Langsung ke konten utama

Menjelang Perjanjian Hudaibiah

Materi untuk Kelompok III, materi ini saya ambil dari: http://media.isnet.org/islam/Haekal/Muhammad/. Anda bisa juga langsung mengakses pada website tersebut.




BAGIAN KESEMBILANBELAS: DARI DUA PEPERANGAN
SAMPAI KE HUDAIBIYA                                      (1/3)
Muhammad Husain Haekal
 
   Wanita dan pria dalam Islam - Ekspedisi Lihyan -
   Terbunuhnya 'Uyayna dan Aqra' - Perang Banu Mustaliq -
   Cerita Palsu.
 
SELESAI  perang  Khandaq  dan  setelah  hukuman   dilaksanakan
terhadap  Banu  Quraiza,  keadaan  Muhammad  dan kaum Muslimin
sudah  makin  stabil.  Oleh  orang-orang  Arab  mereka  sangat
ditakuti  sekali.  Banyak  dari kalangan Quraisy sendiri mulai
berpikir-pikir: tidakkah lebih baik bagi Quraisy sendiri kalau
mereka  berdamai  saja  dengan  Muhammad,  sebagai  orang yang
berasal dari mereka juga dan demikian  juga  sebaliknya,  juga
kaum  Muhajirin,  sebagai  pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin
mereka pula.
 
Kaum Muslimin sekarang merasa lega setelah pihak  Yahudi  yang
berada  di  sekitar  Medinah  itu  dapat  dibersihkan sehingga
mereka sudah tidak  punya  arti  apa-apa  lagi.  Mereka  masih
tinggal  di  Medinah  selama enam bulan lagi sesudah peristiwa
itu. Mereka meneruskan hidup dalam  usaha  perdagangan,  hidup
tenteram  dan  sejahtera. Iman mereka akan risalah yang dibawa
Muhammad  makin   dalam   makin   patuh   mereka   menjalankan
ajaran-ajarannya.  Berjalan  bersama-sama  dengan  dia  mereka
menyusun suatu masyarakat Arab, dengan cara yang  belum  biasa
bagi  mereka  sebelum itu. Bagaimana pun juga suatu masyarakat
yang teratur harus ada, masyarakat yang punya  eksistensi  dan
bersatu,  seperti  masyarakat  yang berangsur-angsur terbentuk
dibawah naungan Islam. Pada zaman  jahiliah  orang-orang  Arab
itu  tidak  pernah  mengenal arti suatu organisasi yang tetap,
selain daripada apa yang sudah berjalan menurut adat-istiadat.
Mereka   tidak   punya   suatu   ketentuan   keluarga,   suatu
undang-undang   perkawinan   dan   syarat-syarat   perceraian.
Hubungan suami-isteri dan anak-anak yang ada hanyalah apa yang
diberikan   oleh   bawaan    iklim    yang    kadang    sangat
berlebih-lebihan  dalam  bertindak  bebas,  dan kadang membawa
orang justru jadi beku dan terikat, sampai-sampai  ke  tingkat
perbudakan dengan segala penindasannya. Maka kini Islam datang
dengan menyusun suatu masyarakat Islam yang baru tumbuh,  yang
belum  lagi  punya  tradisi.  Dalam  waktu  singkat  ia  telah
membukakan jalan dalam  meletakkan  bibit  sebuah  kebudayaan,
yang  kemudian  tersusun terdiri dari peradaban Persia, Rumawi
dan Mesir, serta di warnai dengan pola peradaban  Islam,  yang
berkembang   setapak   demi   setapak   sampai   ia   mencapai
kesempurnaannya tatkala firman Allah ini datang:
 
"Hari ini Kusempurnakan bagimu agamamu  ini  dan  Kulengkapkan
pula  nikmatKu  kepadamu, kemudian Kurelakan Islam itu menjadi
agama kamu."1
 
Apa pun juga pendapat orang tentang peradaban tanah Arab serta
daerah  pedalamannya,  namun  sudahkah kota-kota seperti Mekah
dan Medinah mempunyai peradaban yang tidak dikenal oleh daerah
pedalaman,   ataukah   juga   ia  masih  berada  pada  tingkat
permulaan?  Pada  dasarnya  hubungan  pria  dan  wanita  dalam
masyarakat  Arab  itu  seluruhnya  -  berdasarkan  bukti-bukti
Qur'an serta peninggalan-peninggalan sejarah masa itu -  tidak
lebih  adalah  suatu  hubungan  jantan  dengan  betina, dengan
sedikit perbedaan, sesuai dengan tingkat-tingkat kelompok  dan
golongan-golongan  kabilah  masing-masing,  yang  pada umumnya
tidak jauh dari  cara  hidup  yang  masih  mirip-mirip  dengan
tingkatan  manusia primitif. Dalam hal ini kaum wanitanya pada
zaman jahiliah yang mula-mula mempertontonkan diri, memamerkan
kecantikannya  dengan berbagai-bagai perhiasan yang bukan lagi
terbatas   hanya   pada   suaminya.   Mereka   pergi    keluar
sendiri-sendiri atau beramai-ramai untuk keperluan yang mereka
adakan  di  tengah-tengah  padang  sahara.   Di   tempat   ini
pemuda-pemuda  dan  kaum  pria  lainnya  menyambut mereka, dan
mereka dipertemukan dengan  kelompoknya  masing-masing.  Kedua
belah  pihak  mereka  sudah tidak peduli lagi, saling bertukar
pandangan, saling bercumbu dengan kata-kata yang  manis-manis,
yang  membuat  si  jantan  jadi  senang  dan  si  betina  jadi
tenteram. Sudah begitu melekatnya cara hubungan  demikian  itu
dalam  hati  mereka,  sehingga  Hindun isteri Abu Sufyan tidak
segan-segan lagi mengatakan, di tengah-tengah  peristiwa  yang
sangat  genting  dan  gawat  dalam  perang  Uhud,  tatkala  ia
membakar semangat pasukan Quraisy:
 
   Kamu maju kami peluk
   Dan kami hamparkan kasur yang empuk
   Atau kamu mundur kita berpisah
   Berpisah tanpa cinta.
 
Pada beberapa kabilah masa itu  masalah  zina  bukanlah  suatu
kejahatan yang patut mendapat perhatian. Masalah cumbu-cumbuan
sudah   merupakan   salah   satu   kebiasaan   semua    orang.
Sumber-sumber    sejarah    menyebutkan    peristiwa-peristiwa
percintaan  yang  dilakukan  Hindun  itu  -  dengan  mengingat
kedudukan Abu Sufyan yang begitu kuat dan penting tidak sampai
mengubah kedudukan wanita itu, baik di kalangan  masyarakatnya
mau  pun  ditengah-tengah  keluarganya.  Bila  ada wanita yang
melahirkan anak, dan tidak  diketahui  siapa  bapa  anak  itu,
tidak  segan-segan  ia  akan  menyebutkan, laki-laki mana yang
telah menjamahnya untuk kemudian menghubungkan anaknya  kepada
orang yang dianggapnya paling mirip.
 
Juga  pada waktu itu masalah poligami dan perbudakan tanpa ada
batas atau sesuatu ikatan. Laki-laki  boleh  kawin  sesukanya,
boleh  mengambil  gundik  sesukanya.  Mereka  semua boleh saja
beranak sesuka-sukanya. Soal  ini  tidak  penting  waktu  itu,
kecuali jika dianggap sebagai rahasia yang akan terbongkar dan
dikuatirkan akan membawa malu serta  apa  yang  kadang  sampai
menimbulkan  ejek-mengejek. Tiada seorang yang mengetahui akan
permusuhan atau  peperangan  yang  mungkin  timbul  karenanya.
Ketika  itulah  masalahnya  jadi  berubah  sama  sekali. Kalau
dahulu orang melihat  semangat  cinta-berahi  dan  api  asmara
telah menutupi rasa keakraban, kini hal itu telah dicabik oleh
adanya  permusuhan  yang  dapat  menyebabkan   timbulnya   api
peperangan  dan  semangat pertempuran, Dan bila permusuhan ini
sudah berkecamuk, maka masing-masing  pihak  akan  menyebarkan
desas-desus  sesuka  hati  dan akan saling menuduh sesuka hati
pula. Imajinasi orang Arab itu biasanya subur sekali,  terbawa
oleh    cara    hidupnya    dibawah   langit   terbuka   serta
pengembaraannya dalam mencari rejeki. Ia  didorong  oleh  cara
yang  berlebih-lebihan,  dan  kadang  berdusta dalam soal-soal
perdagangan.
 
Seorang orang Arab suka sekali pada waktu  yang  terluang  dan
diisinya  dengan  bercumbu.  Dalam hal ini khayalnya bertambah
subur, baik  diwaktu  damai  mau  pun  waktu  perang.  Apabila
diwaktu  damai  si  buyung  bertemu  dengan si upik, berbicara
dengan bahasa asmara,  dengan  kata-kata  yang  sedap,  dengan
pujian yang manis-manis, maka diwaktu perang dan dalam keadaan
bermusuhan orang akan melihat si buyung ini juga membuka suara
keras-keras   ditujukan   kepada   si  upik,  yang  dilihatnya
didepannya dalam keadaan telanjang, sambil  mengata-ngatainya,
misalnya,  tentang  leher wanita itu, tentang dadanya, tentang
payudaranya,  tentang  pinggangnya,  tentang   bokongnya   dan
sebagainya   dengan   cara  permusuhan  yang  beraneka  ragam,
Khayalnya itu terangsang, yang mengenal wanita  hanya  sebagai
betina dan yang akan menghamparkan kasur.
 
Kendatipun  Islam  sudah  mengikis  mental  semacam itu, namun
pengaruhnya masih  saja  ada  seperti  yang  kita  baca  dalam
sajak-sajak 'Umar b. Abi Rabi'a dan sajak-sajak erotik lainnya
dalam  sastra  yang   masih   terpengaruh   kepadanya,   dalam
zaman-zaman  tertentu.  Meskipun  hanya  sedikit sekali, namun
pengaruhnya dalam sastra masih juga terasa  sampai  pada  masa
kita sekarang ini.
 
