Oleh:
Sukron Ma’mun*
Awal pertengahan bulan Desember
ini akan digelar konferensi Media Massa Islam Internasional di Jakarta.
Konferensi ini merupakan bagian kerjasama antara Kementerian Agama RI dengan
Liga Muslim Dunia. Ilmuwan, akademisi, pejabat, dan jurnalis dari 39 negara
direncanakan menghadirnya. Tentu hal yang menarik untuk menyimak konferensi
tersebut mengingat betapa pentingnya posisi media dalam gerak kehidupan
masyarakat.
Sejauh ini media massa sebagai penyambung
informasi publik telah memainkan peran vital dalam cetak sejarah peradaban umat
manusia. Peristiwa-peristiwa penting dalam gerak sejarah manusia hampir tidak
luput dari “campur tangan” media massa. Media massa memiliki cara tersendiri
untuk menyampaikan informasi, memberikan opini, dan mengkonstruksi realitas
kehidupan. Sehingga kebebasan kontrol atas media bisa jadi menjadi suatu
persoalan tersendiri, karena pada dasarnya kodrat media harus dibebaskan atau
independen.
Tentu masih segar dalam ingatan
kita, ketika gelombang demokrasi menerpa kehidupan bangsa Indonesia pasca 1998
lalu. Jargon utamanya adalah kebebasan setiap individu untuk berserikat, berkumpul,
dan mengekspresikan keinginannya. Media massa yang semasa kekuasaan orde baru dibatasi
atau bahkan cenderung dikebiri, seolah menemukan momentum tepat untuk
mengekpresikan kebebasannya. Kebebasan tersebut tidak hanya dimanfaatkan untuk menyoroti
kinerja pemerintah, melakukan pengawasan publik (social control), dan membentuk opini masyarakat, namun juga
diekspresikan untuk kepentingan “bisnis yang menyesatkan”.
Kebebasan pers yang kemudian
salah dimaknai oleh sekelompok orang mengakibatkan kehidupan media menjadi
tidak sehat. Tingginya persaingan media massa, baik elektronik ataupun cetak
menjadikan beberapa kelompok media mencari jalan pintas untuk merebut pasar. Tanyangan
atau berita pornografi, kekerasan, dan sensasi-sensasi tayangan yang lainnya menjadi
tontonan dan berita yang menyedot massa, serta mendatangkan kapital yang besar.
Pronografi menjadi konsumsi
publik yang tak terkira dan menjadi persoalan pelik di kemudian hari. Sebagian
media massa mulai kehilangan elen vitalnya sebagai penyedia informasi, sarana
pendidikan, dan terjebak pada fungsi hiburan yang cenderung menyesatkan.
Kondisi ini mengakibatkan pentingnya pemerintah untuk membuat regulasi, yang
dikenal dengan pemblokiran situs porno.
Namun hal demikian tidaklah
cukup, jika tidak ada kemauan dari berbagai pihak untuk benar-benar menyelamatkan
generasi bangsa dari bahaya pornografi. Tentu langkah pemerintah perlu mendapat
dukungan yang sinergis dari berbagai elemen masyarakat, terlebih media massa.
Inspiratif
nan Edukatif
Media massa, tanpa terkecuali,
tentu dapat dengan tanggap segera mengambil bagian dalam hal ini. Terlebih
media massa Islam sudah seharusnya menjadi pionir untuk mengawali langkah
antisipatif. Lantas bagaimana melakukannya? Jawaban paling sederhana adalah
mengembalikan fitrah media pada fungsi utamanya.
Effendi (2000) menyatakan bahwa
fungsi utama media massa adalah penyedia atau penebar informasi (to inform), sarana pendidikan (to educate), memberi hiburan (to entertain), dan saling memberi
pengaruh (to influence). Fitrah
keempat fungsi inilah yang kemudian harus terus diingat dan diresapi oleh media
massa dalam rangka memberikan layanan pada publik. Keempatnya dilakukan secara
berimbang, bukan timpang. Sejauh ini media massa hanya memberikan informasi dan
hiburan, serta mengabaikan nilai edukasi yang ada.
Media massa harus memulai
memberikan informasi yang mampu memberikan pencerahan, tanpa tendensi dan
kepentingan-kepentingan yang menyudutkan pihak lain. Sehingga tercipta masyarakat
yang melek infomasi dan terbuka. Demikian halnya media massa harus mampu
memberi hiburan, tanpa mengabaikan aspek pengetahuan yang harus diketahui oleh
publik. Sehingga masyarakat tidak terjebak pada gaya hidup yang hedonis dan
konsumtif.
Fungsi penyebar informasi,
pendidikan, hiburan dan pemberi pengaruh dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara, sebagaimana telah banyak dilakukan oleh media massa. Rubrik-rubrik dalam
media dapat dikemas sedemikian rupa, sehingga tetap menarik dan mampu menyedot
publik.
Apa yang telah dilakukan oleh Republika
misalnya, dapat dijadikan contoh menarik. Suplemen Islam Digest, Republika,
yang terbit setiap hari Ahad dapat menjadi contoh menarik. Suplemen ini mampu
memberikan informasi, pengetahuan, dan hiburan bagi pembacanya mengenai Islam.
Informasi mengenai Islam, pengetahuan perkembangan Islam dalam berbagai sudut
pandang pengetahuan, dan hiburan yang edukatif tersaji dalam suplemen tersebut.
Tentu informasi ini tidak hanya
dimaksudkan untuk umat Islam saja, melainkan juga dapat dijadikan referensi akademik
bagi para ilmuwan dan masyarakat pada umumnya. Informasi yang menurut hemat
saya sangat edukatif, inspiratif, dan menghibur, karena pengetahuan mengenai
Islam disajikan dalam bingkai kesejarahan, kekinian, dan tantangan masa depan.
Di sinilah media massa memainkan peran informatif yang edukatif nan inspiratif.
Bangun
Peradaban
Cendikiawan Muslim, Jalaludin
Rakhmat (2001: 218) menyatakan bahwa media massa memiliki peran penting sebagai
pembentuk opini publik. Opini publik terkait erat dengan cara berfikir, pola
prilaku, dan kebiasaan yang berkembang. Kesemuanya akan terartikulasi dalam cetakan
peradaban kehidupan umat manusia pada masa mendatang. Artinya apa yang
dilakukan media massa adalah bagian bangunan peradaban umat yang cukup penting.
Media massa dapat mengambil peran
sebagai pencetak peradaban umat dengan memberikan satu informasi yang edukatif
dan inspiratif. Memberikan infomrasi, pengetahuan, dan hiburan yang tepat akan
membentuk satu pola pemikiran masyarakat yang cerah, cerdas dan terbuka. Informasi
yang edikatif nan inspiratif tentu akan mengarahkan masyarakat pada upaya
membangun peradabannya menjadi lebih baik.
Konferensi Media Massa Islam
Internasional yang digelar ini tentu menjadi momentum yang tepat untuk
melakukan evaluasi serta memikirkan ulang peran media dalam ranah publik.
Sehingga media massa Islam dapat memberikan sumbangan positif bagi kehidupan
umat manusia pada umumnya. Demikian juga tidak terjebak pada sikap partisan
yang memihak.
*Penulis
adalah Peserta The Second International Conference on Islamic Media dan Dosen
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Republika, tanggal 09 Desember 2011
Mantab pak.
BalasHapussayangnya kondisi kini banyak media massa Islam yang justru menjadi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. bahkan tidak jarang dari mereka yang mendukung ideologi keras yang mengancam NKRI
BalasHapusBagaimana dengan pertarungan media massa sebagai kepentingan ideologi saat ini?
BalasHapus