Oleh: Khosidatul Hikmah (11-111-061), Khusnul Afifah (11-111-199), Muh Azim Asror (11111077), Nur Rochim(11111137)
PAI Kelas E
Bila dilihat
dari realita yang ada, rasanya mustahil manusia bisa hidup berkecukupan tanpa
hidup berijarah (sewa-menyewa) dengan manusia lain. Karena itu, boleh dikatakan
bahwa pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu bentuk aktifitas antara dua
pihak yang berakad guna meringankan salah satu pihak atau saling meringankan,
serta termasuk salah satu bentuk tolong-menolong yang diajarkan agama dan
ijarah merupakan salah satu jalan untuk
memenuhi hajat manusia. Untuk itu merupakan suatu ilmu yang sangat bermanfaat
apabila pembahasan dalam makalah ini benar-benar bisa kita kaji dan pahami
untuk menambah pengetahuan dan wawasan
kita semua.
Salah satu
bentuk muamalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sewa menyewa. Sewa
menyewa menjadi praktek muamalah yang masih banyak kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari hingga saat ini. Untuk itu, sangat penting untuk membahas secara
rinci tentang pengertian, hukum, dasar hukum, rukun, syarat, serta hal-hal yang
diperdebatkan oleh ulama tentang sewa menyewa agar manusia menjadi semakin
mantap dengan akad sewa menyewa yang sering dilakukan dalam kehidupannya.
1. Pengertian
Ijarah dan Dasar Hukum
Sewa menyewa atau dalam
bahasa arab ijarah berasal dari kata اجر yang sinonimnya:
a. اكريyang artinya : menyewakan, seperti dalam
kalimatاجر الشى
(menyewakan sesuatu)
b. اعطاه اجراYang artinya : ia memberikan
upah, seperti dalam kalimat اجر فلا نا علي
كذا( ia memberikan kepada si fulan upah sekian )
c. اثا به Yang artinya : memberikan pahala, seperti dalam
kalimat الله
عبد هاجر ( Allah memberikan pahala
kepada hamba-Nya[1]
Sedangkan menurut istilah,
para ulama berbeda- beda mendefinisikan kata ijarah, antaralain sebagai
berikut:
1. Menurut
hanafiyah bahwaijarah adalah
عقد يفيد تمليك
منفعة معلو مة مقصو دة من العين المستا جز ة بغو ض
“ akad
untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat
yang disewa dengan imbalan”
2. Menurut
malikiyah bahwa ijarah adalah
تسسمية التعا قد
على منفعة الا دمى و بعض المنقو لا ن
“ Nama bagi akad – akad untuk kemanfaatan yang bersifat
manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan”[2]
3. Menurut
syaikh syihab al- din dan syaikh umairah dahwa yang dimaksud ijarah adalah
عقد على منفعة
معلو مة مقصو د ة قا بلة للبذ ل والا با
حة بعو ض و ضعا
“Akad atas
manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan menbolehkan dengan imbalan yang diketahui
ketika itu”
4. Menurut
muhammad al syarbini al khatib bahwa yang dimaksud ijarah adalah
تمليك منقة بغو ض
بشر و ط
“
pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat – syarat”.[3]
Menurut
hukum islam sewa- menyewa itu diartikan sebagai suatu jenis akad untuk
mengembalikan manfaat dengan jalan penggantian. Jadi yang dimaksud sewa –
menyewa adalah pengambilan manfaat suatu benda, jadi dalam hal ini bendanya
tidak berkurang sama sekali, dengan kata lain dengan adanya sewa – menyewa,
yang berpindah hanyalah manfaatnya dari benda yang disewakan tersebut.[4]
Adapundasar
hukum tentang masalah sewa – menyawa adalah terdapat dalam
a. surat Al- Qashash ayat 28:
“ Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya".
b. Surat At – thalaq ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن
وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ
فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ
لَهُ أُخْرَى ﴿٦﴾
“
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka
upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya”.