Bagi pembaca yang suka mengagumi Arab dan peradabannya, bahkan
yang suka mengagumi Arab jahiliah sekalipun, gambaran demikian
ini  barangkali  akan  terasa  agak  dilebih-lebihkan. Pembaca
demikian ini tentu dapat dimaafkan. Ia membandingkan  gambaran
yang  kita  kemukakan ini dengan fakta yang terjadi dalam masa
sekarang, dengan segala hubungannya antara pria dengan  wanita
dalam  perkawinan  dan  perceraian serta hubungan suami-isteri
dengan anak-anaknya. Akan  tetapi  perbandingan  demikian  ini
salah   sekali,   yang   akibatnya  akan  sangat  menyesatkan.
Sebaliknya yang harus  dibandingkan  ialah  antara  masyarakat
Arab yang salah satu seginya kita gambarkan terjadi dalam abad
ketujuh  Masehi  itu  dengan   masyarakat-masyarakat   beradab
lainnya  masa itu juga.
 
Rasanya tidak terlalu  berlebih-lebihan  kalau  kita  katakan,
bahwa  masyarakat-masyarakat  Arab masa itu dengan segala yang
sudah    kita    lukiskan,    jauh     lebih     baik     dari
masyarakat-masyarakat lain yang sezaman, di Asia dan di Eropa.
Kita tidak akan bicara tentang keadaan di  Tiongkok,  atau  di
India.  Kita  belum  punya bahan-bahan yang cukup tentang itu.
Pengetahuan kita  tentang  itu  sedikit  sekali,  belum  cukup
adanya.  Akan  tetapi  Eropa  Utara  dan  Eropa Barat masa itu
berada dalam kegelapan, yang dapat  kita  lihat  dari  susunan
keluarganya, yang memang mirip-mirip susunan manusia primitif.
Rumawi sebagai pemegang undang-undang masa itu,  sebagai  yang
perkasa  dan  berkuasa, satu-satunya kerajaan yang paling kuat
menyaingi   Persia,   menempatkan   kedudukan   kaum    wanita
dibandingkan  dengan  prianya,  masih dibawah kedudukan wanita
Arab,  sekalipun  yang  di  pedalaman.  Menurut  undang-undang
Rumawi  masa  itu,  wanita adalah harta benda milik laki-laki,
dapat diperlakukan sehendak hati, ia berkuasa dari soal  hidup
sampai   matinya,   dipandang   persis  seperti  budak.  Dalam
pandangan undang-undang Rumawi  wanita  tidak  berbeda  dengan
budak. Ia menjadi milik bapanya, kemudian milik suaminya, lalu
milik anaknya. Pemilikan demikian ini persis seperti  memiliki
budak  atau  seperti  memiliki binatang dan benda mati. Wanita
dipandangnya hanya sebagai pembangkit nafsu berahi.  Ia  tidak
punya  kuasa  apa-apa terhadap sifat kebetinaannya, hingga mau
tidak mau ia harus pura-pura berbuat  sopan  sedapat  mungkin,
dan  ini  tetap  berlaku demikian selama berabad-abad kemudian
dari apa yang sudah kita gambarkan tentang keadaan di  jazirah
Arab   itu.   Padahal   Isa  Almasih  a.s.  cukup  hormat  dan
lemah-lembut kepada wanita. Beberapa orang pengikutnya  merasa
heran  melihat  dia  begitu  baik  terhadap  Maryam Magdalena,
ketika ia berkata: "Barangsiapa dari kamu yang tidak  berdosa,
lemparilah dia dengan batu."
 
Tetapi Eropa yang sudah menganut Kristen  tetap  seperti  dulu
juga,  seperti  Eropa  yang  masih  pagan,  sangat merendahkan
wanita. Hubungannya dengan pria bukan hanya dilihatnya sebagai
hubungan  jantan  dan  betina saja, bahkan dianggapnya sebagai
hubungan perbudakan dan sangat hina, sehingga  pada  masa-masa
tertentu   ahli-ahli  agamanya  masih  bertanya-tanya:  Apakah
wanita itu punya ruh yang akan  dapat  diadili,  atau  seperti
hewan  saja tanpa ruh dan tidak ada pengadilan Tuhan kepadanya
dan tidak ada tempat pula di kerajaan Tuhan.
 
Dengan wahyu yang diterimanya Muhammad dapat menentukan, bahwa
takkan  ada perbaikan masyarakat tanpa ada kerja-sama pria dan
wanita, dalam arti saling bantu membantu sebagai saudara  yang
penuh kasih-sayang. Hak dan kewajiban wanita sama, dengan cara
yang sopan, hanya laki-laki mempunyai  kelebihan  atas  mereka
itu.  Tetapi  pelaksanaannya  secara  sekaligus  tidak  mudah.
Betapa  pun  tebalnya  iman  orang-orang  Arab  yang   menjadi
pengikutnya,  namun  mengajak  dengan perlahan-lahan dan tanpa
menyinggung perasaan, akan lebih mempertebal iman mereka serta
memperbanyak  pendukung.  Demikian juga dalam setiap reformasi
sosial, yang  oleh  Tuhan  diwajibkan  kepada  kaum  Muslimin.
Bahkan   dalam   kewajiban-kewajiban   agama   sendiri:  dalam
sembahyang,  puasa,  zakat  dan  haji,  demikian  juga   dalam
larangan-larangannya,  seperti  minuman-minuman  keras,  judi,
daging babi dan sebagainya.
 
Sehubungan  dengan  reformasi  sosial  ini   serta   ketentuan
hubungan  pria  dan wanita, oleh Muhammad telah dimulai dengan
contoh    yang    diberikannya    melalui    dirinya    dengan
isteri-isterinya  yang  disaksikan  sendiri  oleh  semua  kaum
Muslimin.  Masalah  hijab  (tabir)  bagi  isteri-isteri   Nabi
misalnya,  sebelum  perang  Ahzab  (Khandaq) tidak diwajibkan.
Demikian juga pembatasan  kepada  empat  orang  isteri  dengan
syarat  adil  ditentukannya  baru sesudah perang Ahzab, bahkan
lebih dari setahun setelah perang Khaibar.  Bagaimanakah  Nabi
dapat  membina  hubungan yang kuat antara laki-laki dan wanita
atas  dasar  yang  sehat,  sebagai  pengantar  kepada   adanya
persamaan  yang  memang  menjadi  tujuan  Islam itu? Ya, suatu
persamaan yang menjadikan hak dan kewajiban wanita  itu  sama,
dengan  cara  yang  sopan sedang laki-laki mempunyai kelebihan
atas mereka itu.
 
Pada mulanya hubungan pria dan wanita  di  kalangan  Muslimin,
seperti  di  kalangan  Arab  lainnya  - sebagaimana sudah kita
sebutkan - terbatas hanya pada  hubungan  jantan  dan  betina.
Mempertontonkan  diri  dan  memamerkan  perhiasan  (berdandan)
dengan cara yang akan membuat laki-laki  itu  terangsang  oleh
kaum   wanita  setiap  ada  kesempatan,  berarti  akan  saling
menambah  nafsu  berahi  antara  laki-laki  dengan  perempuan.
Sebaliknya,  hal  yang akan lebih dapat membatasi antara kedua
belah pihak itu berarti  akan  lebih  mendekatkan  orang  pada
dasar  kemanusiaan  yang  lebih  tinggi,  dasar persamaan jiwa
dalam beribadat, yang hanya kepada Allah semata-mata.
 
Dengan adanya kelompok-kelompok Yahudi dan orang-orang munafik
dalam  Kota,  serta  sikap permusuhan mereka terhadap Muhammad
dan terhadap kaum Muslimin, nyatanya mereka itu sampai  berani
pula   menggoda   wanita-wanita  Islam  yang  akhirnya  sampai
mengakibatkan dikepungnya Banu  Qainuqa'  seperti  yang  sudah
kita     lihat.    Meningkatnya    gangguan-gangguan    kepada
wanita-wanita Islam itu  telah  menimbulkan  problema-problema
baru  yang tidak seharusnya ada. Sekiranya wanita-wanita Islam
itu tidak  sampai  memamerkan  diri  berdandan  ketika  mereka
keluar  rumah,  niscaya  mereka akan lebih mudah dikenal orang
dan  dengan  demikian  mereka  tidak  akan  diganggu.   Adanya
problema-problema  itu  pun akan dapat dikurangi dan persamaan
antara kedua jenis yang dikehendaki oleh  Islam  itupun  dalam
pelaksanaannya akan merupakan suatu permulaan yang baik pula -
dengan tanpa dirasakan oleh kaum  Muslimin  -  baik  pria  dan
wanita  - akan adanya suatu masa peralihan dalam konsepsi yang
belum dibiasakan itu.
 
