Resume oleh: Sayyidah
Kharismatika (105)
A.
AJAZAIR
- Situasi Sosial–Politik Awal Periode Kolonisasi.
Pada
tahun 1830, pemerintah Charles X (Perancis), didorong oleh kepentingan militer
untuk meresturasi prestige politiknya setelah kekalahanya dalam perang Yunani
dan didorong oleh kepentingan perdagangan marseile, menginvasi Al-jazair.
Pemerintahan Charles dapat menduduki Aljazair dan kota-kota pantai lainnya.
Akibat keengganan Perancis itu, munculnya pemimpin-pemimpin lokal dengan negara
barunya. Untuk birokasi negaranya, Abdul Qadir membangun suatu administrasi
hirarkis. Dia menunjuk khalifah–khalifah bawahan untuk urusan militer,
keuangan, dan judisial. Dari tahun 1832, 1841, Abdul Qadir bersikap keras dan
lunak terhadap penguasa Prancis. Sesekali suatu strategi yang komprehensif demi
suku-suku di Aljazair. Tidak hanya di Aljazair Utara, di bagian selatan pun
pemberontakan-pemberontakan itu dilakukan oleh para pengembala unta.
- Gerakan reformasi awal abad ke-20 Abd Al-Hamid ibn Badis.
Para
elit dibagi menjadi 3 yaitu para alumni, elit dan para pemimpin gerakan
reformasi Islam. ibn Badis adalah alumni lembaga pendidikan Zaetuna di Tunis.
Gerakan reformasi juga mempunyai satu konsep politik sendiri. Arabisme tidak
hanya bergerak dalam bidang keagamaan tapi juga bidang pendidikan.
- Aljazair setelah merdeka rezim Ibn Bella, Boumedinne dan Ibn Jadid.
Setelah
Aljazair merdeka pada tahun 1962, struktur Aljazair tidak berpola sama sekali.
Rezim baru ini memfokuskan diri pada perkembangan sektor ekonomi kota dan
industri dengan memanfaatkan pendapat-pendapat dari minyaknya.
Kader-kader
Ibn Bella mendukung modernisasi negara dan pembentukan satu tatanan ekonomi
sosialis. Arabisme dan Islam adalah satu-satunya basis dasar sosial dan
identitas nasional.
B.
TUNISIA
- Sebelum munculnya Protecbrate Perancis di Yunisia.
Pada
pertengahan abad ke-19 dalam kondisi kekuatan ekonomi eropa yang semakin
meningkat dan lemahnya kekuatan ekonomi dalam negeri, para penguasa Tunisia
telah mencoba melakukan modernisasi di berbagi bidang. Keberhasilan reformasi
yang dilakukan oleh Khairudin tidak lepas dari adanya dukungan kelompok
agamawan. Disamping itu, kedua kelompok terakhir ini ditunisia tidak saling
bersitegang, ini berbeda dengan kondisi di Aljazair.
- Tunisia di bawah Protectorate Perancis hingga merdeka.
Pada
tahun 1881 Perancis yang menduduki Aljazair sementara tahun 1830an, memulai
menguasai Tunisia. Para alumni juga mensponsori pendirian sekolah Khalduniyyah
pada tahun 1896. Pendirian ini untuk menyuplai pendidikan Zaetuna dengan
subyek-subyek modern. Kelompok pemuda itu melakukan berbagai reformasi. Mereka
mesponsori reformasi hukum Islam, pendidikan dan administrasi wakaf. Akhirnya
pada tahun 1955, pemerintah Perancis mengakui otonomi Tunisia. Dengan demikian,
maka Tunisia menjadi merdeka.
- Tunisia setelah merdeka, masa rezim Borguiba.
Terbetuknya
Tunisia sebagai negara merdeka (tahun 1956), dia mencoba merespon
tuntutan-tuntutan politik maupun ekonomi. Rezim ini juga medukung kesamaan hak
untuk wanita. Emansipasi wanita diperbolehkan dan digalakkan. Mereka yang
merasa mempunyai identitas Muslim-Arab, bukan identitas Tunisia-Perancis yang
begitu kritis, terkadang menentang program-program pemerintah. Mereka tidak
mendukung adanya emansipasi wanita.
C.
