Oleh: Setya Utami (111-11-044); M. Syukron Rofiq (111-11-045); Rudi Triyo Bowo (111-11-082); dan
Wawaladun
Sholichatui Y. (111-11-202)
Bagi
hasil (qiradh) secara bahasa berasal dari kata qardh yang artinya potongan
sebab yang mempunyai harta memotong hanya untuk si pekerjaagar bisa bertindak
dengan harta itu dan sepotong keuntungan. Dari kata yang sama pula mirqad yaitu
alat memotong (gunting), juga dinamakan mudharabah (bagi hasil) karena memiliki
arti berjalan di muka bumi[1].
A. Mudharabah
a. Pengertian
mudharabah
Mudharabah berasal dari kata al-dharb yang berarti
secara harfiah adalah bepergian atau berjalan. Menurut istilah mudharabah
dikemukakan beberapa ulama sebagai berikut[2]:
1) Menurut
para fuqaha mudharabah adalah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung,
salah satu puhak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan
denganbagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau
sepertiga dengan syart-syarat yang telah ditentukan.
2) Menurut
hanafiah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berangkat yang
berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain
dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.
3) Malikiah
berpendapat bahwa mudharabah adalah akad perwakilan, dimana pemilik harta
mengeluarkan hartanya kepada yang lain unutk diperdagangkan dengan pembayaran
yang ditentukan (emas dan perak).
4) Ulama
syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad yang menentukan seseorang
menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk di tijarohkan.
5) Menurut
hanabilah berpendapat bahwa mudharabah adalah ibarah memiliki harta menyerahkan
hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian yang
diketahui.
b. Dasar
hukum
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah:10)
Hadis nabi Riwayat Ibnu Abbas
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah. Ia
mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengurangi lautan dan tida menuruni
lembah, serta tidak membeli hewan ternak, jika persyaratan itu dilanggar, ia
(mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan itu yang ditetapkan
Abbas itu didengar oleh rasulullah, beliau membenarkannya” (HR Thabrani dari
Ibnu Abbas)
c. Rukun
dan syarat mudhorobah
Menurut ulama syari’iyah rukun-rukum mudharabah
ada 6 yaitu[3]:
1) Pemilik
barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2) Orang
yang bekerja, yaitu mengelola barang
yang diterima dari pemilik barang.
3) Akad
mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
4) Mal
yaitu harta pokok atau modal.
5) Amal, yaitu
pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
6) Keuntungan.
Syara-syarat sah mudharabah
adalah sebagai berikut:
1) Modal
atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu
berbentuk emas atau perak batangan, mas hiasan atau barang dagangan lainnya,
mudharabah tersebut batal.
2) Bagi
orang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasaruf, maka dibatalkan akad
anak-anak yang masih kecil, orang gila dan orang-orang yang berada dibawah
pengampuan.
3) Modal
harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang
diperdangangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan
dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati.
4) Keuntungan
yang akan menjadi milik pengelola dan peilik modal harus jelas persentasinya,
umpamanya setengah, sepertiga atau seperempat.
5) Melafalkan
ijab dari pemilik modal.
6) Mudharabah
bersifat mutlak.
d. Biaya
pengelolaan mudharabah[4]
Biaya bagi mudharib diambil
dari hartaya sendiri selama ia tinggal dilingkungan daerahnya sendiri, demikian
juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepertingan mudharabah. Bila biaya
mudharabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta tidak akan
memperoleh bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut sama besar
atau bahkan lebih besar dari keuntungan. Namun, jika pemilik modal mengizinkan
pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya ditengah
perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia
boleh mengunkan modal mudharabah.
Kiranya dapt dipahami bahwa
biaya pengelolaan mudharabah pada dasarnya dibebankan pada penggelola modal.
Namun tidak masalah jika biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal
mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaannya.
e. Tindakan
setelah matinya pemilik modal[5]
Jika pemilik modal meninggal
dunia, mudharabah menjadi fasakh, penggelola modal tidak berhak menggelola
modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunkan modal tersebut,
sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dan tanpa izin dari
para ahli warisnya, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab. Ia
wajib mengembaliknanya jika modal itu menguntungkan, keuntungannya dibagi dua.