احتجم واعط الحجا
م اجر ه
“ berbekamlah
kamu, kemudian berikanlah olehnya upahmu kepada tukang bekam itu” (H.R.Bukhari
Muslim )
2. Rukun
ijarah dan syarat – syaratnya
Menurut hanafiah, rukun
ijarah hanya satu yaitu ijab dan qobul, yakni pernyataan dari orang yang
menyewa dan menyawakan. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada empat,
yaitu:
a. Aqid,
yaitu mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً ﴿٢٩﴾
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
Bagi orang yang bertekad ijarah juga
disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga
mencegah perselisihan.
b. Shighat,
yaitu ijab dan qobul
c. Ujrah
(uang sewa atau upah)
d. Manfaat,
baik manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa tenaga dari orang yang
bekerja[5]
Syarat – syarat ijarah juga
terdiri empat yaitu
a. Syarat terjadinya
akad
Syarat yang berkaitan dengan
akad adalah berakal, mumayyiz, dan baligh. Jadi tidak sah apabila pelakunya
orang gila ataupun masih dibawah umur.menurut malikiyah, tamyiz merupakan sarat
dalam sewa menyewa dan jual beli, sedangkan baligh merupakan syarat untuk
kelangsungan. Dengan demikian, apabila anak yang mumayyizmenyewakan dirinya
atau barang yang dimilikinya maka hukumnya sah, tapi untuk kelangsungannya
menunggu izin walinya.
b. Syarat
kelangsungan akad (nafadz)
Si pelaku sewa harus mempunyai
hak kepemilikan terhadap barang yang akan disewakan.[6]
c. Syarat
syahnya ijarah
a. Masing
–masing pihak rela untuk melakukan perjanjian sewa menyewa, maksudnya kalau
dalam perjanjian ada unsur pemaksaan maka tidak sah. Seperti dalam firman Allah
( an-nisa ayat 29 )
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
﴿٢٩﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
b. Harus
jelas dan terang mengenai objek yang diperjanjikan, yaitu barang yang
dipersewakan disaksikan sendiri, termasuk juga masa sewa dan besarnya uang sewa
yang dijanjikan.
c. Obyek
sewa – menyewa dapat digunakan sesuai peruntuknya. maksudnya kegunaan barang
yang disewakan harus jelas, dan dapat dimanfaatkan oleh penyewa sesuai dengan
peruntukan barang tersebut.
d. Obyek
sewa – menyawa dapat diserahkan, maksudnya barang yang diserahkan sesuai dengan
perjanjian yang dulu pernah disepakati
e. Kemanfaatan
obyek yang dijanjikan adalah yang dibolehkan dalam agama. Perjanjian sewa –
menyewa barang yang kemanfaatannya tidak dibolehkan oleh ketentuan hukum agama
adalah tidak sah dan wajib ditinggalkan. Misalnya menyewa rumah untuk kegiatan
prostitusi.
f.
Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat
dari pekerjaannya untuk dirinya sendiri. Apabila ia memanfaatkan pekerjaan
untuk dirinyamaka ijarah tidak sah. [7]
d. Syarat
mengikat akad ijarah
Agar syarat ijarah itu
mengikat, diperlukan dua syarat,
a.
Benda yang disewakan harus terhindar dari
cacatyang menyebabkan terhalangnya pemanfaatan atas benda yang disewa itu.
Apabila terdapat kecacatan maka penyewa boleh membatalkan atau meneruskan
ijarah.
b.
Tidak terdapat uzur (alasan) yang dapat
membatalkan akad ijarah. Apabila ada uzur baik pada pelaku maupun pada ma’qud
‘alaih, maka pelaku berhak membatalkan akad.
3. Macam – macam Ijarah dan Hukumnya
1. Ijarah
atas manfaat, disebut juga sewa- menyewa. Dalam ijarah obyek akadnya adalah
manfaat dari suatu benda.
2. Ijarah
atas pekerjaan, disebut juga upah mengupah. Dalam ijarah bagian kedua ini,
objek attkadnya
adalah amal dan pekerjaan seseorang.
a. Cara
menetapkan hukum ijarah
Menurut hanafiyah dan malikiyah, ketetapan
hukum akad ijarah berlaku sedikit demi sedikit, sesuai dengan timbulnya obyek
akad atau manfaat. Hal itu karena manfaat dari suatu benda yang disewa tidak
bisa terpenuhi sekaligus namun harus bertahap. akan tetapi menurut syafi’iyah
dan hanabilah, ketetapan hukum akad ijarah itu berlaku secara kontan sehinga
masa sewanya dianggap seperti benda yang tampak.
