Oleh: Edy Supriyanto (111-11-009); Nikmah Khoiriyah (111-11-046); Taufiq Ashari
(111-11-194); Deni Rahayu R (111-11-210)
Hiwalah / Hawalah
A.
Definisi
Bahasa bahasa,kata hiwalah berasal dari tahwil yang berarti intiqal
(perpindahan). Maksud hiwalah kali ini adalah memindahkan hutang dati
tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal’alaih. Pengertian
diatas mengharuskan adanya pihak muhil dan muhal’alaih.[1]
Muhil adalah pihak yang di hutang. Muhal adalah pihak
yang memberi hutang. Muhal’alaih adalah pihak yang pembayaran hutang.
Hiwalah tidak membutuhkan ijab dan qobul,dan
sah dengan segala tindak yang menunjukan hal tersebut. seperti “aku hiwalahkan
utangmu padaku untuk dibayarkan kepada fulan” dan bentuk-bentuk lain
yang senada dengannya.
Syarat-syarat hawalah:
1.Kerelaan si muhil
2.adanya qobul dari si muhal
3.hak yang dipindahkan itu tetap berada dalam tanggungan.
4.adanya persesuaian tanggungan
hutang si muhil dan muhal’alaih dalam hal jenisnya perkiraanya
,macamnya,kontan atau tempo dan masih utuh atau sudah pecah.
Kafalah
A.
Definisi
Menurut kalangan Imam Fiqih lainnnya adalah penggabungan dua
tangguhan dalm pemenuhan tuntutan dan utang. Kata kafalah disebut
juga dengan dhaman, hamalah, za’amah.[2] Kafalah juga
harus mensyaratkan adanya:
a.
Kafiil merupakan makful bihi (orang yang di tanggung) untuk
memenuhi tuntutan. Yang syaratnya adalah dia harus balig, berakal, berwenang
penuhatas urusan hartanya, dan rela dengan segala permasalahan dalam kafalah.
b.
Ashiil merupakan orang yang berutang yang akan ditanggung.
c.
Makful lahu merupakan orang yang memberikan utang.
d.
Makful bihi merupakan orang, barang, atau pekerjaan yang wajib
dilaksanakan oleh makful anhu
B.
Pensyariatan Kafalah [3]
Adapun kafalah disyariatkan di dalam Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’
ulama. Sebagaimana firman Allah di dalam Al-Qur’an,
“Dan
(Ya’kub) berkata, ‘Aku tidak akan melepaskannya (pergi) bersamamu, sebelum kami
bersumpah atas (nama) Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali….”
(Yuusuf[12]:66)
Selanjutnya
Allah berfirman,
tA$s% ô`s9 ¼ã&s#Åöé& öNà6yètB 4Ó®Lym Èbqè?÷sè? $Z)ÏOöqtB ÆÏiB «!$# ÓÍ_¨Yè?ù'tFs9 ÿ¾ÏmÎ/ HwÎ) br& xÞ$ptä öNä3Î/ ( !$£Jn=sù çnöqs?#uä óOßgs)ÏOöqtB tA$s% ª!$# 4n?tã $tB ãAqà)tR ×@Ï.ur ÇÏÏÈ
“ Dan siapa
yang dapat mengembalikan akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta,
dan jamin itu.” (Yuusuf[12]:72)
Pensyariatan
dalam sunnah, dari Abi Umamah Rasulullah bersabda,
“Penjamin
adalah orang yang berkewajiban dalam pembayaran.”(HR Abu Dawud dan
Tirmidzi)
Para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kafalah di bolehkan.
Masyarakat muslim pada masa Nabi mempraktikan kafalah tersebut, bahkan hingga
kini, tanpa ada bantahan dari seorang ulama. Kafalah dibolehkan bersifat[4]:
1.
Tanjiz yaitu seperti perkataan kafiil, contohnya “Saya menjadi
penjamin si fulan mulai sekarang”. Para ulama menganggap hal tersebut
pernyataan kafalah. Jadi ia telah terikat secara segera, penundaan,
ataupun kredit.