Sedangkan jika modal berbentu urud (barang dagangan), pemilik modal dan
pengelola modal menjual atau membaginya karena yang demikian itu adalah hak
berdua. Jika pelaksana (pengelola modal) setuju dengan penjualan, sedangkan
pemilik modal tidak setuju, pemilik modal dipaksa menjualnya, karena penngelola
mempunyai hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperolah kecuali dengan
menjualnya, demikian pendapat madhab syafi’i dan hambali.
f.
Pembatalan mudharabah[6]
Mudharabah menjadi batal
apabila ada perkara-perkar sebagai berikut:
1. Tidak
terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
2. Pengelola
dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola
modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
3. Apabila
pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal
meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.
B. Muzara’ah
Secara etimologi, al-muzara’ah berarti
kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
Secara terminologi muzara’ah adalah suatu akad kerjasama antara dua orang, dimana pihak
pertama yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak ke dua yaitu
penggarap, untuk diolah sebagai tanah pertanian dan hasilnya dibagi diantara
mereka dengan perimbangan setengah-setengah, atau sepertiga dua pertiga atau
lebih kecil atau lebih besar dari nisbah tersebut, sesuai dengan hasil
kesepakatan mereka. Hanya saja dalam definisi muzara’ah tersebut, syafi’iyah mensyaratkan
bibit tanaman harus dikeluarkan pemilik tanah. Apabila bibit dikeluarkan oleh
penggarap, maka istilahnya bukan muzara’ah, melainkan mukharabah[7].
a. Dasar
Hukum Muzara’ah
Dalam membahas hukum
al-muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah dan Zufar
ibn Huzail, pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh.
Menurut mereka, akad al-muzara’ah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan
setengah, hukumnya batal[8].
Alasan Imam Abu Hanifah
dan Zufair ibn Huzail adalah sebuah hadis berikut:
أن رسو ل الله عليه وسلم
نهى عن المخا برة.
﴿رواه مسلم عن جا بر بن عبد الله﴾
Rasulallah saw yang
melarang melakukan al-mukhabarah. ( HR Muslim dari Jabir ibn Abdillah ).
Menurut jumhur ulama, muzara’ah hukumnya boleh.
Alasannya:
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa
Rasulullah saw. Melakukan kerjasama (penggarapan tanah) dengan imbalan separuh
dari hasil yang keluar dari tanah tersebut. Baik buah-buahan atau tanaman. (Mutafaq ‘alaih)
Disamping itu,
muzara’ah adalah salah satu bentuk syirkah yaitu kerjasama antara modal (harta)
dengan pekerjaan, dan hal tersebut dibolehkan seperti halnya akad mudharabah,
kerena dibutuhkan oleh masyarakat, dengan adanya kerjasama tersebut maka lahan
yang menganggur bisa memperoleh peranan.
Rukun, Sifat, dan Syarat-syarat Muzara’ah[9]
a) Rukun
muzara’ah dan sifat akadnya
Rukun muzara’ah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yang berupa
pernyataan pemilik tanah. Menurut jumhur ulama rukun muzara’ah ada 3 yaitu:
1. ‘aqid,
yaitu pemilik tanah danpenggarap
2. Ma’qub
‘alaih atau objek akad, yaitu menfaat tanah dan pekerjaan penggarap
3. Ijab dan
qabul
b) Syarat-syarat
muzara’ah
Syarat muzara’ah meliputi pelaku (‘aqid), tanaman/ yang ditanam,
hasil tanaman, tanah yang ditanami, alat pertanian yang digunakan, dan masa
penanaman,
1. Syarat
‘aqid
(a) ‘aqid
harus berakal (mumayis)
(b) ‘aqid
tidak murtad. Terdapat dua pendapat Imam Abu Hanifah oarang murtad hukumnya
ditangguhkan (mauquf). Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, akad
muzara’ah dari orang murtad hukumnya dibolehkan.
