(Memperingati Hari AIDS 1 Desember)
Oleh: Karuni Ayu Sawitri *
Tahun 1981 masyarakat dunia kejutkan
dengan penyakit aneh yakni Acquired Immunodefiency Syndrome atau lebih dikenal
dengan AIDS. Penyakit yang menyerang sistem kekebalan dan terus menggerogoti
tubuh manusia tanpa ampun. Penyakit ini kemudian diketahui karena serangan
sejenis virus Human Immunodefiency Virus atau HIV.
Penyakit ini bermula di dataran Afrika
Sub-Sahara dan kemudian merambah ke hampir seluruh benua; Amerika, Eropa, dan
Asia. Asia Tenggara dan Asia Selatan menjadi daerah rawan kedua setelah Afrika
dalam penularan penyebaran AIDS. Amerika tak terkecuali menjadi daerah
penyebaran HIV yang cukup masif. Bahkan penemuan penyakit ini berawal di
Amerika 5 Juni 1981 di Los Agles pada seorang laki-laki yang pernah tinggal di
Kinshasa, dekat dengan Republik Demokratik Kongo.
Berdasarkan pengamatan awal, sebagian
besar penderita AIDS adalah mereka yang melakukan hubungan seksual bebas atau
sering berganti-ganti pasangan. Hal demikian dapat dimaklumi, terutama bagi
sebagian besar masyarakat yang berpandangan sekuler dengan hanya bertumpu pada
nilai-nilai material dan duniawiyah. Hubungan seksual secara bebas dengan satu,
dua, atau beberapa pasangan dianggap sah sejauh dilakukan atas dasar suka sama
suka dan tidak merugikan.
Pola hidup yang demikian mengakibatkan
pola seksual tidak sehat di kalangan masyarakat yang pada akhirnya banyak
merugikan orang lain. Teman dekat, istri, dan anak-anak bisa tertular AIDS
meskipun tidak memiliki kebiasaan buruk yang demikian. Karena AIDS selain
ditularkan melalui hubungan seksual juga dapat tertular melalui jarum suntik,
transfusi darah, persalinan, dan proses menyusui.
Seks bebas dengan berganti-ganti
pasangan tak jarang juga disertai dengan kebiasaan buruk lainnya yakni
penggunaan narkoba dengan jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik memiliki
resiko yang sama dengan penularan melalui hubungan seks. Sebagian besar
pengguna narkoba memiliki kebiasaan komunal dalam berbagai ‘kebahagian’ nyabu.
Sehingga resiko penularan AIDS dari satu orang kepada yang lain sangat rentan.
Penularan HIV/AIDS yang sebagian besar
melalui hal-hal yang bertentangan dengan norma agama menuai kecaman dari
berbagai kalangan, terutama kalangan agamawan. Tak ayal penyakit AIDS pernah di
stigma sebagai penyakit kutukan. Kutukan bagi kaum pendewa kehidupan seks
bebas, homoseksual, dan pecandu narkoba.
Stigma ini tentu sangat merugikan,
karena AIDS juga harus dialami oleh anak-anak yang tidak berdosa dan para istri
yang suaminya terkena penyakit AIDS. Padahal wanita dan dalam hal ini sangat
rentan terhadap serangan AIDS. Penelitian yang dilakukan oleh World Health
Organization (WHO) tahun 2006, sekitar 30 % dari wanita yang terserang AIDS
diakibatkan karena melakukan hubungan seksual akibat dipaksa laki-laki yang
telah terinfeksi virus HIV.
Jumlah pengidap HIV atau yang telah
terkena AIDS di kalangan anak-anak pun tak kalah banyaknya. Berdasarkan laporan
UNAIDS secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV. Di Afrika Sub-Sahara di perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta
jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta (atau dalam kisaran 1,5 - 3,0 juta) dari
mereka adalah anak-anak yang usianya di bawah 15 tahun, tiga per empat (76 %)
dari semua penderita AIDS adalah wanita hidup dengan HIV. Di Asia Selatan dan
Asia Tenggara, setengah juta anak mati terkena AIDS, dari 5,7 juta orang yang
terinfeksi.
