Oleh: Sri Sulastri
(111-11-012); Nur Aslihudin (111-11-152); Siti Asiyah (111-11-014)
A.
Mudharabah
1. Definisi Mudharabah
Mudharabah diambil
dari kata فِي
الآَرْضِالضَرْبُ yangg artinya “لِلتَّجَارَةِالسَّفَرُ” yakni melakukan perjalanan untuk
berdagang. Dalam al-Qur’an surat al-Muzammil:20 disebutkan:
...وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى الآَرْضِ
يَبْتَغُونَ مِنء فَضْلِ اللهِ...
Artinya:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah swt”.
Mudharabah adalah
suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih, dimana pihak pertama
memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian
dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi diantara mereka sesuai dengan
kesepakatan yang mereka tetapkan bersama.
Dalam mudharabah ada
unsur syirkah atau kerja sama, hanya saja bukan kerja sama antara harta dengan
harta atau tenaga dengan tenaga, melainkan antara harta dengan tenaga.
Disamping itu, juga terdapat unsur syirkah (kepemilikan bersama) dalam
keuntungan. Namun, apabila terjadi kerugian maka kerugian tersebut ditanggung
oleh pemilik modal, sedangkan pengelola tidak dibebani kerugian karena ia telah
rugi tenaga tanpa keuntungan.
2. Dasar Hukum
Mudharabah
Para ulama mazhab
sepakat bahwa mudharabah hukumnya dibolehkan berdasarkan al-Qur’an, sunnah,
ijma’ dan qiyas. Adapun dalil dari al-Qur’an surat al-Muzammil:20 yang
berbunyi:
...وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى الآَرْضِ
يَبْتَغُونَ مِنء فَضْلِ اللهِ...
Artinya:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah swt”.
Sedangkan dari
sunnah, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik:
عنِ
الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عن أبِيهِ عن جَدِّهِ:أَنَّ عُثْمَا نَ بْنَ
عَفَّا ن أَعْطَا هُ مَا لاً قِرَاضًا يَعْمَلُ فِيْهِ عَلَى أَنَّ الرِّبْحَ
بَيْنَهُمَا
Artinya:
“Dari ‘Ala’ bin Adurrahman dari ayahnya dari kakeknya bahwa Utsman
bin Affan memberinya harta dengan cara qiradh yang dikelolanya dengan ketentuan
keuntungan dibagi diantara mereka berdua”. (HR. Imam Malik)
Dari ayat al-Qur’an dan hadis tersebut
jelaslah bahwa mudharabah (qiradh) merupakan akad yang dibolehkan. Hadis diatas
dijelaskan tentang praktik mudharabah oleh Utsam sebagai pemilik modal dengan
pihak lain sebagai pengelola.
Adapun dalil dari ijma’, pada zaman
sahabat sendiri banyak para sahabat yang melakukan akad mudharabah dengan cara
memberikan harta anak yatim sebagai modal kepada pihak lain, seperti Umar,
Utsman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amir, dan
Siti Aisyah. Dan tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat yang lain
mengingkarinya. Oleh karena itu, hal ini dapat disebut ijma’.
Sedangkan dalil dari qiyas adalah bahwa
mudharabah di-qiyas-kan kepada akad musaqah, karena sangat dibutuhkan oleh
masyarakat. Hal tersebut dikarenakan dalam realita kehidupan sehari-hari, ada
yang kaya dan ada yang miskin. Kadang-kadang ada orang kaya yang memiliki
harta, tetapi ia tidak memiliki keahlian untuk berdagang, sedangkan dipihak
lain ada orang yang memiliki keahlian bardagang, tetapi iatidak memiliki harta
(modal). Dengan adanya kerja sama antara kedua belah pihak tersebut, maka
kebutuhan masing-masing bisa dipadukan, sehingga menghasilkan keuntungan.
