Oleh: Akhlis Nurul Majid (11111048); Ika
Khusnul Fadhilah (11111049);
Rini Riftiyani (11111059); Nur Anisah
(11111141)
A. JA’ALAH
1.
PENGERTIAN
JA’ALAH
Ja’alah
merupakan istilah nama
untuk menyebut sesuatu yang di berikan seseorang kepada orang lain sebagai upah
karena mengerjakan. Ia sama dengan ja’l dan ja’ilah .
Secara terminologi
syara’, ja’alah adalah keharusan melakukan sesuatu secara mutlak sebagai
bayaran tertentu atas satu pekerjaan tertentu atau sesuatu yang belum diketahui
sengan sesuatu yang sudah pasti atau yang lainnya.
Sebagian ulama mendefinisakan sebagai “kewajiban membayar upah tertentu atas
pekerjaan yang berat walaupun bayarannya belum pasti”.
2.
STATUS HUKUM JA’ALAH
Ja’alah
status hukumnya boleh menurut firman Allah Q.S. Yusuf (12):72)
Dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh bahan makanan beban unta, dan aku menjamin terhadapnya Q.S. Yusuf (12):72)
Perbedaan antara ja’alah dan ijarah
(sewa)pada dasarnya ja’alah sama dengan sewa namun ada perbedaan dalam beberapa
aspek antara lain :
a.
Akad ja’alah sah dan boleh
walaupun bayarannya tidak pasti
b.
ja’alah sah walaupun
pekerjaannya belum diketahui
c.
penerimaan ja’alah
tergantung dengan keberhasilan dalam pekerjaan
d.
akad ja’alah tetap sah
walaupun si pekerja tidak mau menerima ja’alahnnya
e.
akad ja’alah tetap sah
walaupun upahnya belum diketahui
f.
gugurnya setiap ‘iwadh jika
si pekerja membatalkan akad
3.
RUKUN JA’ALAH
a.
Pemberi Ja’alah
Ia
harus memiliki 2 syarat kualitatif : pertama, memiliki kebebasan berbuat dengan
syarat semua tindakannya sah dengan apa yang di lakukannya sebagai upah baik
dia sebagai pemilik atau bukan, termasuk di dalamnya wali dan tidak termasuk
anak kecil, orang gila, dan idiot.
kedua, mempunyai pilihan, jika terpaksa maka akad tidak sah
kedua, mempunyai pilihan, jika terpaksa maka akad tidak sah
b.
Pekerja
Ia juga harus memiliki
beberapa syarat, yaitu :
1) Memiliki izin untuk bekerja dari orang
yang punya harta.
2) Hendaklah si pekerja orang yang memang
orang yang ahli dengan pekerjaan itu.
3) Si pekerja tidak berhak mendapat upah
kecuali jika sudah selesai pekerjaanya
c.
Upah
d.
Pekerjaan
e.
Shighat
4.
SEBAB-SEBAB GUGURNYA AKAD
JA’ALAH
Dari
segi wajib dan bolehnya, akad bisa di bagi menjadi 3 bagian ;
a. Wajib bagi kedua belah pihak yang
berakad secara pasti seperti akad jual beli ,sewa, pemindahan utang, bagi hasil
perkebunan, hibah untuk selain anak setelah di terima dan akad khuluk.
b. Wajib bagi salah satu pihak dan boleh
bagi pihak yang lain secara pasti seperti akad gadai, hibah kepada anak setelah
menerima, akad jaminan dan asuransi.
c. Boleh dari kedua belah pihak seperti akad
syirkah, perwakilan, peminjaman, penitipan, dan ja’alah sebelum pekerjaan
selesai.
1.
DEFINISI TANAH TAK BERTUAN
(IHYA’ AL-MAWAT)
Ihya
al-mawat adalah dua
lafadz yang menunjukkan satu istilah dalam fiqh dan mempunyai maksud
tersendiri. Bila diterjemahkan secara literer ihya berarti menghidupkan
dan mawat berasal dari maut yang berarti mati atau wafat.
Sedangkan
pengertian al-mawat menurut al-Rafi’i
ialah:
2.
PEMBAGIAN TANAH TAK BERTUAN
Tanah tak bertuan bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut Pertama,
tanah tak bertuan sama sekali. Kedua, tanah tak bertuan yang
temporer yaitu tanah yang sudah pernah digarap kemudian
ditinggalkan rusak setelah digarap dan sekarang tidak digarap.
3.
