Oleh: Achmad Rifai 111 11 028; Muhammad Imam Hanif 111 11 150; Nurunnisa’ Innafingah 111 11 206; Daya Lolita Sari 111 11 042
Latar Belakang
Kehidupan manusia di dunia
diliputi dengan berbagi problematika yang rumit. Islam datang sejak seribu lima
ratus tahun silam sebagai cahaya yang menerangi gelapnya kehidupan. Islam
datang dengan prinsip rohmatan lil ‘alamin mampu menjawab berbagai
problematika kehidupan manusia. Ulama telah membagi disiplin ilmu dari ajaran
Islam. Salah satu disiplin ilmu yang tercetus adalah ilmu fiqh yang berbicara
panjang lebar dan terinci khusus tentang kehidupan manusia.
Ijarah, ‘ariyah, dan wadi’ah merupakan
bab fiqh yang memberikan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat. Sewa-menyewa,
pinjam-meminjam, dan saling titip adalah bidang kehidupan yang pasti terjadi di
kehidupan masyarakat. Fiqh mengatur agar ketiga hal tersebut tertata dengan
baik dan menimbulkan kemaslahatan di dalam kehidupan masyarakat.
Indahnya Islam yang sangat
memperhatikan segala aspek kehidupan manusia. Ijarah, ‘ariyah dan wadi’ah
adalah jawaban maslahah untuk problematika dalam hal sewa-menyewa, pinjam-meminjam,
dan saling menitipkan barang dengan orang lain.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian ijarah, ‘ariyah, dan wadi’ah?
2.
Apa rukun dan syarat dari ijarah, ‘ariyah,
dan wadi’ah?
3.
Apa saja hal-hal yang berkaitan dengan ijarah,
‘ariyah, dan wadi’ah?
I.
Ijarah (Sewa Menyewa)
A. Pengertian
Ijarah menurut bahasa berarti balasan,
tebusan atau pahala (Al Aziz, 2005: 377). Menurut Ali Fikri, ijarah menurut
bahasa adalah sewa-menyewa atau jual beli manfaat. Sedangkan Sayid Sabiq
mengemukakan: “Ijarah diambil dari kata ‘Al-Ajr’ yang artinya ‘iwadh
(imbalan), dari pengertian ini pahala (tsawab) dinamakan ajr (upah/ pahala).”
(Muslich, 2010: 316). Menurut istilah ijarah adalah melakukan aqad mengambil
manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai
dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu (Al Aziz,
2005: 377).
Terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang
ijarah menurut istilah, yaitu:
1. Menurut
Hanafiah
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan
berupa harta.
2. Menurut
Malikiyah
Ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak
milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan
yang bukan berasal dari manfaat.
3. Menurut
Syafi’iyah
Definisi akad ijarah adalah suatu akad atas
manfaat yang dimaksud dan tertentukan yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan
imbalan tertentu.
4. Menurut
Hanbaliyah
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa
sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.
B. Dasar
Hukum
Dasar hukum ijarah adalah Q.S. At Thalaq: 6
“Maka jika mereka menyusukan (anak-anak) mu
untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya” (Q.S. At-Thalaq: 6)
Terdapat juga di dalam al-Hadits, Rasulullah
S.A.W. bersabda,
“Tiga orang (golongan) yang aku memusuhinya
besok di hari kiamat, yaitu orang yang memberi kepadaku kemudian menariknya
kembali, orang yang menjual orang merdeka kemudian makan harganya, orang
yang mengusahakan dan telah selesai tetapi tidak memberikan upahnya” (H.R. Bukhari).
Dari Ibnu ‘Umar r.a. ia berkata, ”Rasulullah
S.A.W. bersabda,’Berikanlah kepada tenaga kerja itu upahnya sebelum keringatnya
kering.’” (H.R.
Ibnu Majah).