2. Syarat
tanaman
Menjelaskan sesuatu yang akan
ditanamtidak menjadi syarat muzara’ah karena apa yang akan ditanam diserahkan
sepenuhnya kepada penggarap.
3. Syarat
hasil tanaman
Apabila syarat muzara’ah
tidak terpenuhi maka akan menjadi fasid.
(a) Hasil
taanaman harus dijelaskan dalam perjanjian, karena hal itu sama dengan upah,
yang apabila tidak dijelaskan menyebabkan rusaknya akad.
(b) Hasil
tanaman harus dimiliki bersama oleh para pihak yang melakukan akad.
(c) Pembagian
hasil tanaman harus ditentukan kadarnya (nisbah-nya), seperti separuh,
sepertiga, seperempat, dan sebagainya.
(d) Hasil tamanan
harus berupa bagian yang belum dibagi diantara orang-orang yang melakukan akad.
4. Syarat
tanah yang akann ditanami
(a) Tanah
harus layak untuk ditanami. Tanah yang tidak layak misalnya tandus, maka akad
tidak sah. Hal tersebut karena muzara’ah adalah suatu akad di mana upah atau
imbalannya diambil dari sebagian hasil yang diperoleh. Apabila anah tidak
menghasilkan maka akad tidak sah.
(b) Tanah
yang akan digarap harus diketahui secara jelas, supaya tidak menimbulkan
perselisihan antara pihak yang melakukan akad.
(c) Tanah
tersebut harus diserahkan kepada penggarap, sehingga ia mempunyai kebebasan
untuk menggarapnya
5. Syarat
objek akad
Objek akad dalam muzara’ah
harus sesuai dengan tujuan dilaksanakannya. Tujuan tersebut adalah mengambil
manfaat dari tenaga penggarap dan mengambil manfaat dari tanah.
6. Syarat
alat yang digunakan
Alat yang digunakan untuk
bercocok tanam, baik berupa hewan (tradisional) maupun alat modern haruslah
mengikuti akad, bukan menjadi tujuan akad. Apabila alat tersebut dijadikan
tujuan, maka akad muzara’ah menjadi fasid.
7. Syarat
masa muzara’ah
Masa berlakunya akad
muzara’ah disyaratkan harus jelas dan ditentukan atau diketahui, misalnya satu
tahun atau dua tahun. Apabila masanya tidak ditentukan maka tidak sah.
c) Bentuk-bentuk
akad muzara’ah[10].
Menurud Abu Yusuf dan Muhammad bentuk muzara’ah
ada empat macam, tiga hukumnya sah dan yang satu hukumnya batal atau fasid.
Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut.
a. Tanah
dan bibit (benih) dari satu pihak, sedangkan pekerjaan dan alat-alat untuk bercocok tanam dari pihak lain. Dalam bentuk
yang pertama ini muzara’ah hukumnya dibolehkan, dan status pemilik tanah
sebagai penyewa terhadap tenaga penggarap dan benih dari pemilik tanah,
sedangkan alat ikut kepada penggarap.
b. Tanah
disediakan oleh satu pihak, sedangkan alat, benih, dan tenaga (pekerja) dari
pihak lain. Dalam bentuk yang kedua ini, muzara’ah juga hukumnya dibolehkan,
dan status penggarap sebagai penyewa atas tanah dengan imbalan sebagai
hasilnya.
c. Tanah,
alat, dan benih disediakan oleh satu pihak (pemilik), sedangkan tenaga (pekerja) dari pihak lain (panggarap). Dalam
bentuk yang ketiga ini, muzara’ah juga hukumnya dibolehkan, dan status pemilik
tanah sebagai penyewa terhadap penggarap
dengan imbalan sebagai hasilnya.
