Oleh:
Ana Fista, Siti Nur Tyasmoro, Danang
Jatmiko, Wildan Bahrian
1.
Pengertian
Al-Qur`an
Secara
etimologis, Al-Qur`an adalah bentuk dari mashdar, dari
kata qa-ra-a, artinya: bacaan, berbicara
tentang apa yang tertulis, melihat dan
menelaah. Kata “Qur`an” digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Arti Al-Qur`an secara terminologis
ditemukan dalam beberapa rumusan definisi sebagai
berikut:
1. Menurut Syaltut,
Al-Qur`an adalah: Lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
2. Al-Syaukani
mengartikan Al-Qur`an: Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir.
3. Definisi Al-Qur`an
yang dikemukakan Abu Zahrah ialah: Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
4. Menurut Al
Sarkhisi: Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf diturunkan
dengan huruf yang tujuh yang mansyur dan dinukilkan secara mutawatir.
5. Al-Amidi memberikan
ta`aruf Al-Qur`an: Al-kitab Al-Qur`n yang diturunkan.
6. Ibn Subkhi
mendefinisikan: Lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung
mu`jizat setiap suratnya.
2.
Pengertian Sumber
dan Dalil
Secara etimologi (
bahasa) sumber berarti asal dari segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu.
Adapun secara terminologi ( istilah ) dalam ilmu ushul, sumber diartikan
sebagai rujukan yang pokok atau utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu
berupa Alquran dan Al-Sunnah.
Dalil, secara bahasa artinya petunjuk pada sesuatu baik
yang bersifat material maupun yang bersifat nonmaterial. Sedangkan menurut
Istilah, suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam
memperoleh hukum syara' yang bersifat praktis, baik yang kedudukannya qath'i (
pasti ) atau Dhani (relatif). Atau dengan kata lain, dalil adalah segala
sesuatu yang menunjukan kepada madlul. Madlul itu adalah hukum syara' yang
amaliyah dari dalil. Untuk samapai kepada madlul memerlukan pemahaman atau tanda
penunjuknya ( dalalah ).
A. Dalil ditinjau dari segi asalnya
Ditinjau dari asalnya, dalil ada dua macam:
1) Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang berasal dari nash langsung, yaitu Alquran dan alSunnah.
2) Dalil aqli, yaitu dalil - dalil yang berasal bukan dari nash langsung, akan tetapi dengan menggunakan akal pikiran, yaitu Ijtihad.
Bila direnungkan, dalam fiqih dalil akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Alquran dan al-Sunnah, tetapi prinsif-prinsif umumnya terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah.
B. Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya
Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya ada dua macam, yaitu:
1. Dalil Kully yaitu dalil yang mencakup banyak satuan hukum. Dalil Kulli ini adakalaya berupa ayat Alquran, dan berupa hadits, juga adakalanya berupa Qaidahqaidah Kully.
Dalil ini disebut dalil kully dari Alquran karena mencakup berbagai macam kerusakan yang dilarang oleh Allah SWT.
2. Dalil Juz'i, atau Tafsili yaitu dalil yang menunjukan kepada satu persoalan dan satu hukum tertentu.
A. Dalil ditinjau dari segi asalnya
Ditinjau dari asalnya, dalil ada dua macam:
1) Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang berasal dari nash langsung, yaitu Alquran dan alSunnah.
2) Dalil aqli, yaitu dalil - dalil yang berasal bukan dari nash langsung, akan tetapi dengan menggunakan akal pikiran, yaitu Ijtihad.
Bila direnungkan, dalam fiqih dalil akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Alquran dan al-Sunnah, tetapi prinsif-prinsif umumnya terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah.
B. Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya
Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya ada dua macam, yaitu:
1. Dalil Kully yaitu dalil yang mencakup banyak satuan hukum. Dalil Kulli ini adakalaya berupa ayat Alquran, dan berupa hadits, juga adakalanya berupa Qaidahqaidah Kully.
Dalil ini disebut dalil kully dari Alquran karena mencakup berbagai macam kerusakan yang dilarang oleh Allah SWT.
