Oleh: Sukron Ma’mun
Menyimak berita yang muncul di berbagai media massa belakangan ini, nampaknya semakin memiriskan. Pemberantasan korupsi yang didengungkan pasca reformasi 14 tahun silam, nampaknya kini hanya menyisakan keprihatinan. Kasus korupsi yang terjadi di negeri ini bukan semakin berkurang, justru kini semakin menggurita dan menemukan bentuk “idealnya”. Para akademisi menyebut telah terjadi proses yang sistemik nan massif, sehingga menyembuhkan penyakit korupsi seolah hal yang mustahil untuk dilakukan.
Indeks kasus korupsi di negara kita juga sulit sekali beranjak dari posisi buncit dari daftar negara-negara korup di Asia, bahkan dunia. Kondisi ini menjadikan kita terjerembab pada persoalan yang menjadi problem nasional; kemiskinan, putus sekolah, rendahnya angka kesehatan dan kesejahteraan, kekerasan, dll. Para koruptor seban hari semakin bertambah jumlahnya dengan berbagai kasus. Bahkan kini mulai meregenarasi pada kalangan muda.
Pasca tertangkapnya Gayus Tambunan (32 thn), pegawai pajak tahun lalu, kasus korupsi di kalangan generasi muda terus bermunculkan. Nazaruddin (32 thn), Angelina Sondakh (34 thn), Dhana Widyatmiko (37 thn), dan Wa Ode Nurhayati (31 thn) merupakan sederet nama yang dapat kita catat.
Di samping itu, konon masih banyak para pejabat muda yang tercatat memiliki rekening gedung di luar batas kewajaran dan diduga merupakan hasil korupsi. Berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), tidak kurang dari 10 rekening gendut yang dimiliki PNS muda golongan III. Kesepuluh PNS muda ini memiliki rekening yang berisi milyaran rupiah, melebihi rasio gaji bulanan yang mereka dapatkan yang berkisar tiga jutaan (Republika, 9/12/11).
Pragamtis
Maraknya budaya korupsi dari kalangan pejabat muda, sebenarnya tidak lepas dari lemahnya pendidikan yang dikenyam. Pendidikan kita selama ini telah mulai mengaburkan proses pendidikan yang tepat, dengan pembentukan karakter peserta didik yang kuat. Pendidikan yang mereka kenyam lebih mengarahkan pada hasil dan menistakan proses pembelajaran.
Pencapaian hasil-hasil belajar lebih penting daripada proses belajar itu sendiri. Siswa dan juga mahasiswa ditekankan untuk menunjukkan hasil yang memuaskan, dari pada proses yang mampu memberikan pembelajaran. Sehingga banyak cara yang ditempuh para peserta didik meskipun dilakukan dengan cara-cara yang tidak seharusnya dilakukan. Mencontek, plagiat, tidak jujur, menipu, manipulasi, dan berbagai cara kotor yang lainnya sudah menjadi budaya selama mereka belajar di bangku sekolah.
Elemen pendidikan membiarkan atau seolah tidak mengetahui hal yang demikian. Pendidik dan elemen-elemen pendidikan lainnya menutup mata atas yang demikian, karena ketidakberdayaan melawan sistem yang terlanjur hancur atau karena mereka telah acuh. Lebih ironisnya lagi, perusakan karakter secara sadar atau tidak dilakukan dan diciptakan oleh elemen-elemen pendidikan itu sendiri.
Kasus Ujian Nasional (UNAS) mungkin dapat dijadikan sedikit gambaran sederhana. Bagaimana peserta didik dan pendidik ikut secara bersama-sama menciptakan budaya tidak sehat dalam sistem pendidikan yang berlangsung. Mencontek, curang, dan culas sudah menjadi rahasia umum dalam proses pendidikan kita.
Proses pendidikan yang demikian, menurut hemat para ilmuwan akan berdampak pada kesadaran peserta didik untuk menjadi manusia lemah tanpa karakter. Proses inipun juga melukai proses pembelajaran itu sendiri, yang pada akhirnya mengarah pada sikap dan prilaku pragmatis peserta didik serta kehalalan melakukan segala cara. Tidak salah jika di kemudian hari kebiasaan tersebut terulang dalam budaya kerja.
