Oleh: Sukron Ma’mun*
Memperingati Hari Anti Korupsi yang jatuh
09 Desember, saya muat kembali artikel saya yang pernah dimuat oleh Harian Bali
Post empat tahun lalu tepatnya tanggal 29 Juli 2008. Artikel ini juga bisa
diakses pada website koran tersebut:
Wacana hukuman mati bagi koruptor
sebenarnya bukan hanya saat ini dikemukakan, lima tahun yang lalu para pakar
telah melontarkan wacana ini. Sayang tidak mendapat respon yang serius dari pihak
pemerintah. Mungkin ada kekhawatiran akan banyaknya pejabat yang mati atau
dirinya akan terjerat pula hukuman tersebut. Sehingga wacana hukuman mati hanya
layak untuk diperbincangkan dan tidak untuk ditindaklanjuti. Silahkan
mewacanakan, belum tentu pemerintah melaksanakan.
Kegamangan para petinggi di pemerintahan
juga masih nampak, misalnya bulan lalu saat diadakan seleksi Hakim Agung banyak
yang masih mempertimbangkan mengenai hukuman mati bagi koruptor. Tercatat hanya
satu calon yang berani menyatakan bahwa hukuman mati layak untuk koruptor,
yakni Lalu Mariyun, Ketua Pengadilan Tinggi Papua (Koran Tempo, 01/7/08).
Keengganan para petinggi untuk menggagas penetapan
hukuman mati bagi koruptor menyiratkan preseden buruk upaya pemberantasan
korupsi di negeri ini. Statemen sederhana yang selalu mengusik, “ternyata
menjadi pencuri uang rakyat lebih enak dari pada menjadi pencuri ayam”. Sindiran
ini mestinya mampu melecutkan nyali para peneggak hukum untuk mengambil
tindakan tegas dan menghukum semaksimal mungkin.
Memberi Peluang
Upaya pemberantasan korupsi sejuah ini belum
menemui hasil yang cukup memuaskan. Meskipun telah terdapat kemajuan, namun belum
ada indikasi yang menunjukkan terjadinya penurunan tingkat korupsi dikalangan
pejabat. Korupsi semakin menggila dan modus operandinya semakin sulit untuk
dilacak. Korupsi seolah semakin menemukan bentuk idealnya, menyesuaikan dengan tingkat
kewaspadaan dan kejelian penjeratnya.
Hal ini semakin dikukuhkan dengan lemahnya
hukum dan proses peradilan yang harus dijalani. Koruptor pun seakan mampu
memainkan hukum, dan jaksa pun dibuat tak berdaya. Kasus Artalyta Suryani atau
Ayin yang menyaup Jaksa Urip Tri Gunawan dalam skandal BLBI merupakan bukti. Jaksa
Urip yang selama ini dikenal bersih pun dapat dikelabui dan terbuai dalam
kejahatan korupsi.
Tidak sedikit kasus korupsi yang terjadi
tidak terselaikan dengan tuntas, sehingga membuat koruptor terbebas. Seringkali
pengungkapan korupsi justru menjadi bumerang, berkat kejelian sang koruptor. Demikian
juga banyaknya celah hukum yang dapat dimainkan oleh para koruptor membuat
mereka dapat dengan leluasan bermian-main dengan hukum. Beberapa terdakwa kasus
korupsi kenyataannya juga memperoleh perlakukan istemawa dalam hukumannya. Sehingga
menjadi koruptor tenyata merupakan sesuatu yang menyenangkan, karena bisa
bermain-main mata dengan jaksa, hakim, dan hukum.
Keadaan demikian semakin membuat korupsi
terus meraja lela, karena para koruptor telah mengetahui celah dan jalur mana
yang ia harus tempuh. Perlakuan istimewa terhadap para koruptor juga membuat
mereka merasa ‘nyaman’ dengan hukuman tersebut. Atau bisa jadi hukuman yang
ditetapkan selama ini terlalu ringan bagi para koruptor. Sehingga muncul
anggapan bahwa korupsi sebanyak-banyaknya lebih menguntungkan karena hukuman
dapat dilalui dengan mudah.
Hukuman Mati
Korupsi bagaimanapun telah menjadi budaya,
meskipun bukan budaya yang sehat. Menghilangkan budaya merupakan persoalan yang
sangat sulit, karena ia telah melalui proses panjang. Budaya korupsi telah melewati
proses sosialisasi, enkulturasi dan internalisasi. Sosialisasi melalui praktek
kehidupan sehari-hari, enkulturasi berarti masyarakat membiasakannya, dan
internalisasi artinya menjadi bagian dari hidupnya.
Memutus mata rantai budaya korupsi tentu sangat
sulit dilakukan, hukuman seberat apapun belum tentu mampu menghilangkan budaya
korup. Namun membiarkan korupsi tanpa ada upaya yang jelas sama artinya
membunuh bangsa perlahan namun pasti. Harus ada upaya pencegahan yang mampu
memberi efek kejut (shock therapy) dan kemudian menimbulkan efek jera
bagi pelakukan.
China yang menjadi negara terkorup di dunia
telah melakukan loncatan yang luar biasa dalam memutus mata rantai kejahatan
korupsi dengan menerapkan hukuman mati. Hukuman mati yang diterapkan mampu
membuat efek jera pada para koruptor di negeri tersebut. Padahal China memiliki
sejarah yang lebih kelam dari pada Indonesia. Konon, tembok China dibangun dengan
hasil pengembalian uang korupsi.
Hukuman mati bagi koruptor yang diterapkan
China sempat mendapat kecaman dari aktivis HAM, namun China bergeming. China
melihat hanya dengan cara itulah korupsi dapat dengan segera dicegah
perkembangannya. Tahun 1999 tercatat 1.263 koruptor telah dihukum mati, dan
jumlah ini meningkat menjadi 4.367 tahun 2001. Jumlah ini melebihi kasus
terpidana mati yang diputus di 64 negara (Kompas, 09/3/03).
Langkah yang di tempuh China mampu
menurunkan tingkat korupsi yang cukup signifikan. Tahun 2007 Transparency
International (TI) mencatat indeks China mencapai 3,1 dan Indonesia 1,7
untuk 10 nilai tertinggi. China kini ada di urutan 64, sementara Indonesia 85.
Artinya China kini lebih bersih daripada Indonesia, padahal sebelumnya China
tercatat sebagai negara terkorup.
Jika segala macam hukum yang telah berlaku
saat ini tidak mampu memberi efek jera bagi koruptor, mangapa kita tidak
mencoba menerapkan hukuman mati. Mungkin para koruptor akan benar-benar
menggigil menunggu hukum menjamah. Tentunya dengan satu catatan bahwa penegak
hukum akan melaksanakan dengan sungguh-sunguh ketentuan ini. Hukuman mati hanya
akan menjadi ancaman belaka, kalau penegak hukum tidak memiliki niat serius
melaksanakannya. Yang terjadi akan tetap saja sebagaimana berlaku, hukum bisa
dipermainkan atau diperjualbelikan.
Kini saat bagi bangsa ini, meminjam head
line yang digunakan Majalah Ekonomi Fortune (2002), mengatakan: “It’s
time to stop coddling white collar crooks,” sudah waktunya berhenti berlaku
lunak dengan bandit-bandit kerah putih.
* penulis adalah
peneliti pada Saqifa Institute for Ecosoc Rights, Yogyakarta
Persoalannya berani tidak, pemerintah memberikan hukuman mati bagi koruptor....
BalasHapus