Hukum mudharabah ada
2, yaitu:
a. Mudharabah fasid
Apabila syarat-syarat yang tidak selaras
dengan tujuan mudharabah maka menurut Hanafiah, Syafi’iyah, Hanabilah mudharib
tidah berhak memperoleh biaya operasional dan keuntungan yang tertentu
melainkan ia hanya memperoleh upahyang sepadan atas hasil pekerjaannya, baik
kegiatan mudharabah tersebutmemperoleh keuntungan atau tidak.
Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa
mudharib dalam semua hukum mudharabah yangfasid dikembalikan kepada qiradh yang
sepadan dalam keuntungan, kerugian, dan lain-lain dalam hal-hal yang bisa
dihitung dan ia berhak atas upah yang sepadan dengan perbuatan yang
dilakukannya.
Beberapa hal yang menyebabkan
dikembalikannya mudharabah yang fasid kepada qiradh mitsl (qiradh yang
sepadan), yaitu:
1. Qiradh dengan modal
barang bukan uang.
2. Keadaan keuntungan
yang tidak jelas.
3. Pembatasan qiradh
dengan waktu, seperti 1 tahun.
4. Menyandarkan qiradh
kepada masa yang akan datang.
5. Mensyaratkan agar
pengelola mengganti modal apabila hilang atau rusak tanpa sengaja.
b. Mudharabah Shahih
Mudharabah yang shahih adalah suatu akad
mudharabah yang rukun dan syaratnya terpenuhi. Pembahasan mengenai mudharabah
yang shahih ini meliputi beberapa hal, yaitu:
1. Kekuasaan mudharib.
2. Pekerjaan dan
kegiatan mudharib.
3. Hak mudharib.
4. Hak pemilik modal.
3. Rukun Mudharabah
Rukun akad mudharabah menurut Hanafiah adalah
ijab dan qabul, dengan menggunakan lafal yang menunjukan kepada arti
mudharabah. Lafal yang digunakan untuk ijab adalah lafal mudharabah, muqharadah
dan mu’amalah atau lafal-lafal lainyang artinya sama dengan lafal-lafal
tersebut.
Pemilik modal mengatakan: “Ambilah
modal ini dengan mudharabah, dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi
diantara kita berdua dengan nisbah setengah, seperempat atau sepertiga”.
Adapun lafal qabul yang digunakan oleh
‘amil mudharib (pengelola) adalah lafal: saya ambil (أَخَذْتُ ), atau saya
terima (قَبِلْتُ ) dan semacamnya.
Apabila ijab dan qabul terpenuhi maka akad mudharabah telah sah.
Menurut
jumhur ulama’, rukun mudharabah ada 3 yaitu:
a. Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola.
b. Ma’qud ‘alaih, yaitu modal tenaga (pekerja) dan
keuntungan.
c. Shighat, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan Syafi’iyah menyatakan bahwa
rukun mudharabah ada 5 yaitu:
a. Modal.
b. Tenaga (pekerjaan).
c. Keuntungan.
d. Shighat.
e. ‘Aqidain.
4. Syarat dan Macam
Mudharabah
a.
Syarat-syarat mudharabah
Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
mudharabah sah yang berkaitan dengan ‘aqid, modal dan keuntungan.
1) Syarat yang
berkaitan dengan ‘aqid
Adalah bahwa ‘aqid, baik pemilik modal
maupun pengelola harus orang yang memiliki kecakapan untuk memberikan kuasa dan
melaksanakan wakalah.
2) Syarat yang
berkaitan dengan modal
Syarat-syarat yang berkaitan dengan modal
adalah sebagai berikut:
8 Modal harus berupa
uang tunai, seperti dinar, dirham, rupiah, dolar dan lain sebagainya,
8 Modal harus jelas
dan diketahui ukurannya, apabila modal tidak jelas maka mudharabah tidak sah.
8 Modal harus ada dan
tidak boleh berupa hutang, tetapi tidak berarti harus ada di majlis akad.
8 Modal harus
diserahkan kepada pengelola, agar dapat digunakan untuk kegiatan usaha. Hal ini
dikarenakan modal tersebut merupakan amanah yang berada ditangan pengelola.
Syarat ini disepakati oleh jumhur ulama’.
3) Syarat yang
berkaitan tentang keuntungan
Antara lain sebagai berikut:
8 Keuntungan harus
diketahui kadarnya.
