Langsung ke konten utama

BARANG TEMUAN ( LUQATHAH )



Disusun  oleh  Kelompok 6 PAI E:
Afifah Muflihati            111-11-007
Munjiataun                    111-11-192
Muslihatun                     111-11-204

A.    DEFINISI
Luqathah secara terminologi syara’ memiliki beberapa definisi. Sebagaian ulama mengatakan “ luqathah adalah harta yang hilang dari tuannya dan kemudian diketemukan oleh orang lain”. Sementara menurut kitab kifayah al-akhyar mendefinisikan “ iltiqath secara syara’ adalah mengambil harta yang terhormat dari tempat penemuannya agar ia menjaganya atau memilikinya setelah diumumkan”. Jadi luqathah adalah semua barang yang terpelihara dan tidak diketahui pemiliknya.[1]

B.     STATUS HUKUM BARANG TEMUAN ( LUQATHAH )
Mengambil barang temuan pada prinsipnya dibolehkan sesuai dengan beberapa ayat yang memerintahkan kita untuk berbuat baik dan kebajikan sebab mengambil barang temuan tersebut dengan niat menjga dan mengembalikan kepada pemiliknya adalah perbuatan baik, [2]diantaranya firman allah :
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”    { Al-maidah (5) : 2 }.
Adapun dalil dari sunnahnya diantaranya adalah hadits dari zaid bin khalid Al-Juhani bahwasannya nabi pernah menjwab pertanyan tetntang barang temuan : “ Beritahukan soal ikatannya (wika’) dan bungkusnya ( ‘ifash ), dan umumkan selama satu tahun. Jika kamu tidak mengumumkannya, maka biarkan saja ada padamu sebagaia barang titipan dan ika si pemiliknya datang pada suatau hari, maka berikan kepadanya “.
Kaum muslimin juga sudah berijma’ bahwa mengambil barang temuan, secara umumnya boleh. Namun sekarang pertanyaanya adalah apakah hukum mengambil harta barang temuan itu hukumnya mustahab, wajib, atau sesuai kondisi?
Namun pertanyaannya meniscayakan perincian. Mengambil barang temuan bisa menjadi mustahab jika memenuhi syarat-syarat dibawah ini :
                              1.            Orang yang mengambil berstatus merdeka, baliqh, sebab luqathah mengandung makna penguasaan dan orang yang tidak merdeka dan belum baligh bukan yang termasuk yang memiliki kuasa.
                              2.            Hendaklah ia merasa aman dengan dirinya sendiri, jika dia tidak merasa aman dengan dirinya sendiri, maka tidak boleh mengambilnya demi menghindari pengkhianatan.
                              3.            Barang yang diemukan bisa diumumkan, seperti emass, perak, perhiasan, pakaian, dan yang lainnya.
                              4.            Hendaklah tempat dimana dia menemukan barang tersebut bukan milik seseorang dan bukan negeri orang syirik sebab hasil temuan ditempat yang ada pemiliknya menjadi hak milik yang mempunyai tempat pada umumnya dan yang ditemukan di negeri orang syirik adalah ghanimah.
                              5.            Hendaklah barang yang ditemukan bukan berada ditempat yang dilarang seperti kota makkah sebab luqathah mekkah tidak boleh diambil untuk dimiliki, namun untuk dijaga sampai pemiliknya datang.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Mekkah, yaitu tidak halal bagi seorang pun sebelumku dan tidak halal (pula) bagi seorang pun sepeninggalku dan sesungguhnya dihalalkan untukku hanya sesaat di siang hari. Tidak boleh dicabut rumputnya, tidak boleh dipotong pohonnya, tidak boleh membuat lari binatang buruannya, dan tidak boleh (pula) mengamankan barang temuannya kecuali untuk seorang yang akan mengumumkan.”
Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka mengambil barang temuan dengan niat untuk dimiliki itu boleh, artinya mustahab sesuai dengna hadits dari abdullah bin ‘amru al-ash bahwasanya nabi ditanya tentang berang temuan, kemudian nabi menjawab :
“Barang yang ditemukan di jalan yang sering didatangi orang, maka umumkan selama satu tahun dan jika pemiliknya datang, maka berikan dan jika tidak datang, maka ia menjadi milikmu, namun jika ia berada dalam bangunan yang sudah roboh, maka zakatnya adalah zakat rikaz yaitu lima persen”.
Tapi apakah jika berada ditempat yang tidak aman apakah wajib mengambilnya?
Disini para ulama terbelah menjadi dua pendapat :
Pertama, wajib, dan merujuk pada firman allah :
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 crâßDù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# cqßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# cqè?÷sãur no4qx.¨9$# cqãèÏÜãur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷zy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îÍtã ÒOÅ3ym ÇÐÊÈ  
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Artinya sebagaian mereka wajib menolong sebagian yang lain sebagaimana wali anak yatim menjaga harta anak yatim.
Kedua, tidak wajib mengambilnya dan hanya mustahab, sebab mengambil barang temuan merupakan amanah baik dari awal, atau usaha dan pada penghujungnya jika memang dia merasa wajib, takut hilang. Maka pada saat itu menjadi wajib baginyaa untuk mengambilnya, dan jika kita katakan wajib mengambil luqathah lalu dia tidak mengambilnya sehingga barang tersebut rusak, dia tidak mengganti, sebab harta tersebut tidak ada pada tangannya, sama seperti dia melihat harta orang lain tenggelam atau terbakar dan dia bisa menyelamatkannya tetapi dia tidak melakukannya, maka dia tidak wajib menggantinya.
Ketentuan diatas berlaku jika barang temuan berada di tanan tak bertuan, jalan, masjid, perbatasan perang, sekolah, dan tempat-tempat lainnya. Adapun jika barang temuan berada di tanah haram ( luqathah alharam ) maka tidak boleh mengambilnya untuk dimilki, melainkan dia ambil untuk diumumkan kepada pemiliknya.
Barang siapa yang mengambil barang temuan ditanah suci, maka ia harus tinggal di mekkah untuk mengumumkannya, dan jika tidak memungkinkan baginya untuk tinggal disana, maka ia harus menyerahkannya kepada hakim untuk diumumkan sebagai pemberian kepada orang yang soleh.[3]