Kini bukan saatnya lagi memberi stigma
negatif pada penderita AIDS, karena kenyataan mengungkapkan bahwa anak-anak dan
para wanita yang tak bersalah banyak menanggungnya. Kalangan agamawan sudah
saatnya membantu mencarikan solusi bagi pencegahan dan penanganan agar virus
tersebut tidak terus menjangkit.
Peran Agamawan
Pada awalnya hampir semua kalangan
agamawan memberi stigma negatif pada penderita AIDS. Karena AIDS merupakan
penyakit mematikan yang disebarkan atau ditularkan dari cara yang jauh dari
norma agama. Kebiasaan perilaku negatif dari para penderita AIDS menyebabkan
stigma tersebut melekat tanpa pilih.
Namun kini berbagai kalangan telah
menyadari bahwa AIDS telah menjadi ancaman bersama bagi siapa pun. Mengecam
perilaku seks bebas dan penggunaan barang haram narkoba tentu sah-sah saja.
Namun menstigma dan mengucilkan penderita AIDS tentu bukan solusi untuk
mengatasi persoalan. Justru hal demikian justru jauh dari nilai-nilai agama dan
mencederai nilai kemanusiaan itu sendiri.
Menteri Agama RI, M Maftuh Basyuni
(2007) mengingatkan pentingnya peran para tokoh agama dalam membantu
membentengi (prevensi) umat dan memperbaiki (rehabilitasi) para
penderita AIDS. Sementara memerangi atau represi lebih banyak dilakukan
oleh pemerintah, instutusi kesehatan, ataupun lembaga-lembaga swadaya
masyarakat.
Tindakan prevensi atau
membentengi umat dari bahaya HIV/AIDS dapat dilakukan dengan menegaskan kembali
pentingnya pola hidup sehat, terutama terkait dengan aktivitas seksual dan
menjauhi narkoba. Setiap agama yang ada di negeri ini memiliki nilai dan norma
yang melarang aktivitas seksual bebas dan mencintai ‘kenikmatan’ narkoba.
Karena efek yang ditimbulkan jauh lebih membahayakan daripada kenikmatan yang
didapatkan, tidak hanya pada diri sendiri namun juga masyarakat.
Sementara upaya perbaikan dilakukan
untuk merehabilitasi mereka penderita AIDS. Tokoh agama memiliki peran
bagaimana menyadarkan kembali mereka yang telah ‘lalai’ pada nilai dan norma
agama. Demikian penting mengingatkan bahwa penyakit AIDS bukan kutukan namun
peringatan pentingnya manusia pola hidup yang sehat, aman, dan nyaman. Tokoh
agamawan dapat pula meneguhkan bahwa penderitaan yang mereka rasakan harusnya
menjadi sarana introspeksi, sehingga mampu untuk menyesali diri dan bertobat.
Semua upaya ini tentunya dilakukan berdasarkan
dengan pendekatan agama dan nalar kemanusiaan. Hal ini sangat mungkin dilakukan
apalagi masyarakat Indonesia, mayoritas adalah umat beragama.
Upaya ini akan berjalan efektif jika
dilakukan secara serempak oleh kalangan agamawan dari semua keyakinan. Upaya
sepihak tanpa didukung dari berbagai kalangan tidak akan berjalan efektif. AIDS
merupakan penyakit dan bukan ideologi yang dapat menyerang siapa saja tanpa
terkecuali.
Penulis adalah koordinator diskusi
mingguan pada Kelompok Studi Perempuan (KeSiP) Yogyakarta.
Catatan: tulisan ini pernah
dimuat pada harian Merapi, tanggal 1 Desember 2008. Tulisan ini dimuat di blog
ini atas izin penulis. Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar