al-dalalat.
Jumhur
ulama, pada prinsipnya menerima hadist ahad sebagai landasan menetapkan
hukum. Hanya saja dalam penerapannya ada yang mengemukakan syarat dan tanpa
syarat. Ulama Malikiyah, dapat menerima hadist ahad sebagai landasan
menetapkan hukum apabila tidak bertentangan dengan amalan penduduk Madinah,
karena amalan penduduk Madinah, merupakan amalan yang dipraktikkan banyak orang
sejak zaman Rasulullah saw. Oleh sebab itu, amalan ahli Madinah lebih
didahulukan dari hadist ahad yang hanya diriwayatkan beberapa orang.
Ulama
Syafi’iyyah menerima sepenuhnya hadist ahad sebagai landasan hukum
apabila memang hadist itu sahih dan sanadnya tersambung. Oleh sebab itu, mereka
tidak menerima hadist mursal (hadist yang terputus sanadnya di tingkat
tabi’in atau sahabat) sebagai dalil dalam menetapkan hukum, kecuali mursal-nya
itu dari kalangan tabi’in yang populer.
Ulama
Hanabilah, sependapat dengan ulama Syafi’iyyah dalam menerima hadist ahad sebagai
landasan hukum. Akan tetapi, mereka lebih longgar dalam menerima hadist ahadtersebut.
Bagi mereka, hadist ahad yang bersifat mursal pun dapat mereka
terima sebagai hujjah, bahkan kehujjahannya didahulukan dari qiyas.
Akan
tetapi, ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa hadist ahad dapat dijadikan
landasan hukum apabila memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Penerima
hadist dari Rasulullah itu tidak beramal atau memberi fatwa bertentangan dengan
kandungan hadist itu. Misalnya, Abu Hurairah menerima hadist dari Rasulullah
yang mengatakan,
Apabila bejana seseorang dijilat anjing, maka
untuk mensucikannya dicuci tujuh kali dengan air dan salah satunya dengan
tanah.(H.R.
Muslim)
Ulama Hanafiyyah tidak menerima hadist itu,
karena Abu Hurairah sendiri berfatwa bahwa untuk mencuci bejana yang dilihat
anjung hanya sebanyak tiga kali, sebagaimana yang diriwayatkan al-Daruquthni.
Oleh sebab itu, mereka berpendapat bahwa untuk mencucinya cukup tiga kali, yang
penting bersih.
2. Hadist ahad
itu tidak menyangkut kepentingan orang banyak dan dilakukan orang banyak
secara berulang-ulang, karena menurut ulama Hanifiyyah, hal-hal yang menyangkut
orang banyak atau dalam kasus yang sering terjadi, tidak mungkin hadist itu
disampaikan Rasulullah kepada satu atau dua orang saja.
3. Perawi
hadist itu bukan seorang faqih (ahli fiqh), dan hadist ahad itu
tidak bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah umum syari’at Islam.
Ø Kehujjahan
Sunnah
Para
ulama sepakat mengatakan bahwa Sunnah Rasulullah saw. Dalam tiga bentuk (fi’liyyah,
qauliyyah, dan taqririyyah) merupakan sumber asli dari hukum-hukum
syara’ dan menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Ada beberapa alasan yang
dikemukakan para ulama ushul fiqh untuk mendukung pernyataan diatas,
diantaranya adalah firman Allah:
1. Surat Ali
Imran, 3: 31:
Apabila kamu mencintai Allah, maka ikutilah
aku, Allah akan mencintaimu...
2. Surat al-Ahzab,
33: 21:
Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu bagi kamu
teladan yang baik, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
3. Surat al-Hasyr,
59: 7:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
ambillah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
4. Surat an-Nisa’,
4: 59:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul dan uli al-amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-qur’an) dan
Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan beri kemudahan.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
5. Rasulullah
sendiri mengatakan,
Sesungguhnya pada saya telah diturunkan
al-Qur’an dan yang semisalnya. (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Yang
dimaksud dengan perkataan “dan semisalnya” dalam hadist tersebut, menurut
jumhur ulama, adalah Sunnah Rasulullah saw.
Ø Fungsi
Sunnah terhadap al-Qur’an
Rasulullah
saw. Sebagai pembawa risalah Ilahi berfungsi untuk menjelaskan kepada umat
Islam ajaran-ajaran yang diturunkan Allah melalui al-Qur’an. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat al-Nahl, 16: 44:
Kami
turunkan kepada engkau al-Qur’an agar engkau jelaskan kepada umat manusia
apa-apa yang diturunkan kepada mereka....