Barang temuan orang fasiq
Orang fasiq dimakruhkan untuk mengambil barang temuan agar hatinya tidak mengajakknya untuk berbuat khianat. Dan jika dia mengambil barang tersebut untuk dimilki, itu boleh tapi makruh.[4] Dan jika ia mengambilnya untuk dijaga, maka hukumnya haram.
Tapi pendapat yang lebih kuat mengatakan, harta tersebut tidak dirampas namun digabungkan kepada seseorang yang adil agar dia menjadi pengawas.

C.    HUKUM PERSAKSIAN TERHADAP BARANG TEMUAN
Menurut pendapat kami,[5] persaksian terhadap luqathah tidak wajib hanya sekedar sunnah baik diambil untuk dimiliki atau untuk dijaga. Adapun sabda nabi dalam sunnah abi dawud : “ siapa yang menemukan luqathah, maka hendaklah ia meminta saksi dua orang yang adil, tidak boleh menyembunyikan dan menghilang “ maka perintah ini diartikan sebagai anjuran. Dengan begitu, disamping ada persaksian juga disunnahkan untuk menerangkan sesuatu tentang ciri barang tersebut kepada para saksi.
Barang temuan orang yang dicabut haknya ( mahjur )
Jika orang yang dicabut haknya seperti orang idiot, gila, atau karena dibawah umur menemuakan sesuatu, maka ia boleh mengambilnya sebab ia merupakan satu bentuk penghasilan dengan usaha, maka sah dari orang tersebut dicabut haknya, sama seperti hukum berburu. Dan kepada yang menjadi penjaganya (yang mengurusnya) supaya dia mengambil barang tersebut dan mengumumkannya sebab barang temuan tersebut selama dalam tempo pengumuman adalah amanah.