Sebagai akibat dari perbedaan tersebut, timbul
perbedaan antara mereka dalam masalah berikutnya
1. Hubungan
antara uang sewa dengan akad
Menurut syafi’yah dan hanabilah, uang sewa
dapat dimiliki semata –mata telah dilakukannya akad, karena ijarah adalah
mu’awadhoh yang apabila tidak dikaitkan dengan syarat maka otomatis menimbulkan
hak milik atas kedua imbalan begitu akad selesai.
Menurut hanafiya dan malikiyah, uang sewa tidak
hanya dimiliki hanya semata- mata karena akad saja melainkan diperoleh sedikit
demi sedikit sesuai dengan manfaat yang diteria. Dengan dremikian orang yang
menyewakan tidak bisa meminta uang sewa secara sekaligus melainkan secara
berangsur.
2. Penyerahan
barang yang disewakan setelah akad
Menurut hanafiyah dan malikiyah, mu’jir
diwajibkan untuk menyerahkan barang yang disewakan kepada musta’jir setelah
dilakukannya akad, dan tidak boleh menahannya dengan tujuan untuk memperoleh
pembayaran uang sewa. Menurut mereka upah itu tidak wajib dibayar hanya semata
– mata karena akad, melainkan karena
diterimanya manfaat, sedangkan pada waktu akad manfaat itu belum ada.
3. Ijarah
dikaitkan dengan masa yang akan datang
Menurut hanafiyah, malikiyah, dan hanabilah,
ijarah boleh disandarkan kepada masa yang akan datang. Misalnya kata orang yang
menyewakan “ saya sewaakan rumah ini kepada anda selama satu tahun dimulai
bulan januari 2003” sedangkan akad dilakukan pada bulan november 2002. Hal ini
dikarenakan akad ijarah itu berlaku sedikit demi sedikit, sesuai dengan
manfaatmya. Akan tetapi menurut syafi’iyah, ijarah tidak boleh disandarkan
kepada hal yang disandarkan dalam masa depan. Dengan demikian, objek akad yang
berupa manfaat itu seolah – olah benda berdiri sendiri, dan menyandarkan jual
beli kepada sesuatu yang belum ada hukumnya tidak sah.
b. Cara
Memanfaatkan barang sewaan
1. Sewa
menyewa rumah, toko dan semacamnya
Sewa- menyawa rumah adalah untuk dipergunaka
sebagai tempat tinggal oleh penyawa, atau penyewa menyuruh orang lain untuk
menempatinya dengan cara meminjamkan atau menyewakan kembali.
Hal ini diperbolehkan dengan syarat pihak
penyewa tidak merusak bangunan yang disewanya selain itu pihak penyewa
mempunyai kewajiban untuk memelihara rumah tersebut untuk tetap dapat dihuni.
Hanya saja ia tidak boleh menempatkan barang – barang yang nantinya akan
membebani bangunan yang disewanya.
2. Sewa –
menyewa tanah
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam
penyewaan tanah adalah
Untuk
apakah tanah itu digunakan, sebab apabila digunakan untuk lahan pertanian, maka
harus diterangkan dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang akan ditanam, sebab jenis tanaman berpengaruh
terhadap jangka waktu menyewanya, dan dengan sendirinya berpengaruh pula
terhadap jumlah uang sewanya.
Apabila
dalam menyewanya tidak dijelaskan untuk apa tanah tersebut, maka sewa yang
diadakan dinyatakan batal, sebab
kegunaan tanah sangat beragam. Dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik dengan penyewa
dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan.
3. Sewa
kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan maupun
kendaraan lainnya, harus dijelaskan salah satu dari dua hal yaitu waktu dan
tempat. Dengan demikian barang yang akan dibawa, dan benda atau orang yang akan
diangkut harus dijelaskan, karena semuanya akan berpengaruh pada kondisi
kendaraannya.
c. Memperbaiki
barang sewaan
Menurut hanafiah apabila
barang yang disewakan mengalami kerusakan maka yang berhak memperbaiki adalah
pemiliknya. Hal ini karena barang yang yang disewakan adalah milik mu’jir, dan
yang harus bertanggung jawab adalah mu’jir. Apabila penyewa melakukan perbaikan
tanpa pengetahuan mu’jir maka hal ini diangap sebagai sukarela, dan tidak bisa
menuntut ganti rugi.