DALIL KEBOLEHAN MENGGARAP
TANAH TAK BERTUAN
Menggarap tanah tak bertuan diperbolehkan dengan dasar sejumlah riwayat hadits
sebelum adanya ijma’ di antara para ulama. Antara lain hadits yang diriwayatkan
oleh Jabir bin Abdullah r.a bahwasannya Nabi saw
bersabda:
مَنْ عَمَرَ أَرْضَا لَيْسَتْ لِأَ حَدِ فَهُوَ أَحَقٌ بِهَا وَمَا
أَكَلَتْ الْعَوَافِى مِنْهَا فَهُوَ لَهُ
صَدَقَةٌ
Artinya:
barangsiapa menggarap tanah bukan milik siapa pun, maka dialah yang berhak
dengan tanah itu dan apa yang dimakan hewan baginya adalah sedekah. Di sini perlu dicermati sabda Nabi Saw,
“Maka dialah yang berhak memilikinya” dalam riwayat lain “Maka dia
miliknya”. Riwayat ini secara tegas menyatakan bahwa kepemilikan bisa
ditetapkan dengan menghidupkannya dan karena dia berhak memiliki tanah tersebut
tidak perlu menggunakan hujjah dengan menggarap tanah tersebut dengan lafal
yang menunjukkan bahwa dia memilih hak milik tanah yang sudah dihidupkannya
dengan mengatakan umpamanya “Saya memilikinya atau saya masukkan ke dalam
hak milikku.”
4.
HUKUM MENGGARAP TANAH TAK
BERTUAN
Tanah yang digarap bisa berada dalam
negeri islam atau negeri kafir, jika berada dalam negeri islam, maka boleh
digarap dengan dua syarat: Pertama, hendaklah orang yang menghidupkan
seorang muslim, mukallaf atau tidak mukallaf, jika bukan seorang
muslim, maka tidak boleh baginya menghidupkannya walaupun sudah mendapat izin
dari penguasa sebab sama artinya dengan orang kafir mempunyai kekuasaan di
tengah kaum muslimin dan tidak boleh terjadi dalam negeri kita dan jika dia
bolehmengambilnya, jika ada tanamannya dikembalikan kepadanya, jika dia
menerimanya, maka miliknya dan jika tidak mau menjadi milik baitul mal,
dan dipergunakan oleh imam untuk kemaslahatan umum.
Kedua,hendaklah tanah yang akan dimiliki dengan cara digarap
merupakan tanah bebas bukan milik seorang muslimdan yang lainnya, jika
ditetapkan milik seorang muslim atau yang lainnya seperti milik seorang kafir
dzimmi, peminta suaka politikatau yang terkait perjanjian, maka tanah itu
milik mereka. Jika tanah tersebut milik seorang kafir harbi, maka boleh
digarap dan mengambilnyasebab orang kafir harbi jika kita ambil menjadi
bagian dari harta ghonimah.
Menggarap tanah tak bertuan hukumnya
boleh bagi seorang muslim, baik di kawasan tanah Halal dan tanah Haram tanpa
perbedaan, namun ada beberapa hal yang dikecualikan dalam konteks ini, dalam
artian tidak boleh digarap:
a.
Tanah tak bertuan di
Arafah, Mudzdalifah, dan Mina, sebab tanah-tanah tersebut terkait dengan hak
para jamaah haji di Arafah dan mabit di Mina dan Mudzdalifah sebab ini termasuk
haji.
b.
Tanah-tanah di tempat umum
dan fasilitas umum lainya.
c.
Tanah atau kawasan
lindung.
d.
Kawasan terlarang untuk
dikelola, yaitu tanah yang perlu dimanfaatkan walaupun pada dasarnya memang
sudah ada manfaatnya namun tanpa usaha ini pemanfaatan tidak akan maksimal.
5.
MEKANISME PENGGARAPAN TANAH
TAK BERTUAN
Mekanisme penggarapan tanah tak bertuan
adalah cara mengelola hak milik. Rumusnya, dengan cara menyiapkan segala
sesuatu yang menjadi keperluannya sesuai dengan tujuan atau maksud dari barang
tersebut dan inilah yang dikatakan sifat atau cara menggarap tanah tak bertuan
yang lainya, namun harus dikembalikan pada adat kebiasaan sebab syariat tidak
menjelaskan dan tidak ada batasannya dalam istilah bahasa sehingga perlu
dikembalikan kepada adat kebiasan seperti menjaga dan
menerima.
