Langsung ke konten utama

ISTIHSAN




Oleh: Suwarti (11509038); Alfiah (11510012); Yunita Nafi’ah (11510017); Catur Ayu Pratiwi (11510021)

A.     Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwaatau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju(menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil syara’ yang terakhir disebut sandaran istihsan.

Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada Qiyas ada dua peristiwa kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan yang lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan illat atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
B.     Dasar Hukum Istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi. Menurut mereka, istihsan sebenarnya semacam qias, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qias jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakikatnya adalah sama hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menantang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keingginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ adalah Allah SWT.” Dalam buku risalah ushuliyah, karangan beliau, dinyatakan: “perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap kesuatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuata syara’ untuk menentukan arah ka’bah itu”.
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dengan istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i.menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qias, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu. Sedang menurut Madzhab Syafi’i istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwaafaqaat menyatakan: “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.
C.     Macam-macam Istihsan
Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh diatas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
a.       Pindah dari qias jali kepada qias khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
Contoh: menurut madzhab hanafi sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halah diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qias jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya sehingga air liurnya masuk ketempat minumnya. Menurut qias khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tandak dan tulang atau zat tandak bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang ada pada burung buas membedakannya dengan binatang buas. Berdasarkan keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qias jali kepada qias khafi, yang disebut dengan istihsan.
b.      Pindah dari hukum khuli kepada hukum juz’i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh madzhab hanafi disebut istihsan darurat dikarenakan penyimpangan itu dilakukan karena adanya suatu kepentingan yang darurat.
Contoh: menurut hukum khuli, seorang pemboros yang memiliki harta berada dibawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualikan transaksi yang berupa waqaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri karena dengan waqaf itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz’i). dari contoh tersebut Nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan maka dilaksanakanlah hukum juz’i dan meninggalkan hukum khuli.

Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan terbagi kepada :
a.       Istihsan dengan sandaran qiyas khafi
Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi. Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jaliy (qiyas yang nyata), waqaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad.

b.      Istihsan dengan sandaran nash
Istihsan dengan nash seperti berpalingnya mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nash. Karena memang ada masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang termasuk atau tercakup dalam salah satu kaidah dari kaidah-kaidah umum (Al-Qowaid Al-Kulliyyat). Namun terhadap masalah atau peristiwa itu ditemui dalil khusus yang menghendaki pengecualian terhadap masalah tersebut dan menetapkan hukum yang lain daripada hukum yang dapat ditarik dari kaidah umum. Contohnya ialah makan siang diblan ramadhan – menurut qias dalah arti kaidah umum – merusak atau membatalkan puasa karena telah cacat rukunnya yaitu rukun menahan diri (Al-Imsak). Sebab menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa termasuk rukun puasa. Akan tetapi bila makan siang dibulan ramadhan karena lupa, dilakukan pemalingan. Pemalingan itu adalah pemalingan dari hukum batalnya puasa yang dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nash. Nash disini adalah sabda nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya berbunyi
“Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: orang berpuasa yang makan atau minum karena lupa, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Karena Allah lah yang telah memberinya makan dan minum.”
c.       Istihsan dengan sandaran ‘urf
Imam malik mengatakan bahwa madzhabnya  meninggalkan dalil umum karena ada ‘urf. Ia menolah sumpah karena ‘urf. Kalau seseorang bersumpah tidak akan memasuki rumah maka qias lafzhi, menurut bahasa memasuki setiap tempat yang bernama rumah seperti masjid berarti melanggar sumpah. Akan tetapi malik melakukan istihsan dengan mentakhshishkan umum lafazh dengan ‘urf dan kebiasaan dalam praktik. Menurut malik masuk masjid tidaklah melanggar sumpah karena masjid tidak dinamakan rumah.
d.      Istihsan dengan sandaran keadaan darurat
Bila qias menghendaki suatu hukum terhadap suatu peristiwa, akan tetapi disana fukaha menemukan darurat yang menghendaki ditetapkannya hukum lain yang berbeda dengan kaidah umum, maka penetapan hukum seperti itu dinamakan istihsan dengan darurat. Conoth istihsan macam ini yaitu masalah membersihkan sumur. Mereka mengatakan, apabila jatuh suatu najis kedalam sumur, sumur itu tidak mungkin dibersihkan, karena akan menjerumuskan manusia dalam kesukaran dan menghalanginya dari kebutuhan yang sangat pokok, yaitu kebutuhan untuk menggunakan air dalam kehidupan dan dalam ibadahnya. Karena itu para fukaha menetapkan bahwa sumur dapat dibersihkan dari najis dengan menuangkan beberapa timba air kedalamnya. Para fukaha mengatakan sesungguhnya fatwa terhadap masalah ini, sandaran atau dasarnya adalah istihsan bukan qiyas.