8 Keuuntungan harus
merupakan bagian yang dimiliki bersama dengan pembagian secara nisbah.
a.
Macam-macam mudharabah
Mudharabah terbagi menjadi 2 bagian,
yaitu:
8 Mudharabah mutlaq,
yaitu akad mudharabah dimana pemilik modal memberikan modal kepada ‘amil tanpa
disertai dengan pembatasan.
8 Mudharabah muqayyad,
yaitu suatu akad mudharabah dimana pemilik modal memberikan ketentuan atau
batasan yang berkaitan dengan tempat kegiatan usaha, jenis usaha,
barang yang menjadi objek usaha, waktu dan dari siapa barangg itu
dibeli.
b. Hal-hal yang Membatalkan
Mudharabah
Mudharabah dapat batal karena beberapa hal, yaitu:
8 Pembatalan, larangan
tasarruf dan pemecatan.
8 Meninggalnya salah
satu pihak.
8 Salah satu pihak
terserang penyakit gila.
8 Pemilik modal
murtad.
8 Harta mudharabah
rusak ditangan mudhorib.
B.
MUSYAROKAH
1. Pengertian
Musyarokah menurut bahasa berarti
al-ikhtilah yang artinya campur atau percampuran. Percampuran disini adalah
seseorang yang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain, sehingga sulit
untuk membedakannya.
Sedangkan menurut istilah adalah kerja
sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan
kerugiannya ditanggung bersama.
2. Dasar Hukum Al Musyarakah
4 bÎ*sù (#þqçR%2 usYò2r& `ÏB y7Ï9ºs ôMßgsù âä!%2uà° Îû Ï]è=W9$#r ÇÊËÈ
“ … maka mereka berserikat pada sepertiga ….” (An-Nisaa’ : 12)
( ¨bÎ)ur #ZÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
“… Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Shaad : 24)
Kedua ayat tersebut diatas menunjukkan perkenan dan
pengakuan Allah SWT akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta.
Al-Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda, ”
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang
yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati yang lainnya.” (HR Abu
Dawud no 2936, dalam kitab al-Buyu, dan Hakim)
Ijma:
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata,
‘Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global
walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.
3.
Rukun dan Syarat Musyarakah
Rukun Musyarokah antara lain :
a.
Ijab-kabul (sighah) adalah adanya kesepakatan antara
kedua belah pihak yang bertransakasi.
b.
Dua pihak yang berakad (‘aqidani) dan memiliki
kecakapan melakukan pengelolaan harta
c.
Objek aqad (mahal) yang disebut juga ma’qud alaihi,
yang mencakup modal atau pekerjaan
d.
Nisbah bagi
hasil
Syarat Musyarokah menurut Hanafiah :
a.
Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah
baik dengan harta maupun yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat,
yaitu:
8 Yang berkenaan dengan
benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan.
8 Yang berkenaan dengan
keuntungan yaitu pembagian keuntungan yang jelas dan diketahui orang
pihak-pihak yang bersyirkah.
b.
Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta)
dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi yaitu:
8 Bahwa modal yang
dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud).
8 Yang dijadikan modal
(harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan.
Syarat Musyarokah
menurut Malikiyah :
a.
Merdeka
b.
Baligh
c.
Pintar
4. Macam-macam
Musyarokah
Musyarakah ada dua jenis,
yaitu:
a. musyarakah pemilikan (Syirkah al-milk atau syirkah amlak)
adalah kepemilikan bersama kedua pihak atau lebih dari sebuah properti.
Misalnya karena wasiat, hibah, warisan dan lainnya; dan
b. musyarakah akad (syirkah al-‘aqd
atau syirkah ‘ukud) adalah kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak
bersama, atau usaha komersial bersama. Musyarakah akad ini terbagi lagi
menjadi :
1)
Syirkah al-‘inan
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan
sama-sama memberikan andil dalam modal dan kerja namun tidak harus sama
porsinya. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan yang
telah ditentukan.