2. Dalil Juz'i, atau Tafsili yaitu dalil yang menunjukan kepada satu persoalan dan satu hukum tertentu.
C. Dalil ditinjau dari daya kekuatannya
Dalil ditinjau dari daya kekuatannya ada dua, yaitu Dalil Qath'i dan dalil Dhanni.
1. Dalil Qath'i,
Dalil Qath'i ini terbagi kepada dua macam, yaitu :
a. Dalil Qath'i al-Wurud, yaitu dalil yang meyakinkan bahwa datangnya dari Allah (Alquran) atau dari Rasulullah (Hadits Mutawatir). Alquran seluruhnya Qath'i wurudnya, dan tidak semua hadits qath'i wurudnya.
b. Dalil Qath'i Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya menunjukan arti dan maksud tertentu dengan tegas dan jelas sehingga tidak mungkin dipahamkan lain.
2. Dalil Dhanni.
Dalil Dhanni, terbagi kepada dua macam pula yaitu: Dhanni al-Wurud dan Dhanni al-Dalalah.
a. Dhanni al-Wurud, yaitu dalil yang memberi kesan yang kuat atau sangkaan yang kuat bahwa datangnya dari Nabi SAW. Tidak ada ayat Alquran yang dhanni wurud, adapun hadits ada yang dhanni wurudnya yaitu hadits ahad.
b. Dhanni al-Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya memberi kemungkinan - kemungkinan arti dan maksud lebih dari satu. Tidak menunjukan kepada satu arti dan maksud tertentu.
Dalil ditinjau dari daya kekuatannya ada dua, yaitu Dalil Qath'i dan dalil Dhanni.
1. Dalil Qath'i,
Dalil Qath'i ini terbagi kepada dua macam, yaitu :
a. Dalil Qath'i al-Wurud, yaitu dalil yang meyakinkan bahwa datangnya dari Allah (Alquran) atau dari Rasulullah (Hadits Mutawatir). Alquran seluruhnya Qath'i wurudnya, dan tidak semua hadits qath'i wurudnya.
b. Dalil Qath'i Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya menunjukan arti dan maksud tertentu dengan tegas dan jelas sehingga tidak mungkin dipahamkan lain.
2. Dalil Dhanni.
Dalil Dhanni, terbagi kepada dua macam pula yaitu: Dhanni al-Wurud dan Dhanni al-Dalalah.
a. Dhanni al-Wurud, yaitu dalil yang memberi kesan yang kuat atau sangkaan yang kuat bahwa datangnya dari Nabi SAW. Tidak ada ayat Alquran yang dhanni wurud, adapun hadits ada yang dhanni wurudnya yaitu hadits ahad.
b. Dhanni al-Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya memberi kemungkinan - kemungkinan arti dan maksud lebih dari satu. Tidak menunjukan kepada satu arti dan maksud tertentu.
Dari pengertian
dalil yang diungkapkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa; Alquran dan
al-Sunnah juga disebut sebagai dalil hukum, disamping sebagai sumber hukum
Islam. Karena itu dari sisi ini, apa yang dikemukakan Abdul Wahab Khalaf bahwa
al-Adillah al-Ahkam identik dengan Mashadir al-Ahkam ( sumber hukum).
Dari sini pula
dapat dikatakan bahwa seperti, Ijma, Qiyas, mashlahah mursalah, istihsan dan
lain sebagainya tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum Islam, karena
dalil-dalil ini hanya bersifat al-Kasyf wa al-Izhar li al-Hukum artinya hanya
menyingkap dan memunculkan yang ada dalam Alquran dan al-Sunnah. Karena suatu
dalil yang membutuhkan dalil lain untuk dijadikan hujjah, tidaklah dapat
dikatakan sumber, karena yang dikatakan sumber itu harus berdiri sendiri.
Disamping itu,
keberadaan suatu dalil, seperti Ijma, Qiyas dan istihsan misalnya, tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Alquran dan al-Sunnah.