D.    HUKUM MENGUMUMKAN BARANG TEMUAN
Madzhab imam syafii ( pendapat yang rajih atau unggul ) menyatakan bahwa mengumumkan barang temuan itu wajib secara mutlak baik untuk dijaga atau dimiliki. Imam an-nawawi menyatakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah dari madzhab imam syafii.
Jika dia berniat memiliki, maka tidak boleh dimilki kecuali setelah dia umumkan selama satu tahun sesuai dengan hadis zaid bin khalid al-juhani ketika baginda nabi ditanya tentang barang temuan, dan menjawab : “ kenali ikatan dan bungkusnya kemudian umumkan selama satu tahun.”
Beberapa masalah penting yang berkaitan dengan barang temuan :
a.       Seandainya yang menemukan meninggal dunia dalam pertengahan tahun, maka ia dilanjutkan oleh ahli warisnya seperti yang dijelaskan Az-Zarkasyi.
b.      Seandainya yang menemukan dua orang, maka masing-masing mengumumkannya setengah tahun. Sebab kedua masing-masing ada bagiannya dan inilah pendapat yang lebih tepat menurut as-subkhi.
E.     JENIS-JENIS BARANG TEMUAN
Barang temuan ada beberapa jenis, berupa hewan atau yang lainnya. Jika berupa hewan (selain manusia), maka ia bisa dikategorikan antara yang ditemukan di padang sahara atau dipemukiman, sementara jika selain hewan maka ia dikategorikan antara boleh dimakan dan tidak boleh dimakan. Inilah empat jenis tersebut:
1.      Hewan di padang sahara
Jika seekor hewan di temuakan dipadang sahara, maka ia harus dipilah lagi menjadi dua kategori :
Kategori pertama:
Hewan yang bisa menjaga dirinya sendiri, dengan cara mencari air dan rumput, menjaga diirinya sendiri dari gangguan binatang buas baik karena tenaganya seperti unta, sapi, keledai, atau karena cepatnya lari seperti kijang, kelinci, burung. Jenis-jenis ini tidak boleh diambil oleh si penemunya jika dia tidak mengetahui pemiliknya sesuai dengan hadis nabi : “apa urusanmu dengannya, dia ada kaki, yang menyelamatkanyya dari terjatuh, dan bisa berjalan sampai ketempat rumput tanpa harus ada orang yang menyuguhkannya dan dia ada bekal air.” Ini merupakan isyarat dari nabi bahwa unta panjang leher sehingga bisa mengambil air dengan lehernya yang panjang dan tidak perlu ada yang membantunya. Oleh sebab itu rasul bersabda: “ dia akan mendatangi air, memakan dedaunan atau pepohonan, sampai pemilikna datang” alasan lain dia bisa menjaga dirinya sendiri sehingga tidak harus diambil dengan segera oleh sipemiliknya.
Kategori kedua :
Hewan yang tidak bisa membela dirinya sendiri dan tidak bisa sampai ketempat air dan rumput seperti kambing dan ayam, untuk ini boleh boleh dimakan dan tanpa diumumkan baik dia orang kaya atau miskin namun jika pemiliknya kelak datang, dia wajib menggantinya.[6]
2.      Hewan yang ditemukan didaerah pemukiman
Entah itu desa, kampung, kota, atau tempat yang dekat dari tempatnya tinggal. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dikalangan internal madzhab syafii menjadi dua pendapat :
Pertama :
Imam syafii dalam versi yang dinukilkan al-Umm mengatakan bahwa jika ditemukan diperkampungan atau kota, maka ia adalah barang temuan yang boleh diambil dan wajib diumumkan selama satu tahun
Kedua :
Dia termasuk barang temuan dan boleh diambil jika berupa kambing dan unta, serta wajib diumumkan selama satu tahun sama dengan semua barang temuan.
Dan apabila dia menemukan hewan yang bisa menjaga dirinya sendiri pada zaman perampokan dan kerusakan, maka ia boleh mengambilnya untuk dimiliki secara pasti baik di perkotaan maupun pedesaan.
3.      Barang temuan yang tidak bisa dimakan
Seperti uang dan yang lainnya, maka inilah yang kita jelaskan untuk tetap diumumkan selama satu tahun.
4.      Barang temuan yang bisa dimakan
Pertama : jika berupa barang yang cepat rusak, seperti makanan, daging bakar, semangka, kurma basah, dan sayuran, maka penemunya boleh memilih antara memakannya, atau menjuaal lalu menyimpan uangnya(dan menyerahkannya kepada pemiliknya). Ini pendapat yang shahih : jika dia sampai memkannya, maka dia harus mengganti harganya, lalu diumumkan selama satu tahu, kemudian mengelolanya, sebab nilai barang sama dengan barang itu sendiri.
Kedua : barang yang ditemukan termasuk barang yang tidak mudah rusak dan bisa diolah seperti anggur bisa diolah menjadi kismis dll. Maka disini yang menjadi ukuran adalah kemaslahatannya si pemilik. Jika memang menjualnya lebih bermaslahat, maka ia boleh menjualnya.


F.     SIAPA YANG HALAL MEMAKAN HARTA TEMUAN
Imam syafii :
“ boleh memakan barang temuan orang kaya, miskin, dan siapa yang halal atau haram baginya zakat, setelah mengumumkan selama satu tahun,” dalilnya umumnya hadis nabi : jika datang pemiliknya ( maka berikan ) jika tidak, maka terserah kepadamu.
Abu hanifah :
“ dia boleh memakannya jika orang miskin dan tidak boleh memilikinya jika orang kaya”.
Kalangan ulama madzhab syafii”:
“ orang kafir dzimmi tidak memiliki hak terhadap barang temuan, dia dilarang mengambil dan memilikinya sebab dia bukan orang yang berhak untuk mengumumkannya. Sebab dia tidak ada kuasa terhadap orang islam.



[1] Fathul qorib jilid 1 imron abu umar hlm. 257

[2] Abdul azizi muhammad azzam, Fiqh muamalat sistem transaksi dalam fiqh islam hlm 270
[3] Imam hasan al-banna, FIQH SUNNAH , hlm 258
[4] Diambil dari madzhab imam syafii
[5] Abdul azizi muhammad azzam, Fiqh muamalat sistem transaksi dalam fiqh islam hlm 275
[6] Pendapat imam syafii dan abu hanifah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.