Cara mennghidupkan tempat tinggal, kandang binatang, sawah, kebun, dan sumur.
a.
Tempat
Tinggal
Jika
ingin membangun rumah ada beberapa syarat untuk
menghidupkannya:
1)
Memasang pagar sesuai
dengan kebiasaan (fondasi) baik dengan bata atau tanah liat atau bambu atau
dijaga pengawal dan ini pendapat yang rajih (unggul), Nabi Saw.
Bersabda:
“Barangsiapa
yang membuat pagar di bumi, maka tanah itu berarti haknya (RiwayatAbu Dawut).”
2)
Memasang pintu, atap,
sebagai lokasi agar bisa ditempati dan bisa dinamakan tempat tinggal, kecuali
jika dia ingi membangun tempat rekreasi pada musim dingin biasanya tidak ada
atap, maka tidak disyaratkan ada atap.
b.
Kandang
Hewan
Jika ingin membangun kadang hewan atau
gudang buah-buahan, hasil panen dan yang lainnya, maka ada dua
syarat:
1)
Memagar tempat yang akan
dibangu sesuai dengan adat kebiasaan.
2)
Memasang pintu
c.
Sawah
Terkait penggarapan sawah, ada beberapa syarat
yang harus diperhatikan untuk
menggarapnya:
1)
Memagar lokasi dengan tanah
di sekelilingnya dan yang lainnya seperti batu dan paku agar terpisah antara
tanah yang akan digarap dengan yang lainnya seprti dinding
rumah.
2)
Meratakan lokasi dengan
menimbun yang rendah dan meratakan yang tinggi, melembutkan tanah dan
membersihkannya agar bisa ditanami.
3)
Menyiapakan seluruh air
baik dari sungai, sumur atau telaga jika air hujan tidak mencukupi jika air
hujan sudah cukup, maka tidak perlu
lagi.
d.
Kebun
Untuk
menenghidupkan kebun ada beberapa syarat yang harus diperhatikan:
1)
Mengumpulkan tanah di
sekitar kebun seperti lihat pertanian jika tidak ada kebiasaan memasang tembok
dan jika ada, maka harus ada temboknya baik dengan bangunan atau dengan
menancapkan bambu, atau paku sesuai dengan adat ada atau tidaknya dan tidak
bisa digabungkan antaramemagar dan menimbun
tanah.
2)
Menyiapakan air sesuai
kebiasan jika air hujan tidak
cukup.
3)
Kebun harus ditanami semua
atau sebagainnya sehinng bisa dinamakan kebun
e.
Sumur
Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membangun
sumur:
1)
Keluar air.
2)
Memasang cincin sumur untuk tanah yang lembut dan tidak untuk yang keras.
Adapun menghidupkan sumur telaga hanya disyaratkan ada air keluar dan mengalir.
C. BARANG TAMBANG
1.
DEFINISI BARANG TAMBANG
Barang tambang adalah benda-benda yang
dihasilkan dari dalam tanah dan dibutuhkan oleh semua manusia, untuk tujuan
yang seperti emas dan perak yang Allah titipkan di dalam tanah terlihat atau
tidak, dan ma’adin pada asalnya nama tempat diambil dari kata ‘adn yang artinya
tinggal diantaranya surga ‘adn surga tempat tinggal yang abadi hanya saja
biasanya kata ini dipakai untuk menyebutkan harta yang keluar dari dalam tanah
dan ini makna hakiki untuk tempat di mana barang tambang ditemukan.
2.
JENIS-JENIS BARANG TAMBANG
Barang tambang yang dikeluarkan dari
dalam tanah ada dua jenis : Zhahir (yang terlihat) dan Bathin (yang tak
terlihat).
a.
Barang Tambang yang
Terlihat
Adalah barang tambang yang keluar tanpa
ada proses sebab nilai perhiasannya sudah terlihat tanpa ada usaha dan hanya
perlu mencari, terkadang mudah terkadang susah, dan barang tambang yang keluar
dari dalam tanah banyak sekali diantaranya :
1)
Minyak mentah (nifth).
Az-Zarkasyi mengatakan itu merupakan minyak yang ada di atas air dalam mata air
dan dalam kamus Ash-Shihah dia adalah nama untuk minyak yang sudah dikenal
orang.
2)
Belerang, yaitu air yang
mengalir dan jika dia beku, maka menjadi belerang, bewarna putih kekuningan,
keruh, dan merah.
3)
Mumi, yaitu sesuatu yang
dilemparkan laut ke tepi pantai lalu dia membeku dan menjadi seperti gala-gala.