d. Tanah
dan alat disediakan oleh satu pihak (pemilik), sedangkan benih dan pekerja dari
pihak lain (penggarap). Dalam bentuk yang keempat ini, menurut Zhahir riwayat,
muzara’ah menjadi fasid. Hal ini dikarenakan andai kata akad itu dianggap
sebagai menyawa tanah maka disyaratkannya alat cocok tanam dari pemilik tanah
menyebabkan sewa-menyewa menjadi fasid, sebab tidak mungkin alat ikut kepada
tanah karena keduanya berbeda manfaatnya. Demikian pula apabila akadnya
dianggap menyewa tenaga penggarap maka disyaratkannya benih harus dari
penggarap, menyebabkan ijarah menjadi fasid, sebab benihtidak ikut kepada ‘amil
(penggarap) melainkan kepada pemilik.
d) Hukum-hukum
muzara’ah yang sahih dan fasid[11]
1. Hukum
muzara’ah yang sahih
Menurut Hanafiah ada beberapa ketentuan yang
berlaku untuk muzara’ah yang sahih, yaitu sebagai berikut:
a. Segala
ketentuan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman dibebankan kepada muzara’
(penggarap).
b. Pembiayaan
atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah, yang nantinya
diperhitungkan dengan penghasilan yang diperoleh.
c. Hasil
yang diperoleh dari penggarapan tanah dibagi di antara penggarap dan pemilik
tanah sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati pada waktu akad. Hal ini
sesuai dengan sabda nabi:
Dari Amr binAuf Al-Muzanni r.a. bahwa
Rasulullah saw. Bersabda perdamaian dibolehkan diantara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang isinya mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Orang –orang Islam boleh berpegang kepada syarat-syarat mereka, kecuali syarat
mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. (H.R. Tirmidzi dan ia
menyahihkannya).
d. Akad
muzara’ah menurut Hnabaliah sifatnya tidak mengikat (ghair lazim), sedangkan
menurut Malikiyah termasuk akad yang mengikat (lazim) apabila bibit telah
disemaikan. Menurut Hanafiah dilihat dari sisi pemilik benih, akad muzara’ah
termasuk ghair lazim, tetapi dilihat dari pihak yang lain, ia termasuk lazim.
Dengan demikian, akad muzara’ah tidak boleh dibatalkan kecuali karena udzur.
e. Menyiram
atau memelihara tanaman, apabila disepakati untuk dilakaukan bersama maka hal
itu hrus dilaksanakan. Akan tetapi, apabila tidak ada kesepakatan maka
penggaraplah yang paling bertanggung jawab untuk menyiram dan memelihara
tanaman tersebut.
f.
Dibolehkan menambah bagian dari
penghasilan yang telah ditetapkan dalam akad.
g. Apabila
salah satu pihak meninggal dunia sebelum hasil penggarapannya diketahui maka
muzari’ tadak mendapat apa-apa, karena tetapnya akad ijarah di sini di dasarkan
kepada tepatnya waktu.
Syafi’iyah tidak
diperbolehkan adanya muzara’ah kecuali ikut kepada musyaqah. Apabila muzara’ah
dilakukan tersendiri maka hasilnya untuk pemilik tanah, sedangkan penggarap
memperoleh upah yang sepadan atas pekerjaannnya dan alat-alatnya.
2. Hukum
muzara’ah yang fasid
Menurut Hanafiah ada beberapa ketentuan untuk
muzara’ah yang fasi yaitu:
a. Tidak
ada kewajinban apapun dari dari muzari’ (penggarap) dari pekerjaan muzara’ah
karena akadnya tidak sah.
b. Hasil
yang diperoleh dari tanah garapan semuanya untuk pemilik benih, baik pemilik
tanah maupun penggarap. Dalam masalah ini Malikiyah dan Hanabaliah sepakat
dengan Hanafiah, yaitu bahwa apabila akadnya fasid, maka hasil tanaman untuk
pemilik benih.