Dalam situasi yang semacam itulah firman Tuhan ini datang:
 
"Dan mereka yang mengganggu kaum  laki-laki  dan  wanita  yang
sudah  beriman,  tanpa  ada  kesalahan  yang  mereka  perbuat,
orang-orang itu sebenarnya telah berbuat kebohongan  dan  dosa
terang-terangan.     Wahai     Nabi,     katakanlah     kepada
isteri-isterimu, puteri-puterimu dan isteri-isteri orang-orang
beriman, hendaklah mereka itu menutup tubuh dengan baju dalam.
Dengan demikian mereka akan lebih mudah dikenal, dan karenanya
mereka tidak akan diganggu. Sungguh Tuhan adalah Pengampun dan
Penyayang. Kalau pun  orang-orang  munafik,  orang-orang  yang
dalam  hatinya berpenyakit dan orang-orang yang suka menghasut
di dalam kota tiada juga  berhenti  (menyerang  kamu)  niscaya
akan Kami dorong engkau menyerang mereka; kemudian mereka akan
menjadi tetanggamu di tempat itu hanya sementara saja.  Mereka
sudah  terkutuk. Di mana saja mereka berada, mereka ditangkap,
dan dibunuh secara  tidak  kenal  ampun.  Begitulah  ketentuan
Tuhan  terhadap  mereka  yang telah lampau, dan tidak akan ada
ketentuan Tuhan itu yang berubah-ubah." (Qur'an 33: 58-62)
 
Dengan  pendahuluan  demikian  itu,  tidak  sulit  bagi   kaum
Muslimin  dalam  meninggalkan  adat kebiasaan Arab dahulu kala
itu. Demikian juga yang  menjadi  tujuan  hukum  Islam  dengan
penyusunan  masyarakat  atas  dasar  keluarga yang bersih dari
segala  hama  sehingga  masalah  zina  itu  dianggap   sebagai
kejahatan   besar,   telah  mempermudah  setiap  Muslim  untuk
menilai, bahwa wanita yang mempertontonkan  diri  kepada  pria
adalah  suatu  perbuatan  tercela,  sebab  hubungan  laki-laki
dengan wanita tidak mengijinkan hal yang serupa itu. Dalam hal
ini Tuhan berfirman:
 
"Katakanlah   kepada  laki-laki  yang  beriman  supaya  mereka
menahan  penglihatan  dan  menjaga  kehormatan  mereka.   Yang
demikian   akan   lebih  bersih  buat  mereka.  Sungguh  Tuhan
mengetahui benar apa yang kamu perbuat. Juga katakanlah kepada
wanita-wanita  yang beriman supaya mereka menahan penglihatan,
memelihara  kehormatan  dan  tiada  menonjolkan   perhiasannya
(dandanan)  selain  yang  memang  nyata  kelihatan.  Hendaklah
mereka menyampaikan tutup  itu  ke  bagian  dada;  dan  jangan
menonjolkan  dandanan  itu  selain  kepada  suami,  bapa, bapa
suami, anak-anak saudara, anak-anak suaminya,  saudara-saudara
atau  anak-anak  saudara,  anak-anak suaminya, saudara-saudara
atau  anak-anak  saudara,  anak-anak  saudara  perempuan  atau
sesama  wanita,  yang  menjadi  miliknya  atau pelayan-pelayan
laki-laki yang sudah tidak punya keinginan atau anak-anak yang
belum mengerti aurat wanita dan jangan pula menggerak-gerakkan
kaki supaya perhiasannya  yang  tersembunyi  diketahui  orang.
Orang-orang  beriman, hendaklah kamu sekalian bertaubat kepada
Allah kalau-kalau kamu berhasil." (Qur'an 24: 30-31)
 
Demikianlah prakteknya dalam Islam. Hubungan pria  wanita  itu
berkembang  setapak  demi setapak meninggalkan yang lama. Jadi
hubungan  jantan-betina  yang  dikuatirkan  akan   menimbulkan
fitnah,   tak   ada  lagi.  Sedang  mengenai  keperluan  hidup
sehari-hari  lainnya  dan  yang   mengenai   segala   hubungan
pria-wanita,  maka  dalam  semuanya  adalah  sama, semua hamba
Allah, semua bekerja-sama untuk kebaikan  dan  untuk  bertaqwa
kepada  Allah.  Apabila  ada  pihak  yang  sudah terlanjur mau
membangkitkan nafsu kelamin, baik laki-laki atau wanita,  maka
orang  itu  harus  bertaubat kepada Tuhan. Tuhan Maha Pemurah,
dan Pengampun.
 
Akan tetapi untuk mengubah semua itu, untuk mengalihkan mental
Arab  dari  semua  pendirian  lama  -  seperti  halnya  dengan
pendirian tentang keimanan kepada  Allah  Yang  Maha  Esa  dan
meninggalkan  kepercayaan  syirik - ke dalam mental yang baru,
tidak akan cukup dalam waktu  yang  begitu  singkat.  Hal  ini
sudah  wajar  sekali.  Benda  yang  sudah  diacu  dalam bentuk
tertentu misalnya, tidak akan mudah mengubahnya,  kalau  tidak
dengan  sedikit  demi  sedikit.  Dan  bagaimana pun diusahakan
mengubahnya namun yang akan dapat berubah tidak seberapa juga.
Begitulah   halnya   hidup   manusia  yang  hidup  serba-benda
(materialistis). Ia dibentuk oleh  adat-kebiasaan  yang  sudah
turun-temurun,   oleh   tradisi   lingkungan  dalam  soal-soal
hidupnya. Apabila dikehendaki adanya sesuatu  perubahan,  maka
dalam memindahkan perubahan itu harus dengan berangsur-angsur,
dan perubahan yang berangsur-angsur  ini  tidak  akan  terjadi
kalau  tidak  mengubah  diri-sendiri.  Adakalanya  orang dapat
mengubah  dalam  arti  mental  dari  satu  segi  saja   dengan
menghilangkan  rintangan  yang  mungkin ada di hadapannya. Hal
ini  sudah  dapat  dilakukan  Islam  terhadap  kaum   Muslimin
sehubungan dengan tauhid serta iman kepada Allah, kepada Rasul
dan hari kemudian. Akan tetapi masih banyak  segi-segi  mental
Arab  itu  yang  belum  lagi  dapat  di tembus, terutama dalam
soal-soal  hidup  kebendaan.  Oleh  karenanya   keadaan   kaum
Muslimin   ketika  itu  tetap  tidak  begitu jauh dari suasana
sebelum  Islam.  Mereka  serba  lamban,  karena  memang  sudah
menjadi  bawaan  cara  hidup  padang pasir, dan sudah terbiasa
pula suka bicara dengan wanita.
 
Jadi apa yang sudah kita  kemukakan  mengenai  perubahan  yang
dibawa  oleh  agama  baru  itu terhadap pandangan hidup mereka
tentang hubungan laki-laki dengan perempuan, namun selain  itu
keadaan  mereka  masih  seperti  dahulu juga, atau mirip-mirip
begitu. Banyak  diantara  mereka  itu  yang  mau  begitu  saja
memasuki   rumah   Nabi,  kemudian  mau  duduk-duduk  dan  mau
mengobrol dengan Nabi  dan  dengan  isteri-isterinya.  Padahal
persoalan-persoalan  kenabian  yang begitu besar lebih penting
daripada  membiarkan  Muhammad  sibuk  menghadapi  pembicaraan
mereka  yang  datang mengunjunginya itu, serta mereka yang mau
mengobrol   dengan   isteri-isterinya   dan   yang    kemudian
pembicaraan-pembicaraan  mereka  itu  dibawa  kepadanya.  Oleh
karena itu AIlah  menghendaki  supaya  Nabi  dihindarkan  dari
soal-soal  kecil  semacam  itu,  maka  ayat-ayat  berikut  ini
datang:
 
"Orang-orang yang beriman! Janganlah kamu masuk ke dalam rumah
Nabi,  kecuali  bila diijinkan dalam menghadapi suatu hidangan
makan yang bukan sengaja mau mengintip-intip untuk itu. Tetapi
bila  kamu  diundang, hendaklah kamu masuk. Maka apabila sudah
selesai  hendaklah  kamu  pergi,  dan  jangan  mau   enak-enak
mengobrol.  Sesungguhnya  yang  demikian itu sangat mengganggu
Nabi, tetapi dia malu kepada kamu,  sedang  Allah  tidak  akan
malu  dalam  hal  kebenaran. Dan apabila ada sesuatu yang kamu
minta dari mereka (isteri-isteri Nabi), mintalah dari belakang
tirai.  Hal  ini  akan  lebih  bersih dalam hati kamu dan hati
mereka. Tiada semestinya kamu akan mengganggu Rasulullah, juga
jangan  pula  kamu  akan  mengawini  janda-jandanya setelah ia
wafat; sebab yang demikian itu dipandang Tuhan sebagai  (dosa)
yang besar." (Qur'an, 33: 53)
 
 
Seperti   halnya   ayat-ayat   ini   turun   ditujukan  kepada
orang-orang yang  beriman  dan  yang  juga  sebagai  bimbingan
kepada  mereka  mengenai  kewajiban  mereka  terhadap Nabi dan
isteri-isterinya,  juga  kedua  ayat  berikut  ini  pun  turun
ditujukan kepada isteri-isteri Nabi dalam hal yang sama pula:
 
"Wahai    isteri-isteri   Nabi.   Kamu   tidak   sama   dengan
wanita-wanita  lain.  Kalau  kamu  berbakti  (kepada   Allah),
janganlah  kamu  berlemah-lembut dalam kata-kata, nanti timbul
keserakahan orang yang  hatinya  berpenyakit  (jahat).  Tetapi
katakanlah  dengan  kata-kata  yang  baik-baik  saja.  Tinggal
sajalah kamu di dalam rumah. Jangan kamu mempertontonkan  diri
seperti  kelakuan  orang  zaman  jahiliah  dahulu.  Lakukanlah
sembahyang, keluarkan  zakat  serta  patuh  kepada  Allah  dan
RasulNya.  Sesungguhnya  Allah  hendak menghilangkan noda dari
kamu, keluarga Nabi, dan membersihkan  kamu  sungguh-sungguh."
(Qur'an, 33: 32-33)

BAGIAN KESEMBILANBELAS: DARI DUA PEPERANGAN
SAMPAI KE HUDAIBIYA                                      (2/3)
Muhammad Husain Haekal
 
Demikian  inilah  persiapan  kehidupan  sosial  yang baru yang
dikehendaki oleh Islam untuk suatu  masyarakat  umat  manusia.
Landasannya  ialah  mengubah  sama-sekali pandangan masyarakat
itu akan hubungan  laki-laki  dengan  wanita.  Ia  menghendaki
dihapusnya   segala   tanggapan   tentang  sex  (libido)  yang
menguasai pikiran manusia selama ini,  dan  dalam  segala  hal
menganggapnya   sebagai  satu-satunya  yang  berkuasa.  Dengan
demikian yang dikehendaki  ialah  mengarahkan  masyarakat  itu
sesuai  dengan  tujuan  hidup  umat  manusia yang lebih tinggi
dengan tidak mengurangi kesenangan hidupnya, yaitu  kesenangan
hidup  yang  tidak  akan  mengurangi  pula  kebebasannya untuk
berkeinginan - apalagi  sampai  akan  menghilangkan  kebebasan
untuk  berkeinginan  ini  -  dan yang akan melahirkan hubungan
manusia dengan  semesta  alam.  Dari  tingkat  hidup  mengolah
tanah, dari tingkat hidup usaha perindustrian dan perdagangan,
yang bagaimana pun, ke  tingkat  yang  lebih  tinggi,  setaraf
dengan  kehidupan  orang-orang  suci,  dan  akan berkomunikasi
dengan  cara  malaikat.  Puasa,  salat,   zakat   yang   telah
ditentukan  oleh  Islam,  ialah alat untuk mencapai taraf ini;
yang  akan  mencegah   perbuatan   keji,   kemungkaran   serta
pelanggaran.  Sekaligus  ia  akan  membersihkan  jiwa dan hati
orang dari segala penyakit  menghambakan  diri  selain  kepada
Allah,  disamping  memperkuat  tali persaudaraan antara sesama
orang  beriman,  memperkuat  hubungan  antara  manusia  dengan
segala yang ada dalam semesta alam ini.
 