Hedonis nan Konsumtif
Sikap pragmatis yang demikian, didukung pula oleh budaya hedonis nan konsumtif. Budaya hedonis dan konsumtif yang menjangkiti para pejabat muda yang ada di lingkungan “basah” mengakibatkan penggunaan segala cara untuk meraup untung. Sekali lagi kebiasaan menghalalkan segala macam cara kembali terulang ketika mereka ada dalam dunia kerja. Terlebih pilihan tersebut kini lebih konkrit, yakni harta kekayaan bukan lagi nilai ulangan.
Kebutuhan selera atau pilihan hidup mewah menuntut mereka untuk memperoleh harta secara membabi buta. Aji mumpung digunakan, mata kebenaran ditutup, idealisme dimatikan, jiwa sederhana dikunci, dan rasa solidaritas dibuang jauh. Terpenting adalah dirinya, bisa hidup enak, kebutuhan terpenuhi, dan masa bodo dengan orang lain.
Pilihan gaya hidup hedonis nan konsumtif memang bukan tumbuh begitu saja. Gempuran pasar bebas dan gelombang globalisasi menjadi pendukung utama lahirnya pilihan gaya hidup demikian. Semuanya berkelindan dalam sistem kehidupan bangsa kita, sehingga wajar jika masyarakat hanyut di dalamnya.
Di sinilah pentingnya pendidikan melakukan revitalisasi, khususnya pembentukan karakakter peserta didik yang tangguh, tidak mudah terbawa arus, dan berkepribaidan mandiri.
Pembentukan Karakter
Heraclitos, sebagaimana dikutip oleh Ryan (2002), menyatakan bahwa “Character is destiny. It shapes the destiny of a whole society. Character education is teaching students to know the good, love the good, and do the good.” It is cognitive, emotional, and behavioral. It integrates head, heart, and hands. It places equal importance on all three”.
Berdasarkan pernyataan tersebut, karakter yang harus diajarkan oleh seorang pendidik ada tiga, yakni tahu kebenaran, cinta kebenaran, dan bertindak benar. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dan merupakan sebuah rangkaian. Tahu kebenaran berarti mengerti tentang kebenaran dan kejelekan; Aristoteles menyebutnya dengan kearifan. Mempunyai kearifan berarti mengerti situasi yang membutuhkannya.
Cinta kebenaran berarti membangun perasaan moral dan emosi termasuk mencintai kebaikan dan mencela kejahatan dan menumbuhkan rasa empati pada orang lain. Bertindak benar berarti bahwa setelah melakukan pertimbangan yang mendalam terhadap segala situasi dan fakta-fakta yang berhubungan, lantas ingin melakukannya.
Bangsa ini penuh dengan orang yang tahu hal-hal yang benar dan harus dilakukan, tetapi kekurangan orang-orang yang berkeinginan untuk melakukan kebaikan. Mereka tahu kebenaran tapi mereka tidak dapat membuat dirinya melakukan kebenaran itu. Pendidikan karakter mengajarkan bagaimanana kebenaran didapat, bagiamana peserta didik mencintai kebenaran, serta bagiamana bertindak benar sesuai dengan pengetahuannya.
Para koruptor sebenarnya bukan orang yang tidak tahu kebenaran dan kebatilan, namun sedikit dari mereka yang mencitai kebenaran itu dan lebih mencintai kebatilan. Sehingga tindakan yang mereka ambil bukan didasarkan cinta kebenaran, melainkan kecintaan mereka pada kesenangan (hedonisme).
Di sinilah pentingnya pendidikan karkater kembali disemai untuk memangkas mata rantai budaya korup yang kini merasuki generasi muda kita. Pendidikan yang tidak hanya mengisi otak, namun juga mengasah hati dan kecakapan bertindak bijak. Sebagaimana diungkapkan oleh Heraclitos, pendidikan karakter merupakan upaya mengolah otak, hati, dan tangan (head, heart, and hand).
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Kampus, LPM Dinamika STAIN Salatiga
Komentar
Posting Komentar