c. Apabila
benihnya dari pihak pemilik tanah maka pengelola memperoleh upah atas
pekerjaannya, karena fasid-nya akad muzara’ah tersebut. Apabila benihnya
berasal dari penggarap maka pemilik tanah memperoleh sewa atas tanahnya, karena
dalam kasus ini menjadi sewa menyewa. Dalam kasus yang pertama semua hasil yang
diperoleh merupakan milik si pemimilik tanah. Kasus kedua, tadak semua hasil
garapan untuk penggarap, melainkan ia mengambil sebanyak benih yang
dikeluarkannya dan sebanyak sewa tanah yang diberikan kepada pemilik, dan
sisanya disadakahkan oleh penggarap.
d. Dalam
muzara’ah fasid, apabila muzari’ telah menggarap tanah tersebut maka ia wajib
memberi upah yang sepadan (ujratul mitsli), meskipun tanah yang digarap tidak
menghasilkan apa-apa. Hal ini karena muzara’ah statusnya sebagai akad ijarah
(sewa-menyewa). Adapun dalam muzara’ah yang sahih, apabila tanah garapan tidak
menghasilkan apa-apa, maka penggarap dan pemilik tanah sama sekali tadak
mendapatkan apa-apa.
e. Menurut
Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, upah yang sepadan dalam muzara’ah yang fasid
harus ditetapkan dengan jumlah yang disebutkan, sesuai persetujuan kedua belah
pihak. Sedangkan menurut Muhammad bin Hasan, upah yang sepadan harus dibayar
penuh, karena ia merupakan ukuran harga manfaat yang telah dipenuhi oleng peng
arap.
e) Berakhirnya
akad muzara’ah[12]
Muzara’ah berakhir karena telah terwujudnya
maksud dan tujuan , misalnya tanaman telaj selesai dipanen. Akan tetapi,
terkadang berakhir karena sebab-sebab berikut:
1. Masa
perjanjian muzara’ah telah habis.
2. Meninggalnnya
salah satu pihak, baik meninggalnya sebelum dimulainyapenggarapan maupun sesudahnya,
baik buahnya sudah bisa dipanen maupn belum. Pendapat ini dikemukakan oleh
Hanafiahdan Hanabaliah. Akan tetapi menurut Malikiyah dan Syafi’iah, muzara’ah
tidak berakhir karena meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad.
3. Adanya
udzur, baik dari pihak pemilik tanah maupun penggarap. Diantara alasannya
sebagai berikut:
a. Pemilik
tanah mempunyai hutang besar dan mendesak, sehingga tanah yang digarap oleh
penggarap harus dijual dan tidak ada harta lain selain tanah itu.
b. Contoh
udzur dari pihak penggarap sakit, bepergian, jihad fi sabilillah, sehingga
tidak bisa mengelola tanah tersebut.
C. Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua
belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan dan porsi kontribusi dana.
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari
kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’),
syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau
serikat. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan
tetapi, menurut Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih fasih (afshah), syirkah berarti
mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi
dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun menurut makna syariat,
syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk
melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan[13].
Syirkah ada dua macam[14]:
a. Syirkah
Hak Milik (Syirkatul Amlak)
Yaitu per-sekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan
salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah
atau warisan.
b. Syirkah
Transaksional (Syirkatul uqud)
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai
hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam:
yaitu: syirkah inan, syirkah abdan, syirkah mudharabah, syirkah wujuh, syirkah
mufawadhah.
1) syirkah
inan, secara sederhana diartikan dengan kerja sama dalam modal dan usaha.
Mengandung arti keja sama beberapa orang pemilik modal dengan cara
masing-masing menyertakan modalnya dan bersama dalam usaha, baik dalam
perdagangan atau industri, keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai kesepakatan.
2) Syirkah
‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan konstribusi kerja, tanpa konstribusi modal. Konstribusi kerja itu
dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun
kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu,
nelayan, dan sebagainya).
3) Syirkah
mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu
pihak memberikan konstribusi kerja, sedangkan pihak lain memberikan konstribusi
modal.
4) Syirkah
wujuh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan
konstribusi kerja, dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi
modal. Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam
ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku
ketentuan-ketentuan syirkah mudhrabah padanya.
5) Syirkah
mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua
jenis syirkah di atas.