C. Rukun
Menurut Hanafiyah, rukun ijarah hanya ijab
dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada empat,
yaitu:
1. Aqid, yaitu mu’jir
(pemberi sewa) dan musta’jir (penyewa),
2. Shighat yaitu, ijab dan qobul,
3. Ujrah yaitu uang sewa atau upah,
4. Manfaat
dari barang atau jasa, dan tenaga dari orang yang bekerja
D. Syarat
Syarat ijarah ada empat macam, yaitu:
1. Syarat
terjadinya akad (syarat in’iqad)
Syarat ini berkaitan dengan aqid, akad,
dan objek akad. Syarat yang berkaitan dengan aqid meliputi berakal,
mumayyiz menurut Hanafiah, dan ditambah baligh menurut Syafi’iyah dan Hanbaliyah.
2. Syarat
berlangsungnya akad (syarat nafadz)
Syarat ini berkaitan dengan hak kepemilikan.
Apabila pelaku tidak mempunyai hak milik maka akadnya mauquf (ditangguhkan)
menurut Hanafiyah dan Malikiyah, bahkan batal menurut Syafi’iyah dan
Hanbaliyah.
3. Syarat
sahnya akad
Syarat sah ijarah meliputi,
a. Persetujuan
kedua belah pihak
b. Objek
akad harus jelas agar tidak menimbulkan perselisihan.
Kejelasan objek ijarah meliputi,
1) Objek
manfaat, dengan mengetahui benda yang disewakan.
2) Masa
manfaat, hal ini diperlukan terutama dalam ijarah kontrak rumah, kios, ataupun
kendaraan.
3) Jenis
pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang dan pekerja.
c. Objek
ijarah harus dapat dipenuhi, baik secara hakiki (benar-benar manfaat) maupun
syar’i (sesuai aturan).
d. Manfaat
yang menjadi objek akad harus manfaat yang dibolehkan oleh syara’. Misalnya
menyewa rumah untuk tempat tinggal. Sebaliknya, bila menyewa rumah untuk tempat
maksiat maka tidak diperbolehkan menyewa.
e. Pekerjaan
yang diijarahkan bukan sesuatu yang fardhu. Dengan demikian, tidak sah menyewakan
tenaga untuk melakukan perbuatan yang bersifat taqarrub dan taat kepada Allah.
Ada beberapa pendapat tentang hal ini, yaitu:
1) Tidak
sah menyewakan tenaga untuk melakukan shalat, puasa haji, menjadi imam, adzan,
dan mengajarkan Al-Qur’a, karena semuanya mengambil upah dari pekerjaan fardhu.
Pendapat ini disepakati oleh Hanafiyah dan Hanbaliyah.
2) Mengambil
upah dari ijarah untuk mengajarkan Al-Qur’an, muadzin beserta imam dan mengurus
masjid hukumnya boleh menurut Malikiyah dan Syafi’iyah.
3) Ijarah
untuk haji, memandikan mayit, menalkinkan, dan menguburkan hukumnya boleh
menurut Syafi’iyah.
4) Mengambil
upah dari memandikan mayit tidak diperbolehkan, tetapi boleh ijarah untuk
menggali kubur dan memikul jenazah menurut Abu Hanifah.
5) Para
ulama’ sepakat membolehkan mengambil upah untuk mengajarkan ilmu matematika,
khat, bahasa, sastra, fiqh, dan hadits serta membangun masjid dan madrasah.
f.
Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat
dari pekerjaannya untuk dirinya sendiri.
g. Manfaat
objek harus sesuai dengan tujuan dilakukannya akad ijarah yang biasa berlaku
umum. Apabila manfaat tersebut tidak sesuai dengan tujuan dilaksanakannya akad
ijarah maka ijarah tidak sah. Contohnya menyewa pohon untuk menjemur pakaian,
maka ijarahnya tidak sah karena manfaat (menjemur baju) tidak sesuai dengan
manfaat pohon itu sendiri.
Adapun
syarat upah adalah sebagai berikut:
a. Upah
berupa mal mutaqawwim, karena upah merupakan harga atas manfaat.
b. Upah
atau sewa tidak boleh sama dengan jenis manfaat objek ijarahnya. Contohnya
menyewa mobil dibayar dengan mobil si penyewa.