Oleh sebab itu, para ahli ushul Fiqh sering menyebut terhadap adillah ahkam
seperti Ijma, Qiyas dan sebagainya, sebagai turuq istinbath al-Ahkam yaitu
metode dalam menetapkan hukum.
3. Urutan Sumber Hukum
Sumber
hukum yang telah disepakati oleh para ulama fiqih adalah Alquran dan al-Sunnah.
Sedangkan yang lainnya; Ijma, Qiyas, Ishtishhab, Istihsan, mashlahah mursalah,
Saddu zdara'i, Urf, istihsan, hukum bagi umat sebelum kita, mazdhab shahabi,
ada yang menggunakan dan adapula yang tidak menggunakan.
Bila diurut, maka sumber hukum itu urutannya sebagai berikut :
1.Alquran,
Bila diurut, maka sumber hukum itu urutannya sebagai berikut :
1.Alquran,
2. Al-Sunnah
3.
Ijtihad, yang meliputi pada : Al-Ijma, al-Qiyas, Al-Ishtishhab,
al-mashlahah Mursalah, Saddu zdara'i, Istihsan, Uruf, Syar'un man Qablana,
Mazdhab shahabi.
Berikut Definisi
yang mengandung beberapa unsur yang menjelaskan hakikat Al-Qur`an yaitu:
·
Al-Qur`an
berbentuk lafaz, mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh nabi
dengan ibadahnya sendiri.
·
Al-Qur`an
itu adalah berbahasa Arab. Ini mengandung arti bahwa Al-Qur`an yang dialih bahasakan kepada
bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa lain bukanlah Al-Qur`an
karenanya shalat yang menggunakan terjemaahan Al-Qur`an tidak sah.
·
Al-Qur`an
itu diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, ini mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan
kepada nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Qur`an , tetapi apa yang
dihikayatkan dalam Al-Qur`an tentang kehidupan dan syariat yang berlaku
bagi umat terdahulu adalah Al-Qur`an.
Ditinjau dari sudut
tempatnya, Al Quran turun di dua tempat yaitu:
·
Di
Mekkah atau yang disebut ayat makkiyah.
Pada umumnya berisikan soal-soal kepercayaan atau ketuhanan, mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya, ayat-ayatnya pendek dan ditujukan kepada seluruh
ummat. Banyaknya sekitar 2/3 seluruh ayat-ayat Al Quran.
·
Di
Madinah atau yang disebut ayat madaniyah.
Ayat-ayatnya panjang, berisikan peraturan yang mengatur hubungan sesama manusia
mengenai larangan, suruhan, anjuran, hukum-hukum dan syari’at-syari’at, akhlaq,
hal-hal mengenai keluarga, masyarakat, pemerintahan, perdagangan, hubungan
manusia dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, air dan sebagainya.
4.
Kehujjahan
Al-Qur’an
Ada
alasan yang dikemukakan ulama ushul fiqih tentang kewajiban berujjah dengan
Al-Qur’an, diantaranya adalah:
a.
Al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah SAW, diketahui secara mutawattir,
dan ini memberi keyakinan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah SWT
melalui Malaikat Jibril kepada Muhammad SAW, yang dikenal sebagai orang yang
paling percaya.
b.
Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu datangnya dari Allah,
diantaranya dalam surat Ali Imran ayat 3:
نَيَدَيْهِوَأَنزَلَالتَّوْرَاةَوَالإِنجِيلَنَزَّلَعَلَيْكَالْكِتَابَبِالْحَقِّ مُصَدِّقاًلِّمَابَيْ
Artinya: “Dia
menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab
yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil”.
c. Mukjizat Al-Qur’an
juga merupakan dalil yang pasti tentang kebenaran Al-Qur’an datang dari Allah SWT.
Mukjizat Al-Qur’an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi, yang membawa
risalah Ilahi dengan suatu perbuatan yang diluar
kebiasaan umat manusia. Mukjizat Al-Qur’an, menurut para ahli ushul fiqih dan
ahli tafsir terlihat ketika ada tantangan dari berbagai pihak untuk menandingi
Al-Qur’an itu sendiri, sehingga para ahli sastra Arab di mana dan kapan pun
tidak bisa menandinginya
.