MAROKO
- Situasi Sosial-Politik di bawah Protectorate Perancis
Penetrasi
ekonomi Eropa ke negara Maroko pada tahun ke-19 telah menumbangkan negara Maroko
dan menyebabkan munculnya protectorate Perancis dan Spanyol. Kelompok Barbar
sendiri bersikap menentang terhadap kebijakan penguasa Perancis. Penguasa
Perancis banyak mengelola pertania, sementara itu pribumi hanya diperbolehkan
mengelola pertanian yang kurang prospektif dan menguntungkan.
- Oposisi Maroko terhadap kekuasaan Perancis
Kondisi
sosial-politik penduduk Maroko di bawah protectorate Perancis telah memberi
dampak negatif yang cukup besar, terutama terhadap struktur sosial-politik
masyarakat Maroko. Setelah bernegosiasi dengan penguasa Perancis akhirnya
penguasa Perancis dan Sultan menerima untuk menandatangani kemerdekaan Maroko
di bawah kepemimpinan Pierre Mendes pada tahun 1956.
- Maroko setelah merdeka dibawah Sultan Muhammad dan Hasan II.
Fitur
Sultan begitu kuat dan populer di mata rakyat Maroko. Ini tentu berbeda dengan
figur Sufi yag bayak didiskreditkan karena penerimaan mereka terhadap kekuasaan
Perancis (1940-an). Tampak sikap alergi terhadap gerakan Sufi tidak hanyak
menimpa kebanyakan masyarakat, Sultan Hasan II pun kurang mendukung gerakan
ini. Gerakan ini menerbitkan surat kabar Al-Jamaah pada tahun 1979 dan Al-Subh
pada tahun 1983.
D.
LIBIA
- Kondisi sosial politik akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
Berbeda
dengan negara-negara Afrika Utara lainnya, Libiya tidak di bawah kolonialisasi
Perancis (abad ke-20). Sementara pada tahun 1902 pemerintah Perancis dan Iggris
memberikan keleluasaan pada pemerintah Italia di Tripolitania. Pada awal
september 1911,persiapan militer Italia selesai. Pada bulan Oktober Italia
telah dapat menduduki pelabuhan Libiya
- Gerakan Sunusiyyah: Kerajaan Libiya
Pendiri
gerakan tarekat ini telah mempelajari berbagai ilmu agama dan bahkan pernah
bergabung dengan gerakan lain. Yang ada di Afrika Utara gerakan Sunusiyyah
dibentuk untuk meyatukan Ikhwanuk Muslimin yang ada dan untuk menyebar luas dan
mereuitalisasi Islam. Bahkan ditegaskan bahwa gerakan Sunusiyyah dibentuk untuk
menghindari dan mempertahakan Islam dari agresi bangsa asing.
Pondok
Sunusiyyah menjadi pusat misi dan pendidikan agama Islam dan juga menjadi
perkampungan pertanian dan pertahanan yang dihubungkan dengan route-route,
perjuangan-perjuagan Sunusiyyah tidak berhenti, gerakan ini menjalin
persekutuan dengan Inggris dalam perang dunia II dengan tujuan agar Libiya
lepas dari pengawasan Italia. Akhirnya pada tahun 1969 Qadz Dzafi melakukan
kudeta terhadapnya.
- Qadzdzafi : Sang Revolusioer
Pandangan
orag baru terhadap Muammar Qadzdzafi yag lahir pada bulan Juni 1942, begitu
negatif. Dikatakan bahwa Qadzdzafi belum pernah mengenyam pendidikan dalam
bidang hukum Islam dan hanya memiliki pengetahua sekilas. Mengenai teologi
Islam Qadzdzafi memerintah Libiya melalui kudeta militer tak berdarah tahun 1969
terhadap pemerintahan Manaik. Raja Idruslah yag telah menikmati tahta kerajaan
sejak Libiya merdeka tanpa memerhatikan kesejahteraan rakyat. Tak lama setelah
revolusi 1969, Qadzdzafi melakukan reformasi hukum. Dia menyesuaikan pelaksanaa
hukum syariat yag diperluas denga Islamisasi bukan nasional Libiya pada bulan
Oktober 1971. Pada tahun 1973 Qadzdzafi mendeklasikan tiga prinsip yang menjadi
dasar sistem politik negara. Prinsip-prinsip itu adalah persatuan Arab,
demokrasi kerakyatan langsung, dan sosialisasi Islam. Pernyataan yang terakhir
ini tentu sesuai dengan prinsip dia bahwa Al-Quran bukan ajaran Nabi dan
Al-Hadits adalah satu-satuya sumber otoritas untuk merekonstruksi masyarakat.
Komentar
Posting Komentar