Penyusunan  suatu  kehidupan  sosial  secara  berangsur-angsur
sebagai suatu  persiapan  kearah  transisi  besar  yang  telah
disediakan  oleh Islam bagi umat manusia ini, tidak mengurangi
pihak  Quraisy  dan   kabilah-kabilah   Arab   lainnya   dalam
menantikan  kesempatan  hendak  menghancurkan Muhammad. Tetapi
juga Muhammad tidak kurang pula selalu waspada. Cepat-cepat ia
bergerak  untuk  menanamkan rasa takut dalam hati pihak musuh,
bila dianggap perlu.
 
Itu sebabnya, enam bulan kemudian setelah Banu  Quraiza  dapat
dihancurkan,  ia  sudah merasakan adanya suatu gerakan lain di
sekitar Mekah. Terpikir olehnya akan membalas kematian Khubaib
b. 'Adi dan kawan-kawannya yang telah dibunuh oleh Banu Lihyan
di Raji' dua tahun yang lalu itu. Akan  tetapi  maksudnya  ini
tidak  diumumkan, kuatir pihak musuh akan segera berjaga-jaga.
Untuk dapat menyergap pihak musuh ia pura-pura pergi ke  Syam.
Dengan membawa perlengkapan perang ia berangkat menuju ke arah
utara.
 
Setelah yakin sekali bahwa Quraisy dan  sekutu-sekutunya  yang
berdekatan  tak  ada yang menyadari maksudnya, ia pun membelok
ke  arah  Mekah  dengan  berjalan  lebih  cepat  lagi.  Tetapi
sesampainya  di  perkampungan Banu Lihyan di 'Uran, masyarakat
setempat telah melihatnya  ketika  pertama  kali  ia  menyusur
jalan  ke  selatan.  Dari mereka inilah Banu Lihyan mengetahui
bahwa ia menuju ke tempat mereka. Mereka pun segera berlindung
ke  puncak-puncak  bukit  dengan membawa harta-benda yang ada.
Nabi tidak sampai berhasil menyergap mereka.
 
Ketika itu ia lalu menugaskan Abu Bakr dengan membawa  seratus
orang pasukan menuju 'Usfan2 tidak jauh dari Mekah. Rasulullah
sendiri kemudian kembali ke Medinah. Ketika  itu  panas  musim
sedang sampai di puncaknya, sehingga Nabi berkata:
 
"Yang kembali dan  yang  bertobat      jika  dikehendaki Allah
kiranya    kepada  Tuhan  juga  kami   memuji   syukur.   Saya
berlindung kepada Allah dari perjalanan yang sangat meletihkan
ini, serta  kedukaan  karena  diri  kembali  dari  perjalanan3
dengan keburukan yang tampak pada keluarga dan harta-benda."
 
Baru   beberapa   malam  saja  Muhammad  kembali  ke  Medinah,
tiba-tiba datang 'Uyaina b.  Hishn  menyerang  pinggiran  kota
itu.   Di   tempat   tersebut  ada  beberapa  ekor  unta  yang
digembalakan, dijaga oleh seorang laki-laki dengan  isterinya.
Laki-laki  itu  oleh  'Uyaina dan kawan-kawannya dibunuh, unta
diambil dan perempuan itu dibawa. Mereka segera  pergi  dengan
perkiraan  bahwa  mereka  telah  dapat menyelamatkan diri dari
pengejaran. Tetapi sebenarnya Salama b. 'Amr bin'l-Akwa'  yang
sudah   lebih   dulu   memacu   kudanya  menuju  hutan  dengan
bersenjatakan    panah    dan    busur,    ketika    melintasi
Thaniat'l-Wada'  dan  menjenguk  ke bawah dari arah bukit Sal'
rombongan yang sedang menggiring unta dan membawa  wanita  itu
dilihatnya.  Ketika  itu  pula  ia  berteriak  meminta bantuan
sambil terus mengikuti jejak rombongan itu. Ia melepaskan anak
panahnya  ke  arah mereka, setelah ia berada agak lebih dekat.
Dalam pada itu tiada henti-hentinya ia berteriak. Dan teriakan
Salama itu akhirnya sampai juga kepada Muhammad. Maka kemudian
ia pun memanggil-manggil penduduk  Medinah:  Ada  bahaya!  Ada
bahaya!
 
Seketika  itu  juga pahlawan-pahlawan kota datang dari segenap
penjuru.  Setelah  mendapat  perintah  mereka  pun   berangkat
mengikuti  jejak  gerombolan  itu.  Dia  sendiri mempersiapkan
pasukannya lalu berangkat  menyusul  mereka.  Ia  berhenti  di
sebuah gunung di bilangan Dhu Qarad.
 
Sementara  itu  'Uyaina  dan  anak  buahnya  sudah mempercepat
langkah,  ingin  lekas-lekas  bergabung  dengan  Ghatafan  dan
melepaskan  diri dari pengejaran Muslimin. Akan tetapi pasukan
Medinah berhasil mencapai barisan belakang mereka.  Sebahagian
unta  itu  dapat  diselamatkan  kembali  dari  tangan  mereka.
Kemudian Muhammad datang menyusul dan  memberikan  bantuannya.
Wanita  beriman  yang  dibawa  oleh  orang-orang  Arab itu pun
selamat pula.
 
Ada beberapa orang dari sahabat-sahabat Nabi,  terdorong  oleh
rasa panas hati, ingin terus mengejar 'Uyaina. Tetapi dilarang
oleh Rasulullah, sebab sudah diketahuinya  bahwa  'Uyaina  dan
anak  buahnya  sudah  sampai ke tempat Ghatafan dan berlindung
kepada mereka.
 
Bila kaum Muslimin kemudian kembali ke Medinah, isteri penjaga
itu  pun  datang  pula  menyusul di atas seekor unta kepunyaan
kaum Muslimin. Wanita itu sudah bernadar, bahwa kalau unta itu
dapat  diselamatkan,  akan disembelihnya seekor sebagai kurban
buat Tuhan. Tetapi setelah nadarnya disampaikan  kepada  Nabi'
Nabi  berkata:  "Suatu  balasan yang buruk sekali, Tuhan sudah
mengantarkan engkau dan menyelamatkan engkau dengan unta  itu,
lalu  unta  itu  yang  akan  kausembelih. Nadar dengan berdosa
kepada Tuhan tidak  berlaku,  juga  atas  sesuatu  yang  tidak
kaupunyai."
 
Sesudah  itu  Muhammad  tinggal  di  Medinah  hampir dua bulan
sudah.  Kemudian  terjadi  suatu   ekspedisi   terhadap   Banu
Mushtaliq  di  Muraisi' - suatu ekspedisi yang telah dijadikan
bahan studi oleh setiap ahli sejarah dan penulis sejarah hidup
Nabi.  Soalnya bukan karena ekspedisi itu sangat penting, atau
karena kedua belah pihak - Muslimin dan musuhnya  -  bertempur
mati-matian  sampai  melampaui  batas, tetapi karena kenyataan
adanya malapetaka yang kemudian hampir menjalar kedalam  tubuh
Muslimin  sendiri  kalau  tidak segera Rasul mengambil langkah
yang sangat baik sekali, tegas  dan  meyakinkan;  juga  karena
kemudian  Rasul  kawin  dengan  Juwairiah  bt.  al-Harith, dan
karena ekspedisi ini telah  pula  menimbulkan  hadith'l-ifk  -
peristiwa  kebohongan  -  tentang  diri  Aisyah. Peristiwa ini
telah menempatkannya kedalam persoalan iman dan kekuatan  hati
- sementara usianya masih enambelas tahun - sehingga segalanya
tidak akan berdaya, hanya karena keagungan iman  dan  kekuatan
hati itu jugalah.
 
Bahwa  kegiatan  Banu  Mushtaliq  - yang merupakan bagian dari
Khuza'a   -   yang   telah   mengadakan   persepakatan   dalam
perkampungan  mereka  di  dekat  Mekah, beritanya telah sampai
pula kepada Muhammad. Mereka sedang mengerahkan segala potensi
dengan  maksud  hendak  membunuh Muhammad dengan dipimpin oleh
komandan mereka Al-Harith b. Abi Dzirar. Rahasia ini diperoleh
Muhammad   dari   salah   seorang   orang  badwi.  Maka  iapun
cepat-cepat berangkat sementara mereka sedang lengah,  seperti
biasanya  bila ia menghadapi musuh. Pimpinan pasukan Muhajirin
di tangan Abu Bakr dan pimpinan pasukan Anshar di tangan  Sa'd
b.  'Ubada.  Pihak  Muslimin ketika itu sudah berada di sebuah
pangkalan air yang bernama Muraisi', tidak jauh  dari  wilayah
Banu  Mushtaliq. Kemudian Banu Mushtaliq dikepung. Pihak-pihak
yang tadinya datang  hendak  memberikan  pertolongan  sekarang
mereka sudah lari. Dari Banu Mushtaliq sepuluh orang terbunuh'
dari  Muslimin  seorang,  konon  bernama  Hisyam  b.  Shubaba,
dibunuh  oleh  salah  seorang  dari Anshar, yang keliru dikira
dari pihak musuh.
 
