Langsung ke konten utama

IJMA’




q  Ijma’ secara etimologis memiliki dua arti:
1)      “Ketetapan hati untuk melakukan sesuatu”. Sebagaimana dalam QS Yunus: 71.
2)      “Sepakat”. Sebagaimana dalam QS Yusuf: 15.
q  Menurut ulama ushul pengertian Ijma, misalnya seperti disampaikan Al-Ghazali dan Al-Amidi.
q  Al-Ghazali; “Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama”.
q  Al-Amidi; “ Kesepakatan sejumlah ahlul halli wal ‘aqd (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus”.
q  Kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.

Rukun Ijma’
  1. Adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa.
  2. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat Islam terhadap hukum syara’ mengenai suatu peristiwa.
  3. Kesepakan para mujtahid adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing mujtahid secara jelas tentang suatu peristiwa.
  4. Kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisir (tidak cukup hanya dengan pendapat mayoritas).

Argumentasi Tentang tidak mungkin terjadi Ijma’
Ada sebagian kelompok yang tidak menerima adanya Ijma, karena beberapa hal:
  1. Tidak ditemukan ukuran yang jelas untuk mengetahui apakah seseorang dapat dianggap mujtahid ataupun tidak;
  2. Sulitnya memperhatikan pendapat semua mujtahid di seluruh dunia tentang suatu kasus;
  3. Tidak adanya jaminan para mujtahid tidak akan menarik kesepakatannya di kemudian hari.

Menurut Jumhur Ulama
q  Ijma’ dapat terjadi menurut adat;
q  Contoh Ijma’ kekhalifahan Abu Bakar, Keharaman lemak babi, pemberian warisan seperenam bagi nenek perempuan, terhalangnya  cucu oleh anak laki-laki dari pewarisan;
q  Ijma’ dapat terjadi bila dikoordinir oleh pemerintahan-pemerintah Islam (abd Wahab Khalaf).

Kemungkinan terjadinya ijma’ dalam kenyataan
q  Ijma’ tidak dapat terwujud sebagaimana pengertian di atas.
q  Ijma’ adalah pembentukan hukum Islam oleh jamaah sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Umar.

Macam-macam Ijma’
  1. Ijma’ sharih merupakan ijma’ hakiki dan hujjah syar’iyyah
  2. Ijma’ sukuti merupakan ijma’ I’tibari (anggapan) dan bukanlah hujjah dan kedudukannya sama dengan pendapat sebagian dari individu para mujtahid
q  Menurut ulama Hanafi, ijma’ sukuti adalah hujjah.

Kedudukan Ijma Sebagai Dalil
q  Surat An-Nisa: 115 è “Jalan orang-orang Mukmin” dimaknai sebagai Ijma kaum mukmin.
q  Surat Al-Baqarah: 143 è “wasath” (adil). Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa umat Islam dapat memutuskan sesutu dengan adil. Ijma berkedudukan sebagai hujjah tidak lain karena keadilan yang diputuskan bersama.
q  Surat An-Nisa: 59.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.