2.
Ta’liq adalah seperti perkataan, “Jika aku pinjamkan kepada si fulan,
maka kau menjadi penjamin untukmu,” sebagaimana dalam Al-qur’an:
“….Dan siapa
yang dapat mengembalikan akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta…”
3.
Tauqit adalah seperti perkataan, “Jika bulan ramadhan tiba, maka aku
adalah penjamin bagimu.”
Begitu menurut
mazhab Hanafi dan sebagian mazhab Hanbali . Imam Syafi’I berkata,”Tidak sah
dalam kafalah ada ta’liq.
Macam-Macam kafalah
Kafalah ada dua macam, yaitu:
1.
Kafalah dengan jiwa (jaminan muka)
Komitmen kafiil
untuk menghadirkan orang yang di tanggung kepada makful lahu.
2.
Kafalah dengan harta
Komitmen kafiil
atas kewajibannya untuk menjaminnya berupa harta. Yang jenisnya ada tiga macam:
a.
Kafalah bid-dain, yaitu komitmen kewajiban pembayaran utang yang
menjadi tanggungan orang lain. Sebagaimana hadits Salamah bin Al Akwa’ bahwa
Nabi saw. tidak mau menshalatkan orang yang masih memilki kewajiban utang. Lalu
Qatadah telah menngatakan,[5]
“Wahai
Rasulullah, shalatkanlah ia dan saya yang berkewajiban membayarkan utangnya.”
Rasulullah baru kemudian menyolatkannya.
Dalam perkara
utang diisyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1)
Utang tersebut dinyatakan benar adanya pada saat terjadinya transaksi jaminan.
Seperti utang qiradh, upah, dan mahar. Jiak tidak maka tidak sah.
Seperti, “Juallah kepada si Fulan dan aku menjamin pembayaranya.” Tetapi oleh
Abu Hanifah, Malik, dan Abu Yusuf membolehkan hal tersebut.
2)
Status barang diketahui. Karena itu, tidak sah menjamin barang yang tidak
diketahui karena hal itu merupakan gharar.
b.
Kafalah dengan barang atau kafalah dengan penyerahan
Komitmen untuk
menyerahkan barang tertentu yang ada di tangan orang lain, misalnya
mengembalikan barang yang dirampas oleh pelaku ghasab dan menyerahkan barang
jualan kepada si pembeli.
c.
Kafalah bid-darak (penyusutan)
Barang jualan
yang di ketahui adanya bahaya karena telah adanya transaksi penjualan barang.
Berarti ia sebagai jaminan untuk hak si pembeli kepada si penjual. Apabila
barang yang di jual terdapat orang yanng lebih berhak. Misalnya, jika terbukti
barang yang di jual adalah milik orang lain yang bukan milik penjual awal atau
barang gadaian.
Apabila penjamin telah memenuhi
kewajibannya untuk madhmun ‘anhu (orang yang ia jamin) berupa utang,
maka ia boleh kembali bila pembayaran dan pemenuhan kewajiban itu atas izinnya,
karena ia telah mengeluarkan harta untuk kepentingan hal yangs bermanfaat bagi
si madhmun ‘anhu dengan izinya.
Hukum kafalah
1.
Apabila orang yang dijamin tidak ada atau hilang (gaib), maka kafiiil
bertanggung jawab dan tidak bisa melepas dari kafalah,kecuali dengan
pemenuhan utangnya atau ashiil.atau orang yang mengutangkan menyatakan
bebas atau kafiil dari utang utang atau ia mengundurkan diri dari kafalah.ia
berhak mengundurkan diri karena itu persoalan haknya.
2.
Merupakan hak bagi mafkhul labu (orang yang mengutangkan) untuk
membatalkan akad kafalah dari pihaknya,sekalipun orang yang mafkhul anbu
dan kafiil tidak merelakan,karena hak pembatalan bukan hak bagi mafkhul
anbu dan kafiil
Qiradh/Qordl
A. Definisi
Qiradh merupakan salah bentuk taqarrab kepada Allah
swt,karena qiradh berlemah-lemah dan mengasihi sesama manusia,memberikan
kemudahan dan solusi dari duka dan kesulitan yang menimpa orang lain.