Dasar hukum
Akad
asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman
Allah dalam surat an-Nisa’, 4: 12 yang berbunyi :
...فهم شر كا ء فى الثلث...
...maka mereka berserikat dalam sepertiga harta...
Rukun syirkah
Menurut ulama Hanafiah bahwa rukun ada dua,
yaitu ijab dan kabul sebab ijab Kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah.
D. MUSAQAH
1. Definisi
musaqah dan dasar hukum serta rukunnya
a. Definisi
musaqah
Musaqah dalam arti bahasa merupakan
wazn mufa`alah dari kata as-saqyu yang sinonomnya asy-syurbu, artinya memberi
minum. Penduduk madinah menamai musaqah dengan muamala, yang merupakan wazn
mufa`alah dari kata `amila yang artinya bekerja (bekerja sama)[15].
Menurut istilah pengertian
musaqah adalah :
وَشَرْعًاهِيَ مُعَاقَدَةُ دَفْعِ الأَشَجَارِ اِلَى مَنْ يَعْمَلُ
فِيْهَا عَلَى أَنْ الثَمَرَةَىبَيْنَهُمَا
Menurut syara` musaqah adalah
suatu akad penyerahan pepohonan kepada orang yang mau menggarapnya dengan
ketentuan hasil buahnya dibagi antara mereka berdua
b. Dasar
hukum musaqah
Musaqah menurut Hanafiah sama
dengan Muzaraah baik hukum maupun syaratnya. Menurut imam abu hanifah dan
Zufar, musaqah dengan imbalan yang diambil dari sebagian hasil yang
diperolehnya, hukumnya batal karena hal itu termasuk akad sewa menyewa yang
sewanya dibayar dari hasilnya
Menurut abu yusuf dan muhamad
bin hasan serta jumhur ulama (Malik, Syafi`i, Ahmad) musaqah diperbolehkan
dengan beberapa syarat, pendapat ini didasarkan hadits nabi :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَبِيَّ صلَّى الله عَلَيْهِ وأَلِهِ
وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرِ أَوْ زَرْعٍ
dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw
bekerja sama dengan penduduk khaibar (menyirami tanaman) dengan imbalan separuh
dari hasil yang diperoleh baik berupa buah-buahan maupun pepohonan. (HR.
Jama`ah)
c. Rukun
musaqah
Menurut Hanafiah rukun
musaqah adalah ijab dan qabul. Ijab dinyatakan oleh pemilik pepohonan,
sedangkan qabul dinyatakan oleh penggarap.
Menurut jumhur ulama rukun
musaqah ada tiga yaitu :
1. Pemilik
kebun atau penggarap
2. Objek
akad, yaitu pekerjaan dan buah
3. Sighat,
yaitu ijab dan qabul
d. Objek
musaqah
Objek musaqah menurut
hanafiah adalah semua pohon yang berbuah seperti anggur dan kurma. Akan tetapi
menurut ulama-ulama hanafiah juga membolehkan musaqah dalam pohon-pohon yang
tidak berbuah karena pohon-pohon tersebut sama-sama membutuhka perawatan danpengurusan.
Menurut malikiah, objek musaqah adalah tumbuh-tumbuhan seperti kacang dan
tumbuhan yang berbuah yang memiliki akar didalam tanah, dengan syarat
1. Akad
musaqah dilakukan sebelum buah kelihatan dan boleh diperjual-belikan
2. Akad
musaqah ditentukan waktunya
Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa objek musaqah adalah pohon-pohon yang berbuah dan
dapat dimakan saja sedangkan pohon yang tidak berbuah tidak diperbolehkan
dilakukan musaqah. Sedangkan menurut ulama Syafi`iyah dalam qaul jadid objek
musaqah hanya kurma dan anggur saja, pendapat ini didasarkan hadits nabi :
وَلِمُسْلِمِ
وأَبُوْدَاوُدَ والنَسَائيِّ" دَفَعَ أِلى يَهُودِّ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ
وَأرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْمَلُوْهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُوْلِ الله صَلَى
الله علَيْهِ وَسَلَّمَ شَطْرُ ثَمَرِهَا"
Dalam
hadits riwayat muslim, abu dawud dan nasa`i Rasulullah saw memberikan kepada
penduduk khaibar kurma khaibar dan tanahnya agar mereka(penduduk khaibar)
menggarapnya dengan modal dan harta mereka, dan Rasulullah saw separuh dari
hasil buahnya.