4. Syarat
mengikatnya akad (syarat luzum)
Terdapat dua syarat agar akad ijarah tersebut
mengikat, yaitu:
a. Benda
yang disewakan harus terhindar dari cacat yang menyebabkan terhalangnya
pemanfaatan atas benda yang disewa tersebut. Apabila ada cacatnya, maka orang
yang menyewa boleh meneruskan ijarah dengan pengurangan uang sewa atau
membatalkannya.
b. Tidak
terdapat udzur (alasan) yang dapat membatalkan akad ijarah. Apabila
terdapat udzur, baik pada pelaku maupun pada bendanya maka pelaku berhak
membatalkan akad. Ini menurut Hanafiyah. Menurut jumhur ulama, akad ijarah
tidak batal karena udzur, selama manfaat benda tudak hilang sama sekali.
(Muslich, 2010)
E. Macam-Macam
Beberapa macam-macam ijarah adalah sebagai
berikut:
1. Sewa
tanah
Dalam penyewaan tanah harus jelas tujuan dari
penyewaan tanah tersebut. Bila tujuannya untuk maksiat maka tidak sah ijarah
tersebut (Muslich, 2010: 332). Mayoritas ulama membolehkan sewa tanah dengan
emas atau uang (Al Aziz, 2005: 379).
2. Sewa
toko, rumah dan semacamnya
Sewa toko, rumah dan semacamnya diperbolehkan. Penyewaan
sesuai dengan akad baik masanya maupun tujuannya. Rumah yang telah di sewa
boleh disewakan kembali oleh penyewa pertama. Rumah yang disewa harus dijaga
dan dirawat oleh penyewa.
3. Sewa
kendaraan
Sewa kendaraan harus jelas waktu, tempat, serta
muatannya.
4. Sewa
binatang
Diperbolehkan pula menyewakan binatang seperti
sapi dan kerbau untuk membajak tanah, untuk transportasi. Menyewa binatang
jantan untuk dikawinkan dengan binatang betina sebagian ulama melarangnya (Al
Aziz, 2005: 380).
5. Jasa
manusia
Dalam kehidupan sehari-hari sewa jasa manusia
sering disebut upah. Memberikan upah atas jasa manusia seperti memberikan upah
untuk penjahit, tukang kayu, tukang bangunan, termasuk gaji guru, dan PNS
diperbolehkan dengan catatan memberikan upahnya jangan ditunda-tunda.
F. Berakhirnya
Ijarah
Akad ijarah berakhir apabila,
1. Meninggalnya
salah satu pihak yang melakukan akad, menurut Hanafiah. Menurut jumhur ulama,
kematian salah satu pihak tidak mengakitkan berakhirnya akad ijarah disebabkan
benda yang disewa manfaatnya dapat diteruskan oleh ahli waris.
2. Iqalah, yaitu pembatalan oleh kedua
belah pihak.
3. Rusaknya
barang yang disewakan, sehingga ijarah tidak mungkin untuk diteruskan.
4. Telah
selesai mas sewa, kecuali ada udzur. Misalnya, sewa tanah untuk ditanami,
tetapi ketika masa sewa sudah habis, tanaman belum bisa dipanen, maka ijarah
dianggap belum selesai.
II.
‘Ariyah (Pinjam)
A. Pengertian
Menurut bahasa ‘ariyah berarti pinjaman.
Menurut istilah artinya adalah mengambil manfaat barang kepunyaan orang lain
secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk dikembalikan lagi tanpa
mengurangi atau merusak zatnya. (Al Aziz, 2005:390)
Definisi ‘ariyah yang dikemukaan oleh
para ulama adalah sebagai berikut:
1. Ulama
Hanafiah
Menurut syara’ ‘ariyah adalah
kepemilikan atas manfaat tanpa disertai dengan imbalan.
2. Ulama
Malikiyah
Sesungguhnya ‘ariyah itu adalah
kepemilikan atas manfaat yang bersifat sementara tanpa disertai dengan imbalan.
3. Ulama
Syafi’iyah
Hakikat ‘ariyah menurut syara’ adalah
dibolehkannya mengambil manfaat dari orang yang berhak memberikan secara
sukarela dengan cara-cara pemanfaatan yang dibolehkan sedangkan bendanya masih
tetap utuh, untuk kemudian dikembalikan kepada orang yang memberikannya.