Kemukjizatan
Al-Qur’an, menurut para ahli ushul fiqih terlihat dengan jelas apabila:
a)
Adanya tantangan dari pihak manapun.
b) Ada
unsur-unsur yang menyebabkan munculnya tantangan tersebut, seperti tantangan
orang kafir yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad
SAW.
c)
Tidak ada penghalang bagi munculnya tantangan tersebut.
Unsur-unsur
yang membuat Al-Qur’an itu menjadi Mukjizat yang tidak mampu ditandingi akal
manusia, diantaranya adalah:
a. Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya, umpamanya
berupa keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, diantaranya seperti
al- hayat (hidup) dan al- maut (mati), dalam bentuk definite sama-sama
berjumlah 145 kali; al- kufr (kekufuran) dan al- iman (iman) sama-sama terulang
dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali.
b. Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang
dipaparkan Al-Qur’an, seperti dalam surat Yunus ayat 92 dikatakan bahwa “badan
Fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi-generasi
berikutnya,” yang ternyata pada tahun 1896 ditemukan mummi yang menurut
arkeolog adalah Fir’aun yang mengejar Nabi Musa.
c. Isyarat-isyarat
ilmiah yang di kandung Al-Qur’an, seperti dalam surat Yunus ayat 5 dikatakan,
“Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah
pemantulan dari cahaya matahari.
5.
Al-Qur’an Merupakan
Dalil dan Zhanni
Al-Qur’an
yang diturunkan secara mutawattir, dari segi turunnya berkualitas qath’I (pasti
benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Al-Qur’an adakalanya bersifat
qath’I dan adakalanya bersifat zhanni (relatif benar).
Ayat
yang bersifat qath’I adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tungal dan
tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini misalnya,
ayat-ayat waris, hudud, dan kaffarat. Contohnya, Firman Allah dalam surat
An-Nisa ayat 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا .
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta.
Adapun ayat-ayat
yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-Qur’an mengandung
pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafal musytarak
(mengandung pengertian ganda) yaitu kata quru’ yang terdapat dalam surat
Al-Baqarah ayat 228. Kata Quru’ merupakan lafal musytarak yang
mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh sebab itu, apabila kata quru’
diartikan suci, sebagimana yang dianut ulama Syafi’iyah adalah boleh (benar),
dan jika diartikan dengan haid juga boleh (benar) sebagaimana yang dianut ulama
Hanafiah.
Kata tangan dalam
ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kanan atau
tangan kiri, di samping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai
pergelangan saja atau sampai siku.
Penjelasan untuk
yang dimaksud tangan ini ditentukan dalam hadits Rasulullah Saw. Kekuatan hukum
kata-kata yang seperti quru’ dalam ayat pertama pada ayat kedua, menurut
ulama ushul fiqih bersifat zhanni (relatif benar). Oleh sebab itu, para
mujtahid boleh memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta yang
didukung oleh dalil lain.
6.
Al-Qur’an sebagai
Dalil Kulli dan Juz’I
Al-Qur’an
sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya dengan cara:
1.
Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang
dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum waris,
hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum
yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqih disebut sebagai hukum ta’abbudi
yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
2.
Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global (kulli),
umum , dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci beberapa
kali sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan
syaratnya. Demikian juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci,
dan berapa benda yang wajib dizakatkan, berapa nisab zakat, dan berapa kadar
yang harus di zakatkan. Untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum dan mutlak
ini, Rasulullah Saw, melalui sunnahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan,
dan membatasi. Hal inilah yang diungkapkan Al-Qur’an dalam surat An- Nahl ayat
44:
فَكَّرُونَبِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَ
Artinya: “dan Kami turunkan kepadamu
Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka......”