2)
Syirkah mufawadhah
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan
kesamaan dalam penyertaan modal, pengelolaan, kerja, dan pembagian keuntungan.
3)
Syirkah al-a’maal
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan
sama-sama ambil bagian dalam melayani atau memberikan jasa pada pelanggan.
4)
Syirkah al-wujuh
Kontrak kerja sama antara du pihak atau lebih yang
memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis dimana
masing-masing pihak tidak memiliki investasi sama sekali. Kemuadian mereka
membeli komoditas secara tangguh dan menjualnya dengan tunai.
C.
MUZARA’AH
1. Definisi dan Dasar
Hukum Muzara’ah
a) Definisi Muzara’ah
Fi’il madhi
muzara’ah adalah zara’a yang artinya
mengadakankerja sama. Sedangkan menurut istilah muzara’ah adalah suatu akad
kerja sama antara dua orang, dimana pihak pertama yaitu pemilik tanah
menyerahkan tanahnya kepada pihak kedua yaitu penggarap, untuk diolah sebagai
tanah pertanian dan hasilnya dibagi diantara mereka. Dalam muzara’ah ini
Syafi’iyah mensyaratkan bibit tanaman harus dikeluarkan oleh pemilik tanah.
Apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap, maka istilahnya bukan muzara’ah
melainkan mukhabaroh.
b) Dasar Hukum
Muzara’ah
Muazarah hukumnya
diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Abu Hanifah dan Zufar, serta Imam
As-Syafi’i tidak membolehkannya. Akan tetapi sebagian Syafi’iyah membolehkannya
dengan alasan kebutuhan. Mereka beralasan dengan hadis Nabi saw:
وَعَن
ثَابِتِ بنِ الضَّحَّا كِئ رضي الله عنه أنَّ رسو لَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّم نَّهَى عَنِ الْمُنَا رَعَةِ وَأَمَرَ بِا لْمُؤَاجَرَةِ
Artinya:
“Dari Tsabit bin
Adh-Dhahhak ra bahwa sesungguhnya Rasulullah saw melarang untuk melakukan muzara’ah,
dan memerintahkan untuk melakukan muajarah (sewa menyewa).
Menurut jumhur
ulama’, yang terdiri atas Abu Yusuf, Muhammad bin Malik, Ahmad dan Dawud
Azh-Zhahiri, muszara’ah itu hukumnya boleh.
Disamping itu muzara’ah adalah salah satu
bentuk syirkah yaitu kerja sama antara modal (harta) dengan pekerjaan, dan hal
tersebut dibolehkan seperti halnya akad mudharabah, karena dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan adanya kerja sama tersebut maka lahan yang menganggur bisa
bermanfaat, dan orang yang menganggur bisa memperoleh pekerjaan.
2. Rukun dan
Syarat-syatar Muzara’ah
a) Rukun Muzara’ah
Menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yaitu berupa pernyataan
pemilik tanah. Sedangkan menurut jumhur ulama’ sebagaimana dalam akad-akad yang
lain, rukun muzara’ah ada 3 yaitu:
1) ‘Aqid, yaitu pemilik
tanah dan penggarap.
2) Ma’qud ‘alaih (objek
akad), yaitu manfaat tanah dan pekerjaan penggarap.
3) Ijab dan qabul.
Menurut Hanabilah, dalam akad muzara’ah tidak diperlukan qabul
dengan perkataan, melainkan cukup dengan penggarapan tanah secara langsung.
Dengan demikian, qabulnya dengan perbuatan (bil fi’li).
b) Syarat-syarat
Muzara’ah
1) Menurut Abu Yusuf
dan Muhammad
Syarat-syarat muzara’ah ini meliputi
syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaku (‘Aqid), tanaman, hasil tanaman,
tanah yang akan ditanami, objek akad, alat yang digunakan, serta masa
muzara’ah.
2) Menurut Malikiyah
Syarat muzara’ah ada 3, yaitu:
Ø Akad tidak boleh
mencakup penyewaan tanah dengan imbalan sesuatu yang dilarang, yaitu dengan
menjadikan tanah sebagai imbalan bibit (benih).