4. Ulama
Hanbaliyah
I’arah adalah kebolehan memanfaatkan suatu barang
tanpa imbalan dari orang yang memberi pinjaman atau lainnya. (Muslich, 2010:
467)
B. Dasar
Hukum
Dasar hukum ‘ariyah adalah sebagai berikut:
1. Q.S. Al
Madinah (5): 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al Madinah [5]: 2)
2. Hadits
Anas bin Malik
Dari Anas bin Malik ia berkata, “Telah terjadi
rasa ketakutan (atas serangan musuh) di kota Madinah. Lalu Nabi S.A.W. meminjam
seekor kuda dari Abi Thalhah yang diberi nama Mandub, kemudian beliau
mengendarainya. Setelah beliau kembali beliau bersabda, ‘Kami tidak melihat
apa-apa, dan yang kami temukan hanyalah lautan.’” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
Dari ayat Al Qur’an dan hadits tersebut,
membuktikan bahwa ‘ariyah diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam.
C. Rukun
Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah
ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama termasuk Syafi’iyah, rukun ‘ariyah
adalah:
1. Orang
yang meminjamkan
2. Orang
yang meminjam
3. Barang
yang dipinjamkan
4. Shighat
D. Syarat
Syarat-syarat dalam ‘ariyah berkaitan
dengan rukun-rukunnya. Berikut syarat-syarat ‘ariyah:
1. Syarat-syarat
orang yang meminjamkan
Orang-orang yang meminjamkan sesuatu harus
memiliki kemampuan tabarru’ (pemberian tanpa imbalan), yang meliputi:
a. Baligh.
Menurut ulama Hanafiyah, baligh tidak dimasukkan dalam syarat ‘ariyah
melainkan cukup mumayyiz.
b. Berakal
c. Bukan orang yang boros atau pailit
d. Orang
yang meminjamkan harus pemilik atas barang yang manfaat akan dipinjamkan.
2. Syarat-syarat
orang yang meminjam
Orang yang meminjam harus memenuhi
syarat-syarat berikut:
a. Orang
yang meminjam harus jelas
b. Orang
yang meminjam harus memiliki hak nafkah atau memiliki wali yang memiliki sumber
nafkah.
3. Syarat-syarat
barang yang dipinjam
Barang yang memiliki syarat sebagai berikut:
a. Barang
tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarang maupun nanti.
b. Barang
yang dipinjamkan harus berupa barang yang mubah, yakni barang yang
diperbolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara’ bukan barang yang
diharamkan.
c. Barang
yang dipinjamkan apabila diambil menfaatnya tetap utuh.
4. Syarat-syarat
shighat
Shighat disyaratkan harus menggunakan lafal
yang berisi pemberian izin kepada peminjam untuk memanfaatkan barang yang
dimiliki oleh orang yang meminjamkan.
E. Perubahan
Status
Status amanah pada ‘ariyah dapat berubah
menjadi status tanggungan disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut:
1. Ditelantarkan.
Misalnya menempatkan barang di tempat yang tidak aman
2. Tidak
dijaga dengan baik ketika menggunakan
3. Menggunakan
barang pinjaman secara berlebihan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
menurut kebiasaan
4. Menyalahi
cara menjaga barang yang disepakati. Tidak sesuai pesan dari orang yang
meminjamkan barang tersebut.
III.
Wadi’ah (Titip)
A. Pengertian
Wadi’ah dalam arti bahasa adalah meninggalkan. Sesuatu
yang dititipkan pasti ditinggalkan kepada orang lain. Dalam arti secara istilah
syara’ terdapat beberapa pengertian dari para ulama, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut
ulama Hanafiyah
Wadi’ah menurut syara’ adalah pemberian kuasa oleh
seseorang kepada orang lain untuk menjaga hartanya, baik dengan lafal yang
tegas (sharih) atau lafal uang tersirat (dilalah).