Jadi apabila terjadi
kerusakan terhadap barang yang menjadi objek penyajian sewa – menyewa, maka
tanggung jawab pemiliklah sepenuhnya, kecuali apabila kerusakan itu dilakukan
dengan cara disengaja, atau kurang perawatan terhadap pemakaian barang maka itu
merupakan tanggung jawab penyewa.
3. Hukum
ijarah atas pekerjaan ( upah – mengupah
)
Orang yang melakukan pekerjaan disebut ajir
atau tenaga kerja
Ajir atau tenaga kerja dibagi menjadi dua macam
a. Ajir (
tenaga kerja ) khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa
tertentu. Contohnya : pembantu rumah tangga
b. Ajir (
tenaga kerja )musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang,
sehingga mereka bersekutu dalam memanfaatkan tenaganya. Contohnya: tukang
jahit, notaris,dan pengacara. Hukumnya adalah boleh karena bekerja untuk semua
orang[8]
4. Upah
dalam pekerjaan ibadah
Upah dalam perbuatan seperti ibadah shalat,
puasa dan haji dan menbaca al –quran diperdebatkan oleh para ulama
Sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajarkan
al – quran dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekadar untuk memenuhi
keperluan hidup, walaupun mengajar itu memang kewajiban mereka. Kata Muhammad
Rasyid Riqa “ Saya mendengar dari Syekh
Muhammad abduh, Beliau mengatakan “ guru – guru yang mendapat ngaji dari wakaf,
hendaklah mereka ambil gaji itu, kalau mereka membutuhkan, dengan tidaksengaja
sebagai upah. Dengan cara demikian mereka akan mendapat ganjaran jugadari Allah
sebagai penyiar agama.[9]
Mazhab hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan
taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca Al –
Quran yang pahalamya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti arwah ibu bapak
yang menyewa, azan, iqomah, dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah
dari perbuatan tersebut karena Rosulullah bersabda:
ا قر عو القر ا ن
و لا نا كلو ا به
“ Bacalah
olehmu Al – quran dan jangan kamu makan dengan jalan itu”
Perbuatan seperti azan, qomat, shalat, haji, puasa, membaca Al –
quran, dan zikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenamya
tidak boleh mengambil upah itu selain dari Allah.
Menurut mazhab hambali bahwa pengambilan upah dari
pekerjaan azan, iqamat, mengajarkan al-quran, fiqh, haji, hadist tidak boleh
karena pekerjaan itu termasuk taqorrub. Namun,boleh mengambilmya jika termasuk
maslahih,seperti mengajarkan al-quran.
Mazhab maliki,
syafi’I, dan ibnu hazm mmembolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan
al-quran dan pengajaran ilmu, baik secaca bulanan, maupun sekaligus nash yang
melarang tidak ada.
Abu
hanifah dan ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat al- quran dan
mengajarkannya bila kaitan pembaca dan pengajaran dengan taat atau ibadah,
sementara maliki boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran al-
quran, adzan, dan badal haji.[10]
5. Tanggung
jawab ajir dan gugurnya
upah karena rusaknya barang
.
a. Tanggung
jawab ajir
Para
ulama mazhab sepakat tidak membebani dengan kerugian karena kerusakan barang
yang diserahkan padanya yang berkaitan dengan pekerjaannya menurut imam abu hanifah,
zufar ,hasan bin zaiyyad, hanabilah dan safi’i dalam qoul yang shoheh ajir
musytarak sama dengan ajir khas .
b.. Perubahan dari amanah menjadi Tanggung jawab
Sesuatu
yang berada dalam tangan ajir , seperti kain pada seorang penjahid , menurut
hanafiah dan ulama’ yang sependapat dengan beliau , merupakan amanah di tangan
ajir . akan tetapi amanah tersebut berubah menjadi tanggung jawab ( dhamah)
apabila terjadi hal hal berikut .
a.
Ajir
tidak menjaga barang tersebut dengan baik
b.
Ajir
melakukan perbuatan yang merusak barang dengan sengaja
c.
Musta’jir
menyalahi syarat syarat mu’jir yakni musta’jir melayani pesanan mu’jir baik
dalam jenis barang ,kadar sifatnya tempat dan waktunya
6.