Setelah terjadi sedikit saling hantam dengan  panah,  tak  ada
jalan  lain  buat Banu Mushtaliq mereka harus menyerah dibawah
tekanan pihak Muslimin  yang  kuat  dan  bergerak  cepat  itu.
Mereka  dibawa  sebagai  tawanan  perang,  begitu  juga wanita
mereka, unta dan binatang  ternak  yang  lain.  Dalam  pasukan
tentara  itu  Umar  ibn'l-Khattab  mempunyai orang upahan yang
bertugas menuntunkan kudanya. Selesai  pertempuran  orang  ini
pernah  berselisih  dengan salah seorang dari kalangan Khazraj
karena  soal  air.  Mereka  jadi   berkelahi   dan   sama-sama
berteriak.  Pihak  Khazraj  berkata: "Saudara-saudara Anshar!"
Sedang  orang  sewaan  Umar  berkata  pula:   "Saudara-saudara
Muhajirin!"
 
Teriakan  demikian  itu terdengar juga oleh Abdullah b. Ubayy,
yang ketika itu bersama-sama dengan orang-orang munafik  turut
pula  dalam  ekspedisi  dengan  harapan  akan  beroleh  bagian
rampasan perang. Dendamnya kepada pihak  Muslimin  dan  kepada
Muhammad  segera  timbul.  Dalam  hal  ini  ia  berkata kepada
kawan-kawannya:
 
"Di kota kita ini sudah banyak  kaum  Muhajirin.  Penggabungan
kita  dengan mereka akan seperti kata peribahasa: 'Membesarkan
anak harimau.'4 Sungguh, kalau kita sudah kembali ke  Medinah,
orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina."
 
Kemudian  kepada  golongannya yang hadir waktu itu ia berkata:
"Inilah yang telah kamu perbuat sendiri. Kamu benarkan  mereka
tinggal  di  negerimu  ini, dan kamu bagi harta-bendamu dengan
mereka. Demi Allah, kalau apa yang  ada  pada  kamu  itu  kamu
pertahankan, pasti mereka akan beralih ke tempat lain."
 
Percakapannya  itu dibawa orang kepada Rasulullah, yang ketika
itu  baru  selesai   menghadapi   musuh.   Ketika   itu   Umar
ibn'l-Khattab hadir. Mendengar itu Umar marah sekali.
 
"Perintahkan kepada Bilal supaya membunuhnya," katanya.
 
Seperti  biasanya,  disini  Nabi  memperlihatkan sikap sebagai
seorang  pemimpin  yang  sudah  matang,  bijaksana  dan  punya
pandangan jauh. Berpaling kepada Umar ia berkata:
 
"Umar  bagaimana  kalau  sampai  menjadi pembicaraan orang dan
orang mengatakan, bahwa Muhammad  membunuh  sahabat-sahabatnya
sendiri?"
 
Akan  tetapi  dalam  pada itu ia sudah mempertimbangkan, bahwa
soalnya akan jadi rumit  sekali  kalau  tidak  segera  diambil
langkah  yang  tegas.  Oleh  karena  itu diperintahkannya agar
diumumkan  untuk  segera  berangkat  dalam  waktu  yang  tidak
biasanya  kaum  Muslimin  meninggalkan tempat itu. Berita yang
disampaikan orang kepada  Nabi  itu  sampai  juga  kepada  Ibn
Ubayy.  Cepat-cepat  ia  menemui  Nabi hendak membantah adanya
berita yang dihubungkan kepadanya itu. Ia bersumpah atas  nama
Tuhan,  bahwa  dia  tidak  mengatakan  dan tidak pernah bicara
begitu. Tetapi ini tidak mengubah  keputusan  Muhammad  hendak
meninggalkan tempat itu. Bahkan sepanjang hari hingga sore dan
sepanjang malam hingga  pagi  harinya  lagi  terus-menerus  ia
memimpin  perjalanan  itu  hingga  pada pertengahan hari kedua
tatkala terik matahari sudah terasa sangat mengganggu.
 
Setelah sampai, karena sudah sangat lelah, begitu badan mereka
menyentuh  lantai,  mereka  pun segera tertidur. Karena sangat
lelah orang sudah lupa cakap Ibn  Ubayy.  Sesudah  itu  mereka
pulang   ke   Medinah   dengan  membawa  rampasan  perang  dan
orang-orang  tawanan  Banu  Mushtaliq,  diantaranya   Juwairia
bint'l-Harith b. Abi Dzirar, pemimpin dan komandan daerah yang
sudah dikalahkan itu.
 
Kaum Muslimin sudah sampai di Medinah. Abdullah ibn Ubayy  pun
sudah  di  sana. Ia sudah tidak pernah tenang, hatinya gelisah
selalu, terbawa oleh rasa dengki kepada  Muhammad  dan  kepada
Muslimin.  Pura-pura  ia  sebagai  orang Islam, bahkan sebagai
orang beriman, meskipun masih gigih ia membantah  berita  yang
bersumber  dari  dia  ditujukan  kepada Rasulullah di Muraisi'
itu. Pada waktu itulah Surah Munafiqin ini turun:
 
"Mereka  itulah  yang  berkata:  "Jangan  memberikan   bantuan
apa-apa  kepada  mereka  yang  di  sekitar  Rasulullah, supaya
mereka berpisah." Padahal  segala  perbendaharaan  langit  dan
bumi   milik  Allah.  Tetapi  orang-orang  munafik  itu  tidak
mengerti. Kata mereka: "Kalau kita sudah kembali  ke  Medinah,
orang  yang  berkuasa  akan  mengusir  orang yang lebih hina."
Padahal sebenarnya kekuasaan itu  milik  Allah  dan  Rasul-Nya
beserta  orang-orang  yang  beriman,  hanya  saja  orang-orang
munafik itu tidak mengetahui." (Qur'an, 63: 7-8)
 
Dengan  demikian  lalu  ada  orang-orang  yang  mengira  bahwa
ayat-ayat  itu  merupakan hukuman terhadap Abdullah bin Ubayy,
dan Muhammad  pasti  akan  memerintahkan  supaya  ia  dibunuh.
Ketika  itu  Abdullah b. Abdullah b. Ubayy, yang sudah menjadi
seorang Muslirn yang baik, datang dengan mengatakan:
 
"Rasulullah, saya mendengar  tuan  ingin  supaya  Abdullah  b.
Ubayy  itu dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah pekerjaan
itu kepada saya. Akan  saya  bawakan  kepalanya  kepada  tuan.
Orang-orang  Khazraj  sudah  mengetahui,  tak  ada  orang yang
begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya
kuatir  tuan  akan  menyerahkan  tugas  ini kepada orang lain.
Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, maka saya takkan
dapat  menahan  diri, membiarkan orang yang membunuh ayah saya
itu berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya
membunuh  orang  beriman  yang membunuh orang kafir. Maka saya
akan masuk neraka."
 
Begitulah kata-kata  Abdullah  b.  Abdullah  b.  Ubayy  kepada
Muhammad.  Saya  rasa tak ada suatu kata-kata yang lebih dalam
dari ucapannya itu dengan begitu kuat meskipun  singkat  dalam
melukiskan  suasana  batin  yang  sedang  gelisah,  batin yang
dibawa oleh pengaruh  pergolakan  yang  dahsyat  sekali  dalam
jiwanya: gelisah karena pengaruh rasa berbakti kepada ayah dan
pengaruh iman yang sungguh-sungguh disamping rasa  harga  diri
sebagai  orang  Arab  serta  rasa  cintanya akan kesejahteraan
Muslimin supaya jangan tirnbul dendam yang berlarut-larut.
 
Inilah  perasaan  seorang  anak  yang  melihat  ayahnya   akan
dibunuh.  Dia  tidak  minta  kepada Nabi supaya ayahnya jangan
dibunuh, sebab dia  Nabi,  dia  akan  tunduk  kepada  perintah
Tuhan,  dan  yakin pula akan keingkaran ayahnya. Tetapi karena
kuatir akan sampai menuntut balas kepada orang yang kelak akan
membunuh  ayahnya  yang  diharuskan  oleh rasa baktinya kepada
ayah dan oleh rasa  kehormatan  dan  harga  diri  -  maka  dia
sendirilah  yang akan memikul beban itu, dia sendiri yang akan
membunuh ayahnya;  kepalanya  akan  dibawanya  sendiri  kepada
Nabi, betapapun itu akan sangat menyayat hati dan perasaannya.
 
Dengan  imannya  itu  ia  merasa  agak  mendapat  hiburan juga
menghadapi hal luar biasa yang menekan perasaan itu. Ia kuatir
akan  masuk  neraka  apabila  ia  membunuh seorang mukmin yang
telah mendapat perintah Nabi membunuh ayahnya.  Sungguh  suatu
perjuangan  yang  sangat  dahsyat  antara  iman  di satu pihak
dengan perasaan dan moral  di  pihak  lain.  Suatu  perjuangan
batin  yang  sungguh  fatal  menghunjam ke dalam hati, sungguh
tragis!  Tetapi,  tahukah  kita  betapa  jawaban  Nabi  kepada
Abdullah setelah mendengar itu?
 
"Kita  tidak  akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik
kepadanya,  harus  menemaninya  baik-baik  selama  dia   masih
bersama dengan kita."
 
Memaafkan.  Sungguh indah dan agung maaf itu. Muhammad berlaku
begitu baik kepada orang yang telah menghasut penduduk Medinah
supaya  memusuhinya  dan  memusuhi sahabat-sahabatnya. Biarlah
sikap baiknya dan kemaafannya itu  memberi  bekas  yang  lebih
dalam daripada kalau ia menjatuhkan hukuman kepada orang itu.
 
Sejak  itu  apabila Abdullah b. Ubayy mencoba mau bermain api,
golongannya sendiri menegurnya, menyalahkannya dan  membuatnya
ia  merasa  bahwa  sisa  hidupnya itu dari pemberian Muhammad.
Tatkala pada suatu hari Nabi sedang bicara-bicara dengan  Umar
mengenai    masalah-masalah   kaum   Muslimin,   sampai   juga
menyebut-nyebut  Abdullah  b.  Ubayy'  begitu   juga   tentang
golongannya sendiri yang menegurnya dan menyalahkannya itu.
 