Islam menganjurkan dan menyukai orang yang meminjamkan atau qiradh,dan
membolehkan bagi orang yang diberikan qiradh
Abu hurairah meriwayatkan
“Barang
siapa memberikan kelapangan terhadap orang miskin dari duka dan kesulitan di
dunia maka allah akan melapangkannya dari kesulitan duka dan kesulitan hari
kiamat,dan barang siapa memudahkan urusan seseorang maka allah akan memberikan
kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya
selama hamba-Nya tersebut menolong saudaranya”
B. Akad qiradh
Akad qiradh adalah akad kepemilikan karena qiradh hanya
diberikan kepada orang yang layak menggunakan harta dan tidak sah kecuali
dengan ijab dan qobul yang menggunakan lafad qiradh salaf
dan kata yang memiliki kesamaan makna.
Adapun bagi pihak yang menerima qiradh dibolehkan mengembalikan
harta tersebut dengan yang sama. Dan pengembalian riba atau manfaat dari qiradh
dari pemberi pinjaman tidak diperbolehkan.
Hal-hal yang diperhatikan dalam qiradh segera membayar hutang,zalim menunda
pembayaran utang,sunah menangguhkan tagihan terhadap orang yang
kesusahan,membebaskan dan mempercepat tagihan
Rahn
A. Definisi
Secra etimologis rahn berarti tetap atau lestari. Adapun pengertian
yang terkandung dalam istilah tersebut menjadi barang yang mempunyai nilai
harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang hingga orang tersebut
boleh mengambil hutang.
Perjanjian gadai merupakan perjanjian dua pihak, namun juga ada yang tiga
pihak, yaitu debitur, pemberi gadai, kreditur.
B.
Perjanjian gadai menurut syariat islam
1.
Yang berutang dan penggadai (rahin)
2.
Orang yang mengutangkan (Murtahim)
3.
Objek atau barabg yang di gadaikan (Rahn)
C. Dasar hukum dari gadai
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
“Jika kamu berada dalam perjalanan, dan tiada
mendapatkan seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.”
(QS.Al-Baqarah:283)
Sedangkan dalam Sunah Rasulullah SAW dari riwayat Bukhari dari Aisyah r.a
berkata:
“Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang yahudi dan beliau
menggadaikan kepadanya baju besi beliau.”
D. Rukun
dan Syarat perjanjian gadai
Adapun rukunya yaitu:
1.
Adanya lafaz
2.
Ada pemberi dan penerima gadai
3.
Adanya barang yang di gadaikan
4.
Adanya utang
Dan bila si penggadai tidak mampu untuk mengembalikan pada batas waktunya,
maka menurut syariat maka si berhutang tetap berkewajiban membayar utang
tersebut bukan dengan cara barang yang digadaiakan di sita namun meminta kepada
si pemberi utang untuk menjual barang tersebut untuk melunasi hutangnya.
Menyangkut penggunaan barang gadaian menurut ketentuan hukum islam hal tersebut
boleh di lakukan.
Wakalah
A. Definisi
Kata wakalah atau wikalah bermakna tafwidh ‘penyerahan’,
seperti halnya ketika seseorang berkata, “Aku serahkan urusanku kepada Allah.” Kata ini digunakan untuk pengertian hifzh seperti dalam firman Allah, “Cukuplah
Allah sebagai penolong kami dan Dia sebaik-baik Pemelihara.”[6]
Jadi dapat kita pahami, wakalah dalam hal ini dimaknai sebagai
penyerahan urusan seseorang atau sesuatu yang dapat diwakilkan kepada orang
lain dalam bentuk individu maupun sudah dalam bentuk kelompok yang
menanganinya.