Gugurnya
upah karena rusaknya barang
A. Apabila barang ada di tangan ajir maka
terdapat dua kemungkinan
1. Apabila
pekerjaan ajir sudah kelihatan hasilnya atau bekasnya pada barang , seperti
jahitan maka upah harus diberikan dengan diserahkan
hasil perkejaan yang dipesan
2.
Apabila
pekerjaan ajir idak kelihatan bekasnya pada barang seperti mengangkut barang ,maka
upah harus diberikan saat pekerjaannya telah selesai
B. Apabila
barang ada di tangan mustanjir dimana ia bekerja di tempat penyewaan (mustanjir)
,maka ia ajir berhak menerima upah setelah menyelesaikan pekerjaannya
Apabila
pekerjaannya tidak selesai seluruhnya melainkan hanya sebagian saja maka ia
berhak menerima upah sesuai dengan kadar pekerjaannya yang telah diselesaikan.[11]
7.
menyewakan barang sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan pada
orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang di
janjikan ketika akad
Contoh :
Penyetoran seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu di sewa untuk
membajak sawah, kemudian kerbau itu disewa kan lagi dan timbul musta’jir ke dua
, maka kerbau itupun harus digunakan untuk membajak pula
Bila ada
ada kerusakan benda yang disewa , maka yang yang bertanggung jawab adalah
pemilik barang dengan syarat kecelakkaan itu bukan akibat dari kelalaian
penyewa. Bila kecelakaan benda yang disewa itu kelalaian penyewa maka yang
bertanggung jawab adalah itu sendiri.[12]
7 .Pembatalan dan berahirnya sewa
menyewa
Pada dasarnya
perjanjian sewa menyewa adalah merupakan perjanjian yang lazim dimana masing
masing pihak yang terikat dalam perjanjian itu tidak mempunyai hak untuk
membatalkan perjanjian karena jenis perjanjian termasuk pda perjan jian timbal
balik . bahlan jikapun salah satu pihak meninggal dunia , perjanjian sewa
tidakakan menjadi batal, asalkan yang menjadi objek perjanjian masih tetap ada,
Adapun
hal hal yang yng menyebabkan batalnya perjanjian sewa menyewa adalah disebabkan
hal hal sebai berikut
1.
tejadinya
aib pada barang sewaan.
Maksudnya pada baranga yang menjadi objek
perjanjian objek sewa menyewa terdapat kerusan ketik sedang berada ditangan
pihak menyewa ,yang mana kerusakan itu adlah diakibatkan kelalaian pihak
penyewa itu sendiri. Dalam hal seperti ini pihak yang menyawa dapat memintakan
pembatalan
2.
Rusaknya barang yang disewakan
Maksudnya barany
yang menjadi objek perjanjian sewa menyewa mengalami kerusakan atau musnah sama
sekaali sehingga tidak dapat dipergunakan lagi sesuai apa yng diperjanjikan.[13]
3.
Rusaknya
barang yang di upahkan
Maksudnya barang yang menjadi sebab terjadiny
hubungan sewa menyewa mengalami kerusakan , sebab dengan rusaknya barang yang
menyebabkan perjanjian maka akad tidak akan terpenuhi lagi
4.
Terpenuhinya manfaat yang di akadkan
Maksudnya bahwa apa yang menjadi tujuan
perjanjian sewa menyewa telah tercapai , atau masa perjanjian sewa telah
berahir sesuai dengan ketentuan yang disepakati kedua pihak
5.
Adanya
uzur
Penganut mazhab hanafi menambhkan adanya uzur
juga merupakan salah satu penyebab putus atau berahirnya perjanjiana sewa
menyewa ,sekalipun uzur tersebut datangnya dari saah satupihak.adapun yng
dimaksud dengan udur disini adalah suatu halangan sehingga prrjanjian tidak
mungkin dapat terlaksana sebadai mana mestinya
Misalnya : seorang yang menyeawa toko untuk berdagang ,
kemudian barang dagangan nya musnah terbakar maka pihak penyewa berhak
membatalkan perjanjian sewa menyewa tiko yang telah di adalan sebalumnya,
8.
Pengembalian
objek sewa menyewa
Apabila masa yang ditetapkan dalam perjanjian
telah berakhir, maka pihak penyewa mempunyai kewajiban untuk mengembalikan
barang yang disewakan kepada pihak pemilik semula[14]
Adapun ketentuan pengembalian objek
sewa- menyewa adalah sebagai berikut
1.