Dalam
hadits tersebut lafal nakhla (kurma) yang termasuk di dalamnya “anggur”, karena
anggur itu sama dengan kurma dalam segi sama-sama diwajibkan zakat untuk
keduanya. Akan tetapi dalam qaul qadim membolehkan musaqah dalam semua pohon
yang berbuah.
2. Syarat-syarat
musaqah[16]
a. Kecakapan
`aqidain . dalam hal ini aqidai harus berakal dan mumayis. Menurut hanafiah
baligh tidak menjadi syarat tetapi menurut ulama lain baligh menjadi syarat
musaqah.
b. Objek
akad, pohon harus jelas dan diketahui.
c. Membebaskan
`amil dari pohon. Dalam hal ini pemilik tanah atau kebun harus menyerahkan
pohon yang akan digarap/dirawat kepada penggarap. Apabila disyaratkan pekerjaan
dilakukan kedua belah pihak maka akad musaqah menjaddi batal atau fasid.
d. Kepemilikan
bersama hasil yang diperoleh. Yakni harus jelas kadarnya. Apabila tidak jelas
kadarnya atau disyaratkan hanya untuk salah satu pihak saja maka menjadi fasid.
3. Hukum
musaqah shahih dan fasid[17]
Musaqah
shahih adalah musaqah yang syarat-syaratnya terpenuhi, apabila syarat-syaratnya
tidak terpenuhi maka musaqah menjadi fasid.
a. Hukum
musaqah shahih
1. Menurut
hanafiah
a. Semua
pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan merupakan kewajiban penggarap
sedangkan sesuatu yang dibutuhkan seperti biaya merupakaan tanggung jawab
bersama antara pemilik dan penggarap.
b. Hasil
yang diperoleh dibagi sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati
c. Apabila
pohon tidak berbuah maka kedua belah pihak tidak mendapat apa-apa.
d. Akad
musaqah merupakan akad yang lazim atau mengikat kedua belah pihak.
e. Pemilik
boleh memaksa penggarap untuk melakukan pekerjaannya.
f.
Dibolehkan menambahkan
hasil(bagian) dari ketetapan yang disepakati.
g. Penggarap
tidak boleh memberikan musaqah kepada orang lain, kecuali apabila diizinkan
pemiliknya.
2. Menurut
malikiah
Ulama malikiah menyepakatihukum-hukum
musaqah yang dikemukakan oleh ulama hanafiah. Namun mereka berpendapat dalam
penggarapan kebun dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. Pekerjaan-pekerjaan
yang tidak ada kaitannya dengan buah-buahan. Dalam hal ini penggarap tidak
terikat akad dan tidak boleh dijadikan sebagai syarat.
b. Pekerjaan-pekerjaan
yang berkaitan dengan buah-buahan dan ada bekasnya, seperti menggali sumur.
Dalam hal ini penggarap tidak terikat akad dan tidak boleh dijadikan sebagai
syarat.
c. Pekerjaan-pekerjaan
yang berkaitan dengan buah-buahan dan tidak ada bekasnya, seperti menyirami
tanaman. Dalam hal ini penggarap terikat akad dan boleh dijadikan sebagai
syarat.
Mengenai hak `amil
(penggarap), ia memperoleh bagian sesuai kesepakatan misal sepertiga atau
setengah. Apabila pohon tidak berbuah maka kedua belah pihak tidak mendapatkan
apa-apa.
3. Menurut
syafi`iah dan hanabilah
Ulama syafi`iah dan hanabilah
sepakat dengan malikiah dalam pembatasan pekerjaan penggarap dan hak-haknya.