Ø Kedua belah pihak
yang berserikat.
Ø Bibit yang
dikeluarkan kedua belah pihak harus sama jenisnya.
3) Menurut Syafi’iyah
Ulama’ Syafi’iyah tidak mensyaratkan
dalam muzara’ah persamaan hasil yang diperoleh antara pemilik tanah dengan
pengelola (penggarap). Menurut mereka muzara’ah adalah penggarapan tanah dengan
imbalan hasil yang keluar dari padanya, sedangkan bibit dari pemilik tanah.
4) Menurut Hanabilah
Mereka mensyaratkan seperti halnya Syafi’iyah, yaitu sebagai
berikut:
Ø Benih harus
dikeluarkan oleh pemilik tanah.
Ø Bagian masing-masing
pihak harus jelas.
Ø Jenis benih yang
akan ditanamkan harus diketahui.
3. Berakhirnya Akad
Muzara’ah
Muzara’ah terkadang
berakhir karena terwujudnya maksus dan tujuan akad, misalnya tanaman telah
selesai dipanen. Akan tetapi, terkadang akad muzara’ah berakhir sebelum
terwujudnya tujuan muzara’ah, karena sebab-sebab berikut:
a) Masa perjanjian
muzara’ah telah berakhir.
b) Meninggalnya salah
satu pihak, baik meninggalnya itu sebelum dimulainya penggarapan maupun
sesudahnya, baik buahnya sudah bisa dipanen atau belum.
c) Adanya uzdur atau
alasan, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak penggarap.
D.
MUSAQAH
1. Definisi dan Dasar
Hukum Musaqah
a) Definisi Musaqah
Musaqah dalam arti
bahasa merupakan wazn mufa’alah dari kata as-saqyu yang sinonimnya asy-syurbu
yang berarti memberi minum. Penduduk Madinah menamai musaqah sama dengan
mu’amalah yang merupakan wazn mufa’alah dari kata ‘amila yang artinya
bekerja (bekerja sama).
Sedangkan menurut
istilah adalahsuatu akad antara dua orang dimana pihak pertama memberikan
pepohonan dalam sebidang tanah perkebunan untuk diurus, disirami dan dirawat
sehingga pohon tersebut menghasilkan buah-buahan, dan hasil tersebut dibagi
diantara mereka berdua. Namun, Syafi’iyah membatasi perjanjian musaqah ini
hanya dengan pohon kurma atau anggur saja, tidak diperluas kepada semua
pepohonan.
b) Dasar Hukum Musaqah
Musaqah menurut
Hanafiah sama dengan muzara’ah, baik hukum maupun syarat-syaratnya. Menurut
Imam Abu Hanifah dan Zufar, musaqah dengan imbalan yang diambil dari sebagian
hasil yang diperolehnya, hukumnya batal, karena hal itu termasuk akad sewa
menyewa yang sewanya dibayar dari hasilnya dan hal tersebut dilarang oleh
syara’, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw dari Rafi’ bin Khadij bahwa
Nabi saw bersabda:
كَا نَتْ لَهُ أرْضٌ فَلْيَزْ رَعْهَا , وَلاَ
يُكْرِيْهَا بِثُلُثِ وَلاَ بِرُبِعِ وَلاَ بِطَعَمِ مُسَمًىمَنْ
Artinya:
“Brang siapa yang
memiliki sebidang tanah,maka hendahlah ia menanaminya, dan janganlah ia
menyewakannya dengan sepertiga dan tidak
pula seperempat (dari hasilnya) dan tidak juga dengan makanan yang disebutkan
(tertentu).
Menurut Abu Yusuf
dan Muhammad bin Hasan serta jumhur ulama’, musaqah diperbolehkan.
2. Rukun Musaqah
Menurut Hanafiah,
rukun musaqah adalah ijab dan qabul. Ijab dinyatakan oleh pemilik pepohonan
sedangkan qabul diucapkan oleh penggarap. Menurut Malikiyah, akad musaqah
mengikat lazim dengan diucapkannya lafal
ijab qabul, tidak dengan pekerjaan. Sedangkan menurut Hanabilah, musaqah sama dengan
muzara’ah tidak perlu qabul dengan lafal, melainkan cukup memulai dengan
penggarapan secara langsung. Syafi’iyah justru mensyaratkan adanya qabul dengan
lafal.