Ada yang mengatakan mumi adalah batu hitam yang ada di Yaman yang berlubang,
adapun yang dibuat dari tulang orang yang sudah meninggal, maka hukumnya najis
atau terkena najis. Jika mumi merupakan sesuatu yang dilemparkan oleh laut ke
tepi pantai, maka anbar (sejenis minyak wangi) yang tumbuh didasar laut lalu
dibawa ombak ke permukaan sampai ke daratan.
4)
Batu untuk periuk masak dan
batu untuk membuat tempat menumbuk.
b.
Barang Tambang yang Tak
Terlihat
Adalah barang tambang yang harus melalui
proses seperti emas, perak, besi, baja, timah, batu akik dan semua jenis
permata yang ada di dalam lapiasan tanah.
3.
HUKUM MEMILIKI BARANG
TAMBANG
a.
Hukum memiliki barang
tambang yang terlihat
Barang tambang ini tidak bisa dijadikan
hak milik dengan cara menggarap tanah tak bertuan, dan tidak bisa dijadikan hak
khusus dengan cara memberi tanda dan tidak ada pemberian dari penguasa sebab
hak bersama baik muslim atau kafir seperti air dan rumput.
Ijma’ telah terjadi untuk melarang
memberikan aliran sungai dan ini sama juga dengan sesuatu yang sangat
diperlukan oleh masyarakat umum dan mengambilnya tanpa bayaran. Maka bisa
disimpulkan bahwa tidak boleh memberikan barang-barang atau manfaat umum.
Oleh sebab itu, tidak boleh bagi imam
untuk memberikan sebidang tanah atau memberi tanda tanah untuk mengambil kayu
bakar, dan hewan buruan, kolam untuk mengambil ikannya baik pemberian bersifat
pemberian hak milik atau hak garap saja. Imam tidak boleh memberikan pohon
besar dan buahnya yang ada disatu tempat yang tidak ada pemiliknya jika yang
dimaksudkan adalah pohonnya. Namun jika yang dimaksudkan adalah tempatnya
dan seluruh lokasi yan tertutupi oleh pohon tersebut, maka dia masuk dalam hak
milik sebagai pengikut dan dari sini diketahui bahwa siapa yang memiliki tanah
dengan cara ihya’, maka dia memiliki semua yang ada di atasnya sebelum terjadi
ihya’ (penggarapan), jika dia sudah tahu, maka tidak ada hak baginya.
b.
Hukum memiliki barang
tambang yang tak terlihat
barang
tambang ini tidak bisa dimiliki kecuali dengan syarat sebagai berikut :
1)
Ia bisa dimiliki setelah
menggali dan berusaha menurut pendapat yang lebih kuat, namun bisa dimiliki
dengan eksploitasi dan mengeluarkannya sebagaimana barang tambang yang tampak
yang tidak bisa dimiliki oleh orang yang menggarap lokasi jika dia tahu sebab
menggarap sesuatu sesuai dengan tujuannya dan inilah pendapat para ulama dari
dahulu sampai sekarang.
2)
Bisa dimiliki dengan niat
memiki sebagaimana dengan menggarap tanah yang tak bertuan. Perbedaannya dengan
yang pertama bahwa tanah tak bertuan bisa dimiliki jika dikelola sedangkan menggali
barang tambang adalah bentuk penghancuran. Tanah tak bertuan jika dimiliki si
pengelola tidak perlu bekerja dan barang tambang terletak di dalam lapisan
tanah setiap hari perlu digali dan usaha.
Pendapat yang membolehkannya menjadi hak milik tanpa harus melakukan usaha
eksploitasi, maka harus ada niat memiliki dan keluarnya barang tambang ,
sedangkan jika belum keluar sama dengan orang yang baru menandai. Sedangkan
pendapat yang membolehkan menjadi hak milik, maka dia yang lebih berhak. Adapun
tempat barang tambang, maka tidak bisa dimiliki dengan menggali dan berusaha
secara mutlak. Dan tidak disyaratkan untuk memiliki tanah atau barang tambang
izin dari pengusaha.
Referensi :
Moh Syaifulloh Al Aziz S. 2005. Fiqih
Islam Lengkap. Surabaya : Terbit Terang
Ahmad Wardi Muslich. 2010. Fiqih
Muamalat. Jakarta : amzah
Hendi suhendi. 2010. fiqh muamalah.
jakarta: raja grafindo persada
Komentar
Posting Komentar