Langsung ke konten utama

Istihsan



Pengertian
Lughawi: memperhitungkan/mengikuti sesuatu yang lebih baik.
Istilahi: berpalingnya mujtahid dari tuntutan qiyas jalli ke qiyas khafi atau dari dari hukum kulli (umum) ke hukum isttisnay (pengecualian) karena ada dalil yang mengyebabkan ia melakukan demikian.
Alasannya adalah karena dengan cara itulah si mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan kesulitan umat.

Macam-macam Istihsan
q  Beralih dari Qiyas Jalli ke Qiyas Khafi .
            Contoh:
            Wakaf tanah apakah termasuk penggunaan hak irigasi, air tanah yang ada di dalamya, jalan dll. (padahal tidak termasuk dalam aqad wakaf).
            Segi istihsan:  tujuan wakaf  adalah pemanfaatannya, sehingga air,hak irigasi, jalan dll termasuk di dalamnya tanpa harus menyeburkannya.
            Segi qiyas: mempersamakan wakaf dengan jual beli (qiyas Jalli). Mempersamakan wakaf dengan sewa-menyewa (qiyas khafi).
            Contoh lain: hukum minum air bekas diminum burung buas (elang, gagak, rajawali, nasar, dll,). Menurut ulama Hanafiah suci hukumnya menurut istihsan.
            Segi qiyas: sisa air yang dimunium binatang buas seperti harimau, singa, serigala dll. air najis hukumnya. Hukum sisa air yang diminum oleh burung buas tidak bisa disamakan dengannya.
            Segi istihsan-nya, karena burung buas tidak minum dengan lidahnya melainkan dengan paruhnya yang dimungkinkan tidak tercampur air liurnya dalam sisa air yang diminumnya.
q  Beralih dari nash umum (kulli) kepada yang khusus (juz’iyah/kasuistik).
            Contoh: pencuri di masa paceklik tidak dipotong tangannya karena berlaku hukum khusus.
            Allah melarang melakukan transaksi jual beli atas sesuatu yang tidak ada. Namun transaksi salam (pesanan), muzara’ah (aqad bagi hasil penggarapan tanah), musaqat (aqad bagi hasil penyiraman tanah), dan istisna (jasa pengerjaan sesuatu) boleh berdasarkan istihsan.

KEKUATAN ISTIHSAN DALAM IJTIHAD
q  Ada bentuk istihsan yang diterima semua pihak sehingga memiliki kekuatan ijtihad yaitu istihsan yang diartikan dengan  “mengamalkan yang terkuat di antara 2 dalil atau beralih dari qiyas ke qiyas yang lebih kuat”.
q  Adapun istihsan dalam arti beralih dari qiyas jalli ke qiyas khafi atau beralih dari dalil ke adat, merupakan masalah yang kontroversial sehingga menjadi kurang kekuatannya sebagai dalil. Imam Syafii menolak istihsan ini.

Argumen Ulama yang Menolak Istihsan
  1. Hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik oleh akal akan terjebak pada hawa nafsu.
  2. Berhujjah dengan Istihsan berarti mendahulukan hukum yang ditetapkan akal daripada hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’.
  3. Orang yang meniggalkan qiyas dengan beralih dengan Istihsan berarti meniggalkan hujjah syar’iyah dengan suatu yang bukan syar’iyyah dan ini tertolak.

Argumen Ulama yg Menerima Istihsan
q  Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan beralihnya pembuat hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan khusus dalam rangka mewujudkan maslahah.
            Misalnya, larangan Allah memakan bangkai, namun dalam keadaan tertentu hukum tsb tidak dilakukan & beralih kepada bolehnya makan bangkai bagi orang terpaksa.
q  Hadis Nabi yang melarang jual beli (umum) barang yang tidak ada di tempat berlangsungnya akad, tapi untuk jual beli salam diberlakukan hukum khusus.
q  Berdasar ijma’, misalnya menggunakan ketentuan pemandian umum tanpa menentukan lamanya waktu dan kadar air.
q  Berdasar rasio, bahwa menetapkan qiyas & memberlakukan ketentuan umum bertujuan untuk mendatangkan maslahah. Jika dalam keadaan tertentu qiyas yang ditetapkan & ketentuan umum yang diberlakukan justru berakibat pada hilangnya maslahah, maka meningglkan qiyas & ketentuan umum merupakan tindakan yang lebih bijak, ditinjau dari tujuan pemberlakuan hukum, yaiyu mendatangkan maslahah dan menghilangkan madarat


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.