B. Dasar
Hukum Wakalah
Seperti yang kita ketahui, wakalah pada dewasa ini merupakan sesuatu
yang sangat di butuhkan dalam masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang
memiliki kepentingan yang banyak sehingga tidak dapat melakukan hal tersebut
secara sendirian ataupun mereka tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya
dan akhirnya di wakilkan kepada mereka yang sekiranya memiliki kemampuan (skill)
lebih untuk melakukannya. Dan dalam hal
tersebut, Islam juga mensyaratkan karena itu merupakan kebutuhan manusia.
Dalam kisah Ashabul Kahfi, Al-Qur’an menceritakan,
y7Ï9ºx2ur óOßg»oY÷Wyèt/ (#qä9uä!$|¡tGuÏ9 öNæhuZ÷t/ 4 tA$s% ×@ͬ!$s% öNåk÷]ÏiB öN2 óOçFø[Î6s9 ( (#qä9$s% $uZø[Î7s9 $·Böqt ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqt 4 (#qä9$s% öNä3/u ÞOn=ôãr& $yJÎ/ óOçFø[Î6s9 (#þqèWyèö/$$sù Nà2yymr& öNä3Ï%ÍuqÎ/ ÿ¾ÍnÉ»yd n<Î) ÏpoYÏyJø9$# öÝàZuù=sù !$pkr& 4x.ør& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uù=sù 5-øÌÎ/ çm÷YÏiB ô#©Ün=tGuø9ur wur ¨btÏèô±ç öNà6Î/ #´ymr& ÇÊÒÈ
“Dan demikian
Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata
salah seorang di antara mereka, ‘Sudah berapa lamakah kamu berada di sini?’
Mereka menjawab, “Kita sudah berada di sini satu atau setengah hari. ‘ Berkata
(yang lain lagi), ‘ Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada di
sini. Maka utuslah seseorang dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia
melihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu
untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali dia
menceritakan keberadaanmu kepada siapapun.” ( Al-Kahfi [18]: 19)
Umat islam telah bersepakat tentang dibolehkannya wakalah; mereka
bahkan menganjurkanya, karena itu termasuk bagian dari ta’awun atas
dasar kebaikan dan taqwa. Pengarang kitab al-Bahr menyebutkan bahwa para
ulama telah sepakat akan pensyariatan wakalah.
Tentang persoalan status wakalah: apakah sebagai nibayah (perwakilan) atau
wilayah (pelimpahan wewenang untuk mengambil keputusan), terdapat dua pendapat
berikut.
-
Pendapat tentang status wakalah sebagai nibayah. Menurut pendapat
ini, seorang wakil tidak boleh menyalahi perinyah orang yang mewakilkan.
-
Pendapat tentang status wakalah sebagai wilayah. Menurut
pendapat ini, seorang wakil boleh menyalahi perintah orang yanh mewakilkan demi
tujuan memperoleh maslahat, seperti jual beli dengan pembayaran segera, padahal
ia diperintahkan untuk menunda pembayaran.
C.
Rukun-Rukun Wakalah
Wakalah merupakan salah satu bentuk akad.
Karena hal tersebut, wakalah tidak sah tanpa memenuhi rukun-rukun akad
berupa ijab dan qabul. Dalam ijab dan qabul tidak
disyaratkan dengan adanya lafadz tertentu, bahkan dibolehkan menggunakan apapun
yang menunjukan hal tersebut, baik berupa ucapan maupun perbuatan dan dapat di
batalkan akadnya dalam kondisi apapun karena akadnya tidak bersifat tetap.
D. Tanjiz
dan Ta’liq
Tanjis adalah seperti perkataan, “Aku
menjadikan engkau sebagai wakilku untuk membeli suatu ini. Sedangkan Ta’liq adalah perkataan yang seperti ini “Apabila urusan ini
telah sempurna, anda menjadi wakilku.” Dan wakalah juga dapat di
kaitkan dengan masa depan seperti perkataan, “Jika datang bulan Ramadhan, maka
engkau akan mewakiliku.