"Umar,  bagaimana  pendapatmu,"  kata Muhammad. "Ya, kalau kau
bunuh dia ketika  kaukatakan  kepadaku  supaya  dibunuh  saja,
tentu akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang kusuruh bunuh
tentu akan kaubunuh."
 
"Sungguh sudah saya ketahui, bahwa perintah  Rasulullah  lebih
besar artinya daripada perintah saya."
 
Semua  peristiwa  itu  terjadi  setelah kaum Muslimin - dengan
membawa tawanan dan rampasan perang - kembali ke Medinah. Akan
tetapi  lalu  ada  suatu  peristiwa  yang  pada  mulanya tidak
memberi bekas apa-apa,  tetapi  kemudian  menjadi  pembicaraan
yang  panjang  juga.  Soalnya  ialah  Nabi  mengadakan  undian
terhadap  isteri-isterinya  bila  akan  berangkat   mengadakan
ekspedisi.  Barangsiapa  yang  keluar namanya maka dialah yang
ikut  serta.  Sorenya  pada  waktu  mau  mengadakan  ekspedisi
terhadap  kepada  Banu  Mushtaliq, maka yang keluar ialah nama
Aisyah. Jadi dia yang dibawa.  Aisyah  adalah  seorang  wanita
yang   berperawakan   kecil,   ringan.  Bila  pelangkin  sudah
diantarkan orang sampai di depan pintu rumahnya, dia pun naik.
Lalu  mereka  membawanya pada punggung unta. Karena ringannya,
mereka hampir tidak dapat merasakan.
 
Selesai Nabi dari tugas perjalanan itu, dengan rombongannya ia
berangkat  lagi  meneruskan perjalanan yang panjang dan sangat
meletihkan seperti sudah kita sebutkan. Sesudah itu ia  menuju
Medinah.  Sampai  di  suatu  tempat dekat kota ia berhenti dan
bermalam di tempat itu. Kemudian diumumkan  kepada  rombongan,
perjalanan akan diteruskan lagi.
 
Karena  hendak  menunaikan  hajat,  Aisyah  ketika  itu sedang
keluar dari kemah Nabi, sedang  pelangkin  sudah  menunggu  di
depan  kemah,  menantikan  ia masuk kembali. Aisyah mengenakan
seutas kalung yang ketika sedang  menyelesaikan  keperluannya,
kalung  itu  lepas dari lehernya. Sesudah siap kembali ia akan
berangkat, dirabanya kalung itu sudah tidak  ada.  Ia  kembali
menyusur  jalan  sambil  mencari-carinya.  Dan barangkali lama
juga ia mencarinya, baru  kemudian  benda  itu  diketemukannya
kembali.  Mungkin sementara itu ia terlena karena sudah begitu
lelah selepas perjalanan itu. Bila ia kembali ke markas  untuk
kemudian  naik ke atas pelangkin, ternyata pelangkin itu sudah
dipasang kembali di punggung unta dengan perkiraan  bahwa  dia
sudah  berada  didalamnya  lalu  mereka  berangkat juga dengan
anggapan bahwa mereka sedang  membawa  Umm'l-Mu'minin,  isteri
yang  sangat  dekat ke dalam hati Nabi. Dalam markas itu orang
yang akan dapat ditanyai tidak ada.  Dia  tidak  merasa  takut
bahkan  dia yakin bahwa apabila rombongan itu nanti mengetahui
dia tidak ada, tentu mereka akan kembali ke tempatnya  semula.
Jadi  lebih  baik  dia tidak meninggalkan tempat itu; daripada
mengarungi  padang  pasir  tanpa  pedoman;   ia   akan   sesat
karenanya.  Tanpa  merasa  takut, dengan berselimutkan pakaian
luarnya ia berbaring di tempat itu, sambil menunggu orang yang
akan datang mencarinya.
 
Sementara  ia  sedang  berbaring  itu,  Shafwan bin'l-Mu'attal
lewat di tempat tersebut, yang juga terlambat  dari  rombongan
tentara  karena  harus  menunaikan  urusannya  pula.  Ia sudah
pernah  melihatnya  sebelum  ada  ketentuan   hijab   terhadap
isteri-isteri Nabi. Setelah melihatnya, ia terkejut sekali dan
surut sambil berkata: "Inna lillahi wa  inna  ilaihi  raji'un!
Isteri  Rasulullah  s.a.w.?  Kenapa  sampai tertinggal? Semoga
rahmat  Tuhan  juga."  Aisyah  tidak  menjawab.  Didekatkannya
untanya itu dan dia sendiri mundur sambil berkata: "Naiklah."
 
Setelah  Aisyah  naik  kemudian  ia  berangkat dengan unta itu
cepat-cepat hendak menyusul rombongan yang lain. Tetapi  tidak
terkejar  juga, karena ternyata mereka mempercepat perjalanan,
ingin  segera  sampai  di  Medinah,  agar  dapat  beristirahat
setelah  mengalami perjalanan yang cukup meletihkan, yang juga
diperintahkan oleh Rasulullah guna menghindarkan  fitnah  yang
hampir-hampir terjadi akibat perbuatan Ibn Ubayy itu.
 
Shafwan memasuki Medinah pada siang hari disaksikan oleh orang
banyak sementara Aisyah  di  atas  untanya.  Sampai  di  depan
rumahnya  dalam  rangkaian  rumah  isteri-isteri Rasul, ia pun
masuk. Tak terlintas dalam pikiran orang bahwa  hal  ini  akan
dijadikan  buah  bibir,  atau  akan menimbulkan syak karena ia
terlambat  dari  rombongan,  juga  dalam  hati   Rasul   tidak
terlintas  suatu  prasangka  buruk  terhadap  Shafwan, seorang
orang mukmin yang beriman teguh.

BAGIAN KESEMBILANBELAS: DARI DUA PEPERANGAN
SAMPAI KE HUDAIBIYA                                      (3/3)
Muhammad Husain Haekal
 
Sebenarnya tidak perlu sampai menjadi buah bibir; dia memasuki
Medinah  di  depan  mata  orang  banyak,  di  belakang pasukan
tentara yang juga datang dalam waktu hampir bersamaan sehingga
tidak  perlu  harus  menimbulkan sesuatu prasangka. Dia datang
disaksikan  oleh  orang  banyak  dengan   wajah   bersih   dan
berseri-seri,   tak  ada  tanda-tanda  yang  akan  menimbulkan
kecurigaan. Seharusnya biarlah kota Medinah  berjalan  seperti
biasa.  Biarlah  hasil rampasan perang dan tawanan perang Banu
Mushtaliq itu dibagi-bagi antara sesama kaum Muslimin, biarlah
mereka  menikmati hidup sejahtera, yang makin hari sudah makin
terasa. Iman mereka pun makin dalam menanamkan rasa harga diri
dalam  menghadapi  musuh,  di samping adanya kesungguhan hati,
keberanian menghadapi maut demi Allah, untuk agama  dan  untuk
kebebasan  orang lain menganut kepercayaan agamanya, kebebasan
yang sebelum itu tidak pula dikenal oleh masyarakat Arab.
 
Juwairia bint'l-Harith termasuk salah seorang  tawanan  perang
Banu Mushtaliq. Dia memang seorang wanita cantik dan manis. Ia
jatuh menjadi bagian salah seorang Anshar. Dalam  hal  ini  ia
ingin menebus diri, tetapi mengetahui bahwa dia puteri seorang
pemuka Banu Mushtaliq, dan ayahnya akan mampu  menebus  berapa
saja  diminta,  maka  tebusan  yang  diminta itu cukup tinggi.
Kuatir akan membawa akibat yang melampaui batas, maka Juwairia
sendiri  segera  pergi  menemui  Nabi,  yang ketika itu sedang
berada di rumah Aisyah.
 
"Saya Juwairia  puteri  al-Harith  bin  Abi  Dzirar,  pemimpin
masyarakat,"  katanya.  "Saya mengalami bencana, seperti sudah
tuan ketahui tentunya. Tetapi karena saya sudah menjadi  milik
si  anu,  maka saya telah memajukan penawaran guna membebaskan
diri saya. Kedatangan saya kemari ingin mendapat bantuan  tuan
mengenai penawaran saya itu."
 
"Maukah engkau dengan yang lebih baik dari itu?" tanya Nabi
 
"Apa?"
 
"Saya penuhi penawaranmu dan saya kawin dengan kau."
 
Setelah   berita  itu  tersiar,  sebagai  penghormatan  kepada
semenda  Rasulullah  dengan  Banu  Mushtaliq,  tawanan-tawanan
perang  yang  ada  di  tangan  mereka  segera mereka bebaskan;
sehingga mengenai Juwairia  ini  Aisyah  pernah  berkata:  Tak
pernah  saya  lihat  ada  seorang  wanita  lebih besar membawa
keuntungan buat golongannya seperti dia ini.
 
Demikianlah sebuah sumber menyebutkan  Ada  pula  sumber  lain
yang   mengatakan,   bahwa  al-Harith  b.  Abi  Dzirar  datang
mengunjungi Nabi hendak menebus puterinya itu, dan dia sendiri
pun  masuk  Islam  setelah  dia  percaya akan ajaran Nabi, dan
bahwa dia mengambil Juwairia puterinya yang  juga  lalu  masuk
Islam  seperti  ayahnya.  Kemudian  Muhammad  meminangnya  dan
mengawininya, dengan mas kawin sebesar 400 dirham.
 
Seterusnya sumber  ketiga  menyebutkan,  bahwa  ayahnya  tidak
senang  dengan  perkawinan  ini,  bahkan dia tidak setuju, dan
bahwa yang mengawinkannya  dengan  Nabi  ialah  salah  seorang
kerabatnya tanpa sekehendak ayahnya.
 
Setelah  Muhammad kawin dengan Juwairia, dibuatkannya rumah di
samping rumah-rumah isterinya yang lain didekat mesjid. Dengan
demikian ia menjadi Ibu kaum Muslimin pula.
 
Sementara itu orang di luaran mulai pula berbisik-bisik kenapa
Aisyah  terlambat  di  belakang  pasukan  tentara  dan  datang
bersama  Shafwan  menumpang  untanya,  sedang  Shafwan seorang
pemuda yang tampan dan tegap.
 