Semua pekerjaan yang manfaatnya untuk buah atau yang rutin setiap tahun seperti
menyirami pohon merupakan kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak
ruti dan manfaatnya untuk tanah seperti mambuat saluaran aur atau pagar
merupakan kewajiban pemilik kebun.
b. Hukum
musaqah yang fasid
Akad musaqah menjadi fasid karena tidak
terpenuhinya salah satu syarat yanng ditentukan syara`. Menurut hanafiah
hal-a-hal yang menyebabkan fasidnya musaqah adalah sebagai berikut :
1. Adanya
syarat bahwa hasil yang diperoleh hanya untuk salah satu pihak saja.
2. Adanya
syarat bahwa sebagian tertntu dari hasil yang diperoleh untuk salah satu pihak
saja.
3. Adnya
syarat bahwa pemilik kebun ikut serta melakukan penggarapan.
4. Adanya
syarat pemetikan dilakukan penggarap. Dalam hal ini penggarap hanya
berkewajiban memelihara tanaman sedangkan pemetikan menjadi tanggung jawab
kedua belah pihak.
5. Adanya
syarat bahwa penggarap harus tetap beker ja setelah selesai masa perjanjian
musaqah.
Menurut malikiyah apabila
musaqah rusak sebelum penggarapan maka akadnya menjadi fasakh atau batal. Apabila
rusak setelah mulai bekerja maka akad dibatalkan ditengah-tengah dan penggarap
berhak atas upah yang sepadan.
Menurut syafi`iah dan
hanabilah masing masing pihak tidak mengetahui bagian masing-masing yang
diperoleh, mensyaratkan uang, atau buah dalam jumlah tertentu, mensyaratkan
pemilik harus bekerja, atau mensyaratkan mengerjakan pekerjaan lain selain
pohon yang disepakati.
4. Berakhirnya
musaqah
a. Telah
sampai masa yang disepakati oleh kedua belah pihak.
b. Meninggalnya
salah satu pihak
Hanabillah berpendapat bahwa
musaqah tidak batal (Fasakh) karena meninggalnya penggarap. Apabila meninggal
maka ahli warisnya menggantikan penggarap dalam bekerja. Apabila mereka menolak
maka mereka tidak boleh dipaksa.
Akadnya batal disebabkan
iqalah (pernyataan batal) secara jelas atau karena udzur. Diantara udzur
tersebut adalah:
1. Penggarap
sakit sehingga tidak mampu bekerja
2. Penggarap
sedang bepergian
3. Penggarap
terkenal sebagai pencuri yang di khawatirkan ia akan mencuri buah sebelum
dipetik
Menurut syafiiyah musaqah
tidak batal karena adanya udzur.
Daftar Pustaka
http://perjalananbocahkampung.blogspot.com/2012/10/makalah-islam-dan-ekonomi-bagi-hasil.html diambil pada 16 Maret 2013
Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat.
Amzah: Jakarta.
Muhammad Azam, Abdul Aziz. 2010. Fiqh
Muamalat (Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam). Amzah: Jakarta.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis Besar
Fiqh. Kencana: Jakarta.
[1] Muhammad Azam,
Abdul Aziz., Fiqh Muamalat (Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam), Amzah,
Jakarta, 2010, hlm. 215.
[3] Ibid., Suhendi, hlm. 139.
[4] Ibid., Suhendi, hlm. 141.
[5] Ibid., Suhendi, hlm. 142.
[6] Ibid., Suhendi, hlm. 143.
[8] Ibid., Muslich, hlm. 394.
[9] Ibid., Muslich, hlm. 395-398.
[10] Ibid., Muslich, hlm. 400.
[11] Ibid., Muslich, hlm. 401-403.
[12] Ibid., Muslich, hlm. 403-404.
[13] http://perjalananbocahkampung.blogspot.com/2012/10/makalah-islam-dan-ekonomi-bagi-hasil.html
diambil pada 16 Maret 2013
[15] Muslich, op.cit., hlm. 404.
[16] Ibid., Muslich, hlm. 409-410.
[17] Ibid., Muslich, hlm. 410-416.
Komentar
Posting Komentar