Sunnah
Rasulullah tersebut adakalanya berbentuk mendukung hukum-hukum yang ada dalam
al-Qur’an, seperti Sunnah Rasulullah tentang kewajiban shalat, zakat, puasa,
dan haji. Kewajiban-kewajiban ini telah ada hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian
Rasulullah memperkuatnya dengan Sunnah beliau. Penjelasan Rasulullah terhadap
al-Qur’an ada beberapa bentuk, yaitu:
1. Merinci
hukum global yang ada dalam al-Qur’an, seperti kewajiban shalat yang ada di
dalam al-Qur’an yang sifatnya global, karena tidak merinci berapa kali, berapa
rakaat, dan bagaimana tata caranya, sebagaimana sabda beliau,
Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya
melakukan shalat (H.R.
al-Bukhari dan Muslim).
2. Menjelaskan
maksud hukum mutlak yang ada dalam al-Qur’an, seperti perintah Allah untuk
memotong tangan orang yang melakukan tindak pidana pencurian. Perintah Allah
ini tidak menjelaskan ukuran yang dipotong dan nisab harta yang dicuri yang
dikenakan hukuman potong tangan. Tugas Rasulullah adalah menjelaskan yang
mutlak tersebut, yaitu bahwa tangan yang dipotong itu sampai pergelangan tangan
dan nisab barang yang dicuri itu seperempat dinar (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
3. Mengkhususkan
hukum-hukum yang bersifat umum dalam al-Qur’an, seperti tentang pembaagian
harta warisan dalam surat al-Nisa,4: 11:
Allah mensyari’atkan bagi kamu tentang
(pembagian harta warisan) bagi anak-anakmu....
Kalimat
“anak-anakmu” dalam ayat ini masih bersifat umum, yaitu seluruh anak. Akan
tetapi, apabila anak itu sengaja membunuh ayahnya agar cepat mendapat warisan,
dalam kaitan ini Rasulullah menjelaskan bahwa “Pembunuh tidak mendapat
pembagian warisan” (H.R. Muslim).
Lebih
lanjut, apakah Sunnah Rasulullah boleh menetapkan hukum baru, yang tidak ada
dalam al-Qur’an? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama.
Jumhur
ulama mengatakan bahwa Rasulullah boleh membuat hukum tambahan yang tidak ada
dalam al-Qur’an. Umat Islam diperintahkan taat kepada Rasul dan ketaatan kepada
Rasul sebanding dengan ketaatan kepada Allah. Contoh-contoh hukum baru yang
dibuat Rasulullah adalah: tidak bolehnya mengawini seorang wanita sekaligus
dengan bibi (saudara perempuan dari ayah atau ibu) (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan
Abu Daud); tidak boleh memakan daging himar kampung (keledai yang dijadikan
tunggangan/pembawa beban) dan binatang buas (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan Abu
Daud).
Sebagian
ahli ushul fiqh mengatakan bahwa Rasulullah tidak boleh menetapkan hukum yang
tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an. Menurut mereka, seluruh hukum yang
ditetapkan Rasulullah ada dasarnya dalam al-Qur’an, baik dasarnya itu melalui qiyas
(analogi), melalui kaidah kemaslahatan, atau melalui kaidah-kaidah umum yang
ada dalam al-Qur’an.
Dalam
kaitan ini, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khallaf dan ‘Ali Hasaballah,
ketiganya ahli ushul fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa pada dasarnya
hukum-hukum tambahan yang dibuat Rasulullah melalui Sunnahnya tidak terlepas
dari kandungan atau makna umum yang dikandung al-Qur’an, baik itu dilakukan
malalui pendekatan qiyas maupun melalui pnerapan
kaidah kemaslahatan.
PENUTUP
Dari
pemaparan makalah diatas kita tahu tentang pengertian sunnah secara etimologi,
terminologi, menurut dan menurut ahli ushul fiqh, dan juga kita bisa menegerti
tentang sunnah bahwa sunnah dibagi menjadi macam-macam sunnah yaitu sunnah ji’liyyah, sunnah qauliyyah, sunnah
taqririyyah. Dan juga sunnah
dibagi menurut periwayatannya yaitu sunnah mutawatir
dan ahad. Kehujjahan sunnah dan
fungsi sunnah terhadap al-qur’an.
Komentar
Posting Komentar