Ulama Hanafiyyah membagi istihsan ada 6 macam, yaitu:
1.      Istihsan bi Al-Nash/ الإستحسان بالنص (istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Maksudnya, ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Misalnya, dalam masalah wasiat. Menurut umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh. Karena sifat pemindahan hak milik kepada oarang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat.
2.      Istihsan bi al-ijma’/ الإستحسان بالإجماع (istihsan yang didasarkan kepada ijma’). Misalnya, dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi oarng banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh memepergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.
3.      Istihsan bi al-qiyas al-khafiy/ الإستحسان بالقياسالخفي (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi). Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jaliy (qiyas yang nyata), waqaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad.
4.      Istihsan bi al-mashlahah/ الإستحسان بالمصلح (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya, ketentuan umum menetapkan bahwa buruh disuatu pabrik tidak bertanggungjawab atas kerusakan hasil komoditi yang diproduk pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggungjawab para buruh dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produk, maka ulama Hanafiyyah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus bertanggungjawab atas kerusakan setiap produk prabrik itu, baik disengaja maupun tidak.
5.      Istihsan bi al-‘urf/ الإستحسان بالعرف (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Misalnya, dalam masalah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak air dan lama pemandian itu digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah air yang terpakai.
6.      Istihsan bin al-dharurah/ الإستحسان بالضرورة (istihsan berdasarkan keadaan darurat). Misalnya, dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum atau qiyas, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air, sulit dikeringkan.

D.    Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan    sebagai salah satu dalil/metode dalam menetapkan hukum syara’.
Menurut ulama Hanafiyah menggunakan istihsan ini dengan alasan: berdalil dengan istihsan itu sebenarnya sama dengan berdalil dengan qiyas khafiy atau berdalil dengan istislah, kesemuanya dapat menerima.
Menurut asy-Syafi’i, istihsan itu bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakan istihsan sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri semata yang mungkin benar dan mungkin pula salah. Ibn hazm termasuk salah satu ulama yang menolak istihsan. Beliau menganggap bahwa istihsan itu, berarti menganggap baik terhadap sesuatu menurut hawa nafsunya, bisa benar bisa pula salah. Misalnya, mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Perselisihan para ulama mengenai kehujjahan dan kebolehan istihsan dijadikan sebagai jalan ijtihad ini, sebenarnya terletak pada perbedaan mereka dalam memberikan batasan terhadap istihsan itu sendiri, jadi bukan pada operasionalnya dalam menetapkan hukum berdasarkan istihsan. Jika istihsan diberi batasan sebagaimana dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah atau Malikiyah, maka sebenarnya Ulama Syafi’iyah menggunakan cara mengistinbatkan hukum seperti itu. Segolongan ulama berpendapat bahwa istihsan bukan dalil yang berdiri sendiri, tetapi memerlukan dan berpokok pangkal pada dalil syar’i lain.

PENUTUP
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Secara istilah, mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid. Istihsan istisnaiy memiliki beberapa bentuk, yaitu : istihsan bin-nash, istihsan dengan ijma, istihsan berdasarkan urf, serta istihsan berdasarkan mashlahah mursalah.
Beberapa ulama berbeda pendapat terhadap penggunaan istihsan sebagai hujjah, diantaranya Imam Syafii, yang menolak menggunakan istihsan. Sedangkan Imam Hanafi, Maliki, dan Hanbali menerima istihsan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Salam, Zarkasi.,dkk. 1994. Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh 1.Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam
Nasrun Haroen, H,MA., 1996. Ushul Fiqh.Cet1. Jakarta: Penerbit publising house
Usman, Iskandar. 1994. Istihsan Dan Pembaharuan Hukum Islam.Cet1. Jakarta:PT.Raja Grafindo


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.