Saudara perempuan Zainab bt. Jahsy yang bernama  Hamna,  sudah
mengetahui  bahwa  Aisyah dalam hati Muhammad mempunyai tempat
melebihi saudaranya itu.  Ia  segera  menyebarkan  desas-desus
orang  tentang  Aisyah  ini.  Ia  mendapat  dukungan Hassan b.
Thabit, dan Ali b. Abi Talib juga menyambutnya.
 
Dengan demikian Abdullah b. Ubayy merasa mendapat  tanah  yang
subur  dalam  usahanya  menyebarkan  bibit  berita  itu,  yang
sekaligus merupakan obat penawar pula terhadap  api  kebencian
yang    ada    dalam    hatinya.   Mati-matian   ia   berusaha
menyebar-luaskan  berita  itu.  Akan  tetapi  dalam  hal   ini
kalangan  Aus  telah  menentukan  sikap hendak membela Aisyah.
Aisyah  adalah  lambang  kesucian  dan  seorang  wanita   yang
berakhlak  tinggi,  yang  patut  menjadi teladan Peristiwa ini
hampir saja menjadi suatu fitnah di Medinah.
 
Berita-berita ini kemudian sampai  juga  kepada  Muhammad.  Ia
jadi gelisah. Apa? Aisyah akan mengkhianatinya? Tidak mungkin!
Itu adalah perbuatan keji dan bertentangan. Dengan rasa  cinta
dan  kasihnya  kepada  Aisyah  hal  yang hanya didasarkan pada
prasangka semacam itu adalah  suatu  dosa  besar.  Ya.  Tetapi
wanita! Cih! Siapa pula gerangan yang dapat menduga lubuk hati
mereka. Lagi pula Aisyah masih muda belia. Kalung  serupa  apa
benar  yang  hilang  dan dicarinya pada malam buta serupa itu?
Kenapa hal itu tidak disebut-sebut ketika mereka masih  berada
di  markas?  Nabi  sendiri masih dalam kebingungan, belum tahu
ia, akan percayakah atau tidak.
 
Orang tak ada yang berani menyampaikan desas-desus itu  kepada
Aisyah,  meskipun  ia  sendiri sudah merasa aneh melihat sikap
suaminya yang kaku, yang belum pernah di lihatnya  dan  memang
tidak  sesuai  dengan  perangainya  yang  selalu lemah-lembut,
selalu penuh kasih kepadanya.
 
Kemudian Aisyah jatuh sakit, sakit yang cukup keras.  Bila  ia
datang  menengoknya  dan  ibunya ada di tempat itu merawatnya,
tidak lebih ia hanya berkata: "Bagaimana?" Sungguh  pilu  hati
Aisyah  merasakannya  bila  ia  melihat sikap Nabi begitu kaku
kepadanya. Ia bicara dengan hatinya sendiri,  tidakkah  karena
Juwairia  yang  sekarang  menggantikan  tempatnya  dalam  hati
suaminya? Begitu sesak dadanya karena sikap Muhammad yang kaku
kepadanya itu, sehingga pernah ia berkata:
 
"Kalau  kauijinkan,  aku  akan  pindah ke rumah ibu, supaya ia
dapat merawatku."
 
Ia pun pindah ke tempat ibunya. Sikapnya yang berlebih-lebihan
itu  menimbulkan  kepedihan  pula dalam hatinya sendiri. Lebih
dari duapuluh  hari  ia  menderita  sakit,  baru  kemudian  ia
sembuh. Segala pembicaraan orang yang terjadi tentang dirinya,
dia tidak tahu.
 
Sebaliknya  Muhammad,  ia  merasa  sangat   terganggu   karena
berita-berita yang disebarkan orang itu. Sekali ia mengucapkan
pidato ini di hadapan orang banyak.
 
"Saudara-saudara, kenapa orang-orang mengganggu saya  mengenai
keluarga saya. Mereka mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya
mengenai diri saya. Padahal yang saya ketahui mereka itu orang
baik-baik.  Lalu  mereka  mengatakan  sesuatu  yang  ditujukan
kepada seseorang, yang saya  ketahui,  demi  Allah,  dia  juga
orang  baik;  tak  pernah  ia  datang ke salah satu rumah saya
hanya jika bersama dengan saya."
 
Kemudian Usaid b. Hudzair berdiri seraya berkata:
 
"Rasulullah,  kalau  mereka  itu  dan   saudara-saudara   kami
kalangan  Aus,  biarlah  kami selesaikan, dan kalau mereka itu
dan saudara-saudara kami golongan Khazraj perintahkanlah  juga
kepada kami. Sungguh patut leher mereka itu dipenggal."
 
Akan  tetapi  Sa'd  b.  'Ubada lalu menjawab, bahwa dia berani
mengatakan  itu  karena  dia  mengetahui  bahwa  mereka   dari
golongan  Khazraj.  Kalau  mereka  itu  dari  Aus tentu takkan
mengatakannya. Orang ramai  lalu  mengadakan  berundingan  dan
hampir-hampir terjadi suatu bencana fitnah, kalau tidak karena
Rasul segera campur tangan  dengan  suatu  kebijaksanaan  yang
baik sekali.
 
Akhirnya,   berita   itu   pun   sampai  juga  kepada  Aisyah,
diceritakan  oleh  seorang  wanita  dari  Muhajirin.  Terkejut
sekali  mendengar  berita itu, hampir-hampir ia jatuh pingsan.
Ia menangis tersedu-sedu, tak dapat lagi  ia  menahan  airmata
yang  begitu  deras  berderai,  sehingga  terasa  seolah pecah
jantungnya. Ia pergi menjumpai ibunya,  dengan  membawa  beban
perasaan   yang   cukup  berat,  hampir-hampir  terbawa  jatuh
terhuyung.
 
"Ampun, Ibu," katanya, dengan suara tersekat  oleh  air  mata.
"Orang-orang sudah begitu rupa bicara di luar, tapi samasekali
tidak ibu katakan kepada saya."
 
Melihat  kesedihan  yang  begitu  menekan   perasaan,   ibunya
berusaha  hendak  meringankannya.  "Anakku,"  katanya, "Jangan
terlampau gundah. Seorang  wanita  cantik  yang  dimadu,  yang
dicintai  suami,  tidak  jarang menjadi buah bibir madunya dan
buah bibir orang."
 
Akan tetapi dengan kata-kata itu Aisyah belum  terhibur  juga.
Kembali  ia  merasa  lebih pedih lagi bila teringat sikap Nabi
kepadanya   yang   terasa   kaku,   padahal   tadinya   sangat
lemah-lembut.  Ia  merasa, bahwa berita itu tampaknya terkesan
juga dalam hati Nabi, dan karenanya ia  jadi  curiga.  Tetapi,
gerangan  apa  yang  akan  dapat diperbuatnya? Akan dimulainya
sajakah ia yang bicara serta menyebutkan berita itu, dan  akan
bersumpah  bahwa  ia  sama  sekali  tidak  berdosa? Jadi kalau
begitu ia menuduh diri sendiri,  kemudian  menyanggah  tuduhan
itu  dengan sumpah dan permohonan. Ataukah sudah saja membuang
muka seperti dia,  dan  juga  membalasnya  bersikap  kepadanya
seperti  dia,  pula?  Tetapi dia adalah Rasul Allah, dia telah
memilihnya diatas isteri-isterinya yang lain. Bukan salah  dia
kalau  orang  sampai  menyiarkan  desas-desus tentang dirinya,
karena dia telah terlambat dari pasukan  tentara  dan  kembali
pulang  dengan  Shafwan.  Ya  Allah!  Berikanlah  jalan keluar
kepadanya  dalam  suasana  yang  demikian  rumit  itu,  supaya
terbuka   kepada  Muhammad  keadaan  yang  sebenarnya  tentang
dirinya itu, supaya  ia  pun  kembali  seperti  dalam  suasana
semula,  penuh  cinta,  penuh  kasih  dan  selalu lemah-lembut
kepadanya.
 
Tetapi keadaan  Muhammad  sebenarnya  tidak  lebih  enak  dari
Aisyah.  Ia  merasa  tersiksa karena percakapan orang mengenai
dirinya itu, sehingga akhirnya terpaksa  ia  meminta  pendapat
sahabat-sahabatnya  yang terdekat: apa yang akan diperbuatnya.
Ia  pergi  ke  ramah  Abu  Bakr,  Ali  dan  Usama   bin   Zaid
dipanggilnya  akan  dimintai  pendapat. Usama ternyata menolak
sama sekali  segala  tuduhan  yang  dilemparkan  orang  kepada
Aisyah itu. Itu bohong dan tidak punya dasar. Sebagaimana Nabi
mengenalnya, orang lain pun juga mengenal dia sebagai  seorang
wanita   yang   sangat   baik.  Sebaliknya  Ali.  Ia  berkata:
"Rasulullah, wanita yang lain banyak."  Lalu  sarannya  supaya
menanyai   bujang   pembantu   Aisyah,  kalau-kalau  ia  dapat
dipercaya. Pembantu  rumah  itu  pun  dipanggil.  Ali  berdiri
menghampirinya,  lalu memukulnya yang cukup membuat bujang itu
merasa kesakitan seraya berkata: "Katakanlah  yang  sebenarnya
kepada Rasulullah!"
 
"Demi Allah yang saya ketahui dia adalah baik," jawab pembantu
rumah itu. Segala tuduhan jahat yang ditujukan  kepada  Aisyah
dibantahnya.
 
Akhirnya  tak  ada  jalan  lain Muhammad harus menemui sendiri
isterinya dan dimintanya  supaya  mengaku.  Ia  masuk  menemui
Aisyah;  di  tempat  itu  ada  ayahnya dan seorang wanita dari
Anshar. Aisyah sedang menangis dan wanita itu juga turut  pula
menangis. Tiada terderita olehnya betapa dalamnya kesedihannya
itu mencabik hati, tergetar ia setelah mengetahui  bahwa  oleh
Muhammad  ia  dicurigai.  Dicurigai  oleh  itu  laki-laki yang
sangat   dicintainya,   dipujanya,   laki-laki   yang   sangat
dipercayainya, tempat dia rela mati untuknya.
 