Apabila
barang yang menjadi objek perjanjian merupakan barang yang bergerak, maka pihak
penyewa harus mengembalikan barang tersebut kepada pemilik, yaitu dengan cara
menyerahkan langsung bendanya
2.
Apabila
objek sewa- menyewa diaktualisasikan benda yang tidak bergerak, maka pihak
penyewa berhak mengembalikan kepada pemilik dengan keadaan kosong, maksudnya
tidak ada harta pihak penyewa didalamnya
3.
Jika
yang menjadi objek sewa – menyewa adalah barang yang berwujud tanah, maka pihak
penyewa wajib menyerahkan kepada pemilik dalam keadaan tidak ada tanaman
penyewa diatasnya
Dapat ditambahkkan bahwa menurut mazhab hambali manakala
ijarah telah berakhir, penyewa harus mengangkat tangannya, dan tidak ada
kemestian untuk mengembalikan, seperti barang titipan, karena ia merupakan akad
yang tidak menuntut jaminan, sehinggga tidak mesti mengembalikan.
I KESIMPULAN
1.
sewa- menyewa itu diartikan sebagai suatu jenis
akad untuk mengembalikan manfaat dengan jalan penggantian.
2.
Rukun ijarah dan syarat – syaratnya
Menurut
hanafiah, rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qobul, yakni pernyataan dari
orang yang menyewa dan menyawakan. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun ijarah
ada empat, yaitu:
a. Aqid,
yaitu mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa)
b. Shighat,
yaitu ijab dan qobul
c. Ujrah
(uang sewa atau upah)
d. Manfaat,
baik manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa tenaga dari orang yang
bekerja.
Syarat –
syarat ijarah juga terdiri empat yaitu
a. Syarat terjadinya
akad
b. Syarat
kelangsungan akad (nafadz)
c. Syarat
syahnya ijarah
d. Syarat
mengikat akad ijarah
3.
Macam – macam Ijarah dan Hukumnya
a. Ijarah
atas manfaat, disebut juga sewa- menyewa. Dalam ijarah obyek akadnya adalah
manfaat dari suatu benda.
b.
Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah
mengupah.
4.
hal hal
yang yng menyebabkan batalnya perjanjian sewa menyewa adalah disebabkan hal hal
sebai berikut
a.
tejadinya
aib pada barang sewaan.
b.
Rusaknya
barang yang disewakan
c.
Rusaknya
barang yang di upahkan
d.
Terpenuhinya manfaat yang di akadkan
e.
Adanya
uzur
II KRITIK DAN SARAN
Makalah ini dibuat tentunya masih
banyak kekurangan baik yang disengaja maupun tidak disengaja, kritik dan saran
yang membangun sangat kami butuhkan.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Suhendi,
Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
·
Wardi,
Ahmad Muslich. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Sinar Grafika Offset
·
Pasaribu,
Chairuman,dkk. 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar
Grafika
·
Rasyid,
Sulaiman. 2005. Fiqh Sunnah. Jakarta: Sinar Baru Algensindo.
[1] Ahmad Wardi muslich, Fiqih Muamalat,
sinar grafika offset, Jakarta, Cet.1, 2010, hal. 315.
[2] Hendi suhendi, Fiqih Muamalah,
raja Grafindo persada, jakarta, Cet. 1, 2010, hal.114.
[3] Ibid, Hal 114 – 115.
[4] Sulaiman Rasyid, Fiqh Sunnah, Sinar
Baru Algensindo, Bandung, Cet. 38, 2005, Hal.303.
[5]
Ahmad Wardi muslich, op.cit, hal.321
[6] Ibid, hal.321-322
[7] Chairuman pasaribu dan Syhrawardi K.
Lubis, Hukum perjanjian dalam islam, Sinar Grafika, cet. 1, 1994, Hal.
53-54
[8] Ahmad Wardi muslich, op.cit,
hal. 329-334
[9] Sulaiman Rasyid, op.cit, hal.305
[10] Hendi suhendi,op.cit, hal.
118-120
[13] Chairuman pasaribu dan Syhrawardi K.
Lubis, Hukum perjanjian dalam islam, Sinar Grafika, cet. 1, 1994. Hal 56-57
apakah perbedaan dari ijarah dan ju'alah
BalasHapusafifah muflihati
111-11-007
PAI E