Hikmah yang
terkandung dalam hal terbatasnya hukum-hukum rinci yang diturunkan Allah
melalui Al-Qur’an, menurut para ahli ushul fiqih adalah agar hukum-hukum global
dan umum tersebut dapat mengakomodasi perkembangan dan kemajuan umat manusia di
tempat dan zaman yang berbeda, sehingga kemaslahatan umat manusia senantiasa
terayomi oleh Al-Qur’an.
Oleh sebab itu,
kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria umum yang diungkapkan Al-Qur’an menjadi
penting artinya dalam mengantisipasi perkembangan dan kemajuan umat manusia
disegala tempat dan zaman. Berkaitan dengan hal ini, para ahli ushul fiqih
menyatakan bahwa kesempurnaan kandungan Al-Qur’an itu dapat dirangkum dalam
tiga hal berikut:
1. Teks-teks (juz’i)
yang dikandung Al-Qur’an.
2. Teks-teks
global (kulli) yang mengandung berbagai kaidah dan kriteria umum
ajaran-ajaran Al-Qur’an. Dalam hal ini, Al-Qur’an menyerahkan sepenuhnya kepada
para ulama untuk memahaminya sesuai dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki
syara’, serta sejalan dengan kemaslahatan umat manusia di segala tempat dan
zaman.
3. Memberikan
peluang kepada sumber-sumber hukum Islam lainnya untuk menjawab persoalan
kekinina melalui berbagai metode yang dikembangkan para ulama, seperti melalui Sunnah
Rasul, Ijma, qiyas, istihsan, maslahah, istishab, ‘urf dan dzari’ah.
Semua metode ini telah diisyaratkan Al-Qur’an.
Dengan ketiga unsur
ini, maka seluruh permasalahan hukum dapat dijawab dengan bertitik tolak kepada
hukum rinci dan kaidah-kaidah umum Al-Qur’an itu sendiri. Disinilah, menurut
ulama ushul fiqih letak kesempurnaan Al-Qur’an bagi umat manusia
KESEMPULAN
Di kalangan ulama
ushul seperti istilah masadir al ahkam, masadir al syariah, masadir al tasyri
atau yang diartikan sumber hukum. Istilah-istilah ini jelas mengandung makna tempat
pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Sedangkan dalil
atau yang diistilahkan dengan adillat al ahkam, ushul al ahkam, asas al tasyri
dan adillat al syari’ah mengacu kepada pengertian sesuatu
yang dapat dijadikan petunjuk sebagai alasan dalam menetapkan hukum syara.
Dalam konteks ini
Al Quran dan as sunnah adalah merupakan sumber hukum dan sekaligus menjadi
dalil hukum, sedangkan selain dari keduanya seperti al ijma, al qiyas dan
lain-lainnya tidak dapat disebut sebagai sumber, kecuali hanya sebagai dalil
karena ia tidak dapat berdiri sendiri.
Akan tetapi, dalam
perkembangan pemikiran
ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah
sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Mereka menyatakan bahwa apa yang
disebut dengan dalil hukum adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan
dalam istinbat hukum selain Al Quran dan as sunnah. Sebab, keduanya merupakan
istilah teknis yang yang dipakai oleh para ulama ushul untuk menyatakan segala
sesuatu yang dijadikan alasan atau dasar dalam istinbat hukum dan dalam
prakteknya mencakup Al Quran, as sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber
hukum lainnya.
Oleh karena itu,
dikalangan ulama ushul masalah dalil hukum ini terjadi perhatian utama atau
dipandang merupakan sesuatu hal yang sangat penting ketika mereka berhadapan
dengan persoalan-persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Dengan demikian
setiap ketetapan hukum tidak akan mempunyai kekuatan hujjah tanpa didasari oleh
pijakan dalil sebagai pendukung ketetapan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
-Drs. Moh.
Rifa’i. PT. Al- Ma’arif. Bandung. 1973
-file:///G:/al-quran-sebagai-sumber-dan-dalil-hukum%203.html
-Syaifuddin Amir,
Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu 1997).
-Abdullah
Sulaiman, Sumber Hukum Islam, Jakarta Sinar Grafik. 1995
Komentar
Posting Komentar