Melihat kedatangannya itu, disekanya airmatanya, dan terdengar
olehnya ketika ia berkata:
 
"Aisyah, engkau sudah mengetahui apa yang menjadi  pembicaraan
orang.  Hendaknya  engkau takut kepada Allah jika engkau telah
melakukan suatu kejahatan seperti apa  yang  dikatakan  orang.
Bertaubatlah  engkau  kepada  Allah, sebab Allah akan menerima
segala taubat yang datang dari hambaNya."
 
Selesai kata-kata itu diucapkan, Aisyah merasa darahnya  sudah
mendidih.  Airmatanya  jadi  kering. Ia menoleh ke arah ibunya
dan  ke  arah  ayahnya.  Ia  menunggu  bagaimana  mereka  akan
menjawab.  Tetapi ternyata mereka diam, tiada sepatah kata pun
yang keluar dari  mereka.  Hati  Aisyah  makin  panas,  seraya
katanya:
 
"Kenapa kalian tidak menjawab?"
 
"Sungguh  kami  tidak  tahu bagaimana harus kami jawab," jawab
mereka.
 
Lalu mereka berdua kembali terdiam lagi. Ketika itulah ia  tak
dapat  menahan diri. Ia menangis lagi tersedu-sedu. Airmatanya
itu telah dapat meredakan api amarah yang menyala-nyala seolah
hendak  membakar  jantungnya.  Sambil menangis itu kemudian ia
bicara, ditujukan kepada Nabi:
 
"Demi Allah, sama sekali  saya  tidak  akan  bertaubat  kepada
Tuhan  seperti  yang  kausebutkan  itu.  Saya tahu, kalau saya
mengiakan  apa  yang  dikatakan  orang   itu,   sedang   Tuhan
mengetahui  bahwa  saya tidak berdosa, berarti saya mengatakan
sesuatu yang tak ada. Tetapi kalau  pun  saya  bantah,  kalian
takkan  percaya."  Ia diam sebentar. Kemudian sambungnya lagi:
"Saya hanya dapat berkata seperti apa yang dikatakan oleh ayah
Yusuf:  'Maka  sabar  itulah yang baik, dan hanya Allah tempat
meminta pertolongan atas segala yang kamu ceritakan itu!"
 
Sejenak jadi sunyi,  setelah  terjadi  pergolakan  itu.  Orang
tidak  tahu  pasti  sampai  berapa lama hal itu berjalan. Akan
tetapi  begitu  Muhammad  hendak   meninggalkan   tempat   itu
tiba-tiba ia terlelap oleh kedatangan wahyu, seperti biasanya.
Pakaiannya segera diselimutkan  kepadanya  dan  sebuah  bantal
dari kulit diletakkan di bawah kepalanya.
 
Dalam  hal ini Aisyah berkata: "Saya sendiri sama sekali tidak
merasa takut dan tidak peduli setelah  melihat  kejadian  ini.
Saya  sudah  mengetahui,  bahwa  saya  tidak berdosa dan Allah
tidak akan berlaku tidak adil terhadap diri  saya.  Sebaliknya
orangtua  saya,  setelah  Rasulullah s.a.w. terjaga, saya kira
nyawa mereka akan terbang karena ketakutan, kalau-kalau  wahyu
dari Allah akan memperkuat apa yang dikatakan orang."
 
Setelah  Muhammad terjaga, ia duduk kembali, dengan bercucuran
keringat. Sambil menyeka keringat dari dahi ia berkata:
 
"Gembirakanlah hatimu, Aisyah!  Tuhan  telah  membebaskan  kau
dari tuduhan."
 
"Alhamdulillah," kata Aisyah.
 
Kemudian  Muhammad  pergi  ke mesjid, dan membacakan ayat-ayat
berikut ini kepada kaum Muslimin:
 
"Mereka yang datang membawa berita bohong itu sebenarnya  dari
golonganmu  juga.  Jangan  kamu mengira ini suatu bencana buat
kamu, tetapi sebaliknya, suatu kebaikan juga buat kamu. Setiap
orang  dari  mereka itu akan mendapat ganjaran hukum atas dosa
yang mereka perbuat. Dan  orang  yang  mengetuai  penyiarannya
diantara  mereka  itu  akan mendapat siksa yang berat. Mengapa
orang-orang  beriman  -  laki-laki  dan  perempuan  -   ketika
mendengar  berita itu, tidak berprasangka baik terhadap sesama
mereka sendiri, dan mengatakan: ini adalah suatu berita bohong
yang  nyata sekali? Mengapa dalam hal ini mereka tidak membawa
empat orang saksi. Kalau mereka tak dapat membawa  saksi-saksi
itu, maka mereka itu disisi Allah adalah orang-orang pendusta.
 
Dan sekiranya bukan karena kemurahan Tuhan dan kasih-sayangNya
juga kepadamu - di dunia dan di akhirat - niscaya siksa  Allah
yang  besar akan menimpa kamu, karena fitnah yang kamu lakukan
itu. Tatkala kamu menerima berita itu dari mulut ke mulut, dan
kamu  katakan  pula  dengan  mulut kamu sendiri apa yang tidak
kamu ketahui dengan pasti,  dan  kamu  mengiranya  hanya  soal
kecil  saja,  padahal pada Allah itu adalah perkara besar. Dan
tatkala kamu mendengarnya, mengapa tidak  kamu  katakan  saja:
tidak  sepatutnya  kami  membicarakan  masalah  ini. Maha Suci
Tuhan. Ini adalah kebohongan besar. Allah memperingatkan kamu,
jangan  sekali-kali  hal  serupa  itu  akan terulang jika kamu
memang   orang-orang   yang   beriman.    Allah    menjelaskan
keterangan-keterangan   itu   kepada   kamu.  Dan  Allah  Maha
Mengetahui,  Maha  Bijaksana.   Mereka   yang   suka   melihat
tersebarnya  perbuatan  keji  di kalangan orang-orang beriman,
akan mengalami siksaan pedih di  dunia  dan  di  akhirat.  Dan
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Qur'an, 24 :
11-19)
 
Dalam hubungan ini pula datangnya ketentuan  hukuman  terhadap
orang  yang  melemparkan  tuduhan buta kepada kaum wanita yang
baik-baik.
 
"Dan mereka yang melemparkan tuduhan keji kepada wanita-wanita
yang  baik-baik,  lalu  mereka  tak  dapat membawa empat orang
saksi, maka deralah mereka dengan delapan puluh kali  pukulan,
dan  jangan  sekali-kali  menerima  lagi kesaksian mereka itu.
Mereka itu adalah orang-orang yang jahat." (Qur'an, 24: 4)
 
Untuk  melaksanakan  ketentuan  Qur'an,  mereka   yang   telah
menyebarkan  berita  keji  itu  - Mistah b. Uthatha, Hassan b.
Thabit dan Hamna bt.  Jahsy,  masing-masing  mendapat  hukuman
dera delapanpuluh kali.
 
Sekarang kembali Aisyah seperti dalam keadaannya semula, dalam
rumah tangga dan dalam hati Muhammad.
 
Sebagai  komentar  atas  peristiwa  ini   Sir   William   Muir
menyebutkan  sebagai  berikut:  "Sejarah  Aisyah, baik sebelum
atau  sesudah  peristiwa  itu  mengharuskan   kita   mengambil
keputusan  yang  pasti  bahwa  dia,  adalah bersih dari segala
tuduhan itu dan mengharuskan kita pula untuk  tidak  ragu-ragu
lagi menggugurkan segala macam prasangka terhadap dirinya."
 
Akan  tetapi sesudah itu pun Hassan b. Thabit kembali diterima
dan  mendapat  kasih  sayang  Muhammad  lagi.  Demikian   juga
Muhammad  minta  kepada  Abu  Bakr,  supaya  jangan mengurangi
kasih-sayangnya kepada Mistah seperti yang sudah-sudah.  Sejak
itu selesailah peristiwa itu dan tidak lagi meninggalkan bekas
di  seluruh  Medinah.  Aisyah  pun  cepat  pula  sembuh   dari
sakitnya,  lalu  kembali  ke  rumahnya  di  tempat  Rasul, dan
kembali pula ke dalam hati Rasul, kembali  dalam  kedudukannya
yang   tinggi   dalam  hati  sahabat-sahabatnya  seluruh  kaum
Muslimin. Dengan demikian Nabi dapat kembali mengabdikan  diri
kepada  ajarannya  dan kepada pengarahan kaum Muslimin sebagai
suatu persiapan guna menghadapi perjanjian  Hudaibiya.  Semoga
Allah memberikan kemenangan yang nyata kepada umat Muslimin.
 
Catatan kaki:
 
 1 Qur'an 53
 
 2 Sebuah desa atau pangkalan air terletak antara Mekah
   dengan Medinah, kira-kira 66 km dari Mekah (A).
   
 3 min ka'abat'l-munqalab, 'menarik diri dari perjalanan
   dan kembali ke kampung halaman, yakni ia kembali ke
   rumah dengan melihat segala sesuatu yang menyedihkan'
   (N), (A).
   
 4 Aslinya secara harfiah: 'Gemukkan anjingmu, engkau
   akan dimakannya.' (A).
 
---------------------------------------------
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980
 
Seri PUSTAKA ISLAM No.1


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Oleh: Siti Farida Sinta Riyana (11510080); Nur Aufa Handayani (11510081); Ahmad Ali Masrukan (11519985); Mayura (11510096); dan Muryono ( 11511038) A.       Al Ahkam 1.         Pengertian Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf , baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH

Disusun Oleh : Abdul Majid (111-11-074); Irsyadul Ibad (111-11-094);  dan Dwi Silvia Anggraini   (111-11-095) PENDAHULUAN Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

HUKUM SYAR’I (ا لحكم الشر عي)

OLEH: Ulis Sa’adah (11510046); Langga Cintia Dessi (11510089); dan Eka Jumiati (11510092) A.       HAKIKAT HUKUM SYAR’I Menurut para ahli ushul fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (sabda) pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.