2. Menurut
ulama Malikiyah
Ada dua definisi dari Malikiyah, yaitu:
a. Dalam
arti iidaa’a ada dua defini pula, yaitu
1) Sesungguhnya
wadi’ah adalah suatu ungkapan tentang pemberian kuasa khusus untuk
menjaga harta.
2) Sesungguhnya
wadi’ah adalah suatu ungkapan tentang pemindahan semata-mata menjaga
sesuatu yang dimiliki yang bisa dipindahkan kepada orang yang dititipi
b. Dalam
arti sesuatu yang dititipkan, Malikiyah berpendapat:
Wadi’ah adalah suatu ungkapan (istilah) tentang
sesuatu yang dimiliki yang penjagaannya secara khusus dipindahkan kepada orang
yang dititipi.
3. Menurut
Syafi’iyah
Wadi’ah dengan arti iidaa’a (penitipan) adalah
suatu akad yang menghendaki (bertujuan) untuk menjaga sesuatu yang dititipkan.
4. Menurut
Hanbaliyah
Wadi’ah dalam arti iidaa’i (penitipan) adalah
pemberian khusus untuk menjaga (barang) dengan sukarela.
Dapat disimpulkan dari definisi-definisi
tersebut bahwa wadi’ah adalah suatu akad antara dua orang (pihak) di
mana pihak pertama menyerahkan tugas dan wewenang untuk menjaga barang yang
dimilikinya kepada pihak lain, tanpa imbalan. (Muslich, 2010: 457)
B. Dasar
Hukum
Dasar hukum yang terdapat dalam Al Qur’an
adalah Q.S. Al Baqarah (2): 283, sebagai berikut,
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Baqarah [2]: 283).
Selain di dalam Al Qur’an, dasar hukum wadi’ah
juga terdapat di dalam hadits, sebagai berikut,
Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata, “Rasulullah
S.A.W. bersabda, ‘Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakan
(menitipkan) kepadamu, dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang
menghkhianatimu.’” (H.R.
At Tirmidzi dan Abu Dawud dan ia menghasankannya, dan hadits ini juga
dishahihkan oleh Hakim)
C. Rukun
Menurut Hanafiyah, rukun wadi’ah hanya
ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah ada empat,
yaitu:
1. Benda
yang dititipkan
2. Shighat
3. Orang
yang menitipkan
4. Orang
yang dititipi
D. Syarat
Syarat-syarat wadi’ah berkaitan dengan rukun
wadi’ah itu sendiri, yaitu sebagai
berikut:
1. Syarat-syarat
benda yang dititipkan
Syarat benda yang ingin dititipkan adalah:
a. Benda
yanga ingin dititipkan adalah benda yang dapat disimpan. Demikianlah menurut
ulama-ulama Hanafiyah.
b. Syafi’iyah
dan Hanbaliyah mensyaratkan benda yang dititipkan harus berharga dan bernilai.
2. Syarat-syarat
shighat
Shighat akad adalah ijab dan qobul. Ijab dapat
dilakukan dengan ucapan maupun perbuatan. Contoh ijab dengan ucapan seperti
ini, “Saya titip motor ya.” Sedangkan ijab dengan perbuatan, misalnya
kita memarkir motor di tempat parkir tanpa bilang kepada tukang parkir.
Demikian juga dengan qobul dapat dengan ucapan dan perbuatan.
3. Syarat orang
yang menitipkan
Syarat orang yang menitipkan adalah sebagai
berikut:
a. Berakal
b. Baligh.
Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Sedangkan menurut Hanafiah, baligh
tidak menjadi syarat wadi’ah, sehingga wadi’ah sah bila dilakukan
oleh anak kecil mumayyiz dengan persetujuan walinya. Menurut Malikiyah
syarat orang yang menitipkan yaitu:
1) Baligh
2) Berakal
3) cerdas
4. Syarat
orang yang dititipi
Syarat orang yang dititipi adalah sebagai
berikut:
a. Berakal,
karena harus menjaga baranag titipan.
b. Baligh,
menurut jumhur ulama. Kalau menurut Hanafiyah, baligh tidak menjadi syarat,
namun cukup mumayyiz.
c. Malikiyah
mensyaratkan orang dititipi harus orang yang diduga kuat menjaga barang yang
dititipkan.