Wakalah merupakan bantuan dari orang yang
mewakili, karena ia melakukan untuk orang lain sebuah tindakan yang bukan
kehendaknya sendiri. Karena itu dia di perbolehkan mengambil upah dari hal
tersebut, ini menurut Imam Hambali. Sedangkan Imam Syafi’I berpendapat bahwa
itu tidak boleh.
E.
Syarat-Syarat Wakalah
Syarat-Syarat Wakalah akan sah bila telah
sempurna, seperti:
1.
Muwakkil (pemberi wakalah)
Memiliki kekuasaan terhadap suatu
tindakan yang ia wakilkan, mumayyiz (dapat membedakan)
2.
Wakil
mumayyiz (dapat membedakan) dan menurut mazhab Hanafi anak kecil yang mumayyiz boleh
menjadi wakil
3.
Muwakkal Fih ( hal yang di wakilkan)
Syaratnya yaitu
diketahui yang menjadi wakil. Kecuali bila diserahkan secara penuh oleh seorang
yang mewakilkan dalam akad apapun.
F.
Kaidah-Kaidah tentang Hal yang Boleh Diwakilkan
Para ahli fiqih telah membuat kaidah tentang perkara apa saja yang boleh
diwakilkan. Menurut mereka, semua akad yang boleh dilakukan sendiri oleh
seseorang, boleh juga diwakilkan kepada orang lain.
Sedangkan perkara yang tidak boleh diwakilkan adalah semua perbuatan yang
tidak dibenarkan adanya perwakilan, seperti shalat, sumpah, dan thaharah,
karena perbuatan-perbuatan itu menjadi cobaan dan ujian yang tidak bernilai
apa-apa jika dilakukan oleh orang lain.
G.
Peran-Peran Wakil
1.
Wakil sebagai orang yang di beri amanat
Status wakil bila akad wakalah telah di lakukan adalah menjadi sama
dengan status orang yang memberi amanat.
2.
Wakalah dalam menghadapi lawan
Perlawanan merupakan hak penuh bagi orang yang mewakilkan. Ia boleh
melakukan sendiri dan berhak mewakilkan kepada orang lain. Namun apakah dalam wakalah
mengahadapi lawan, wakil berhak melakukan iqrar ? Apakah dia berhak
untuk memegang harta yang ditetapkan kepadanya ?
a.
Iqrar (pengakuan) seorang wakil dalam perkara hudu dan qishash
mutlak tidak dapat diterima, baik dalam majelis persidangan maupun lainnya. Dan
bila di luar dua perkara tersebut iqrar, dan semua imam fiqih sepat
boleh di gunakan di lluar persidangan. Namun sebagian ulama ada yang
membolehkan seperti Abu Hanifah dengan diisyaratka kepada wakil dalam
pengakuan.
b. Wakil
dalam perlawanan bukan dalam penerimaan, ini merupakan pendapat ari Imam Malik,
Syafi’I, dan Hanbali karena belum tentu wakil piawai dalam menerima hak-hak
berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang membolehkan dengan alasan meruoakan
satu-kesatuan dengan perlawanan tersebut.
3.
Wakalah dalam jual beli ada dua hal yaitu yang bersifat mutlak (tanpa
syarat dari yang mewakilkan) dan terikat (wajib mengikuti apapun yang
ditetapkan oleh yang mewakilkan).
4.
Pembelian oleh wakil untuk dirinya sendiri
5.
Wakalah dalam pembelian
H.
Batas Waktu Akad Wakalah
Akad wakalah dianggap berakhir jika terjadi hal-hal berikut:
1.
Salah satu dari pihak yang berakad meninggal dunia atau menjadi gila
2.
Berkhirnya pekerjaan tersebut.
3.
Pemutusan wakil tanpa pemberitahuan dari yang mewakilkan. Namun menurut madzhab Hanafi itu
tidak diperbolehkan dan status wakil masih sama
4.
Wakil mengundurkan diri.
5.
Perkara yang diwakilkan bukan lagi milik orang yang mewakilkan.
Komentar
Posting Komentar