Menurut jumhurulama’, rukun musaqah ada 3, yaitu:
1) ‘Aqidain, yaitu
pemilik kebun dengan penggarap.
2) Objek akad, yaitu
pekerjaan dam buah.
3) Shighat, yaitu ijab
dan qabul.
3. Berakhirnya Akad
Musaqah
Seperti halnya akad
muzara’ah, akad musaqah berakhir karena beberapa hal yaitu:
a) Telahselesainya maa
yang disepakati oleh kedua belahpihak. Dalam hubungan ini, Syafi’iyah
berpendapat apabila buah keluar setelah habisnya masa musaqah maka penggarap
tidak berhak untuk mengambilnya karena masa penggarapan sudah habis. Akan
tetapi menurut Hanafiah, apabila sampai dengan masa habisnya musaqah, buah
belum keluar atau belum masak maka berdasarkan istihsan, musaqah masih tetap
berlaku sampai buah menjadi masak dan penggarap diberikan pilihan apakah mau
berhenti atau terus bekerja tanpa diberi upah.
b) Meninggalnya salah
satu pihak. Hanabilah berpendapat bahwa musaqah tidak batal karena meninggalnya
penggarap. Apabila penggarap meninggal maka ahli warisnya menggantikan tempat
penggarap dalam bekerja. Apabila mereka menolak maka mereka tidak boleh dipaksa
untuk bekerja. Dalam hal ini, atas dasar putusan hakim, ahli waris pemilik
boleh menyewa orang untuk bekerja dengan imbalan yang diambil dari harta
warisnya.
c) Akadnya batal
disebabkan iqalah (pernyataan batal)secara jelas atau secara uzur. Menurut
Syafi’iyah, musaqah tidak batal karena adanya uzur. Apabila penggarap
berkhianat misalnya, maka ditunjuklah seorang pengawas yang mengawasi
pekerjaanya sampai selesai. Sedangkan Hanabilah, sama pendapatnya dengan
Syafi’iyah, yaitu musaqah tidak batal karena adanya uzur. Apabila penggarap
sakit misalnya, dan ia tidak mampu bekerja maka ditunjuk orang lain yang
menggantikannya untuk sementara, tanpa mencabut kewenangan penggarap.
4. Perbedaan antara
Musaqah dan Muzara’ah
Menurut Hanafiah,
musaqah sama dengan muzara’ah kecuali dalam 4 hal yaitu:
a) Dalam musaqah,
apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan akad maka ia bisa dipaksa,
sedangkan dalam muzara’ah hal tersebut tidak bisa dilakukan.
b) Apabila masa
perjanjian musaqah sudah habis maka akad diteruskan tanpa upah sampai pohon
berbuah. Sedangkan dalam muzara’ah, apabila masa sudah habis dan hasilnya belum
keluar maka penggarap terus bekerja dengan mendapat upah yang sepadan dengan
bagian dari hasil garapannya.
c) Dalam musaqah,
apabila pohon kurma yang berbuah diminta oleh selain pemilik tanah maka
penggarap harus diberi upah yang sepadan. Sedangkan dalam muzara’ah, jika pohon
diminta sesudah ditanami maka penggarap berhak atas nilai bagiannya dari
tanaman yang tumbuh. Akan tetapi, apabila tanah diminta setelah dimulai
pekerjaan dan sebelum ditanami maka penggarap tidak memperoleh apa-apa.
d) Penjelasan tentang
masa dalam musaqah bukan merupakan syarat berdasarkan istihsan, melainkan cukup
dengan mengetahui waktunya berdasarkan adat kebiasaan. Sedangkan dalam
muzara’ah, menurut usul madzhab Hanafi waktu harus ditentukan meskipun dalam
fatwanya waktu musaqah tidak perlu dinyatakan dengan tegas.
Komentar
Posting Komentar