E. Perubahan
Status
Perubahan status titipan dari amanah menjadi
tanggungan adalah sebagai berikut:
1. Orang
yang dititipi tidak menjaga barang titipan dengan baik. Apabila barang titipan
tersebut hilang maka wajib menggantinya.
2. Orang
yang dititipi tanpa udzur menitipkan barang titipannya kepada orang lain
yang bukan keluarganya dan diduga kuat tidak mampu menjaga titipan tersebut.
3. Orang
yang dititipi menggunakan barang titipan.
4. Barang
titipan dibawa pergi.
5. Mengingkari
ijab qobul saat barang akan dititipkan. Contohnya Wahid menitipkan buku kepada
Arba’a. Saat Arba’a meminta bukunya kembali Wahid tidak mau mengembalikannya.
Sehingga Wahid wajib mengganti kerugian Arba’a.
6. Bercampurnya
barang titipan dengan barang lain yang sejenis, atau bercampur dengan barang
lain sehingga lupa antara barang titipan dan barang miliknya sendiri.
7. Penyimpangan
oleh orang yang dititipi terhadap syarat-syarat akad dengan orang yang
menitipkan barang dalam hal menjaga barang tersebut. Contohnya, Wahid
menitipkan radio kepada Arba’a dengan permintaan disimpan di lemari. Kemudian
Arba’a menempatkan radio itu ketempat selain lemari. Bila terjadi hal demikian,
para ulama berpendapat sebagai berikut:
a. Menurut
Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, apabila pemindahannya ketempat yang sama
amannya atau bahkan lebih aman maka orang yang dititipi tidak dikenakan ganti
rugi.
b. Menurut
pendapat yang paling kuat di kalangan ulama Hanbaliyah, orang yang dititipi
dikenakan ganti rugi, karena telah melanggar persyaratan yang ditetapkan oleh
pemilik barang tanpa faedah dan maslahat.
PENUTUP
Ijarah, ‘ariyah, dan wadi’ah merupakan
kejadian fiqh yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila syarat
dan rukunnya diperhatikan serta dilakukan dengan baik maka akan membuat nyaman
dan menguntungkan. Baik antara pihak pertama dengan pihak kedua. Ijarah,
‘ariyah, dan wadi’ah merupakan solusi tepat dari Islam untuk
meringankan jalannya kehidupan manusia. Ketiga kejadian fiqh tersebut juga
mengandung pahala dari Allah bila dilaksanakan dengan penuh amanah, begitu pula
sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Drs. H. Ahmad Wardi. 2010. Fiqh
Mu’amalat. Jakarta: Amzah
Al Aziz S, Ust. Drs. Moh.
Saifulloh. 2005. Fiqh Islam lengkap.
Surabaya: Terbit Terang
komen: kemarin waktu diskusi saya baca di ijarah ada upah gitu,,
BalasHapusmenurut hadits di makalah yang saya ingat berikan upah sebelum keringatnya kering,, mungkin upah itu berlaku pada pekerja yang tiap hari bayaran, tapi bagi yang gajiannya bulanan atau mingguan mungkin itu kan keringatnya sudah kering, menurut pendapat bapak bagaimana dan yang dimaksud dengan sebelum keringatnya kering itu bagaimana?
khuzaimah
kelas f
hadis tersebut merupakan suntikan (spirit) moral dari rasul agar orang yang memperkerjakan orang lain tidak terlalu lama menahan hak orang yang telah bekerja. karena dimungkinkan orang tersebut akan sangat membutuhkan upah dari ia bekerja. sementara untuk orang yang bekerja dengan gaji sistem bulanan, tentu tidak harus menuntut dibayar saat ia telah selesai bekerja. karena kontrak awal waktu ia bekerja adalah penggajian bulanan. yang perlu menjadi catatan adalah orang yang mempekerjakan tidak boleh menunda pembayaran gaji, jika waktu pembayaran pada waktu yang telah ditentukan. demikian semoga membantu memberi penjelasan. terima kasih
Hapus