Oleh:
Sukron Ma’mun
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) mengeluarkan
kebijakan yang cukup mengejutkan dunia akademik perguruan tinggi. Surat edaran
nomor 152/E/T/2012 tentang syarat kelulusan menulis karya ilmiah pada jurnal
bagi program sarjana, magister, dan doktoral. Surat edaran tersebut menyatakan
kewajiban mempublikasi karya pada jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan
sarjana, jurnal nasional terakreditasi bagi mahasiswa program magister, dan
jurnal internasional bagi program doktoral.
Kemendikbud memastikan bahwa
surat edaran tersebut akan berlaku mulai Agustus tahun ini. Sontak beragam
tanggapan mencuat, sebagai protes atas kebijakan tersebut. Berbagai kalangan
menilai kebijakan tersebut terlalu dipaksakan dan perlu ditinjau ulang.
Kebijakan ini juga dinilai akan menimbulkan problem, terutama terkait dengan
semakin lambatnya mahasiswa menyelesaikan studi sebagai akibat sulitnya
mempublikasikan karyanya.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi
Swasta Indonesia (APTSI) yang juga rektor UII Yogyakarya, Prof. Edy Suandi
Hamid secara tegas menyatakan keberatan atas kebijakan tersebut. Meskipun
kebijakan tersebut memiliki tujuan yang baik untuk peningkatan mutu indeks akademik
di Indonesia, namun perlu pengaturan yang tepat untuk mewujudkannya (Republika, 14/2). Senada dengan itu
beberapa akademisi juga menyatakan kekurangsepahaman dengan Kemendikbud.
Terlecut
Indeks Publikasi
Keluarnya kebijakan tersebut disinyalir
atas keprihatinan kemendikbud atas prestasi ilmiah dunia akademik perguruan
tinggi di Indonesia. Ribuan perguruan tinggi dari universitas, institut,
sekolah tinggi, dan akademi yang ada sejauh ini tidak mampu memberikan
kontribusi yang memadahi dalam publikasi karya ilmiah atau riset. Kenyataannya
ratusan ribu lulusan perguruan tinggi tersebut, sangat minim sekali publikasi
ilmiah yang didapatkan.
Data yang dilansir oleh Pusat
Dokumentasi Ilmiah Indonesia-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI)
hingga Mei 2011 tidak kurang 7000 jurnal ilmiah terdaftar, namun hanya 4000
yang aktif terbit. Dari sekian ribu jurnal hanya 406 jurnal ilmiah yang
terakreditasi, dan 250 jurnal PT yang terakreditasi (Kompas, 11/2). Sementara yang terakreditasi oleh Ditjen Pendidikan
Tinggi hanya sejumlah 121 buah jurnal.
Jumlah tersebut tentu, bagi
kemendikbud sangat memprihatinkan, mengingat negara-negara lain memiliki jumlah
yang lebih tinggi. Data yang dirilis oleh Scomagojr, Journal and Country Rank
tahun 2011 menunjukkan fakta dalam hal ini. Indonesia menempati posisi ke-64
dari 236 negara yang diranking. Selama kurun waktu 1996-2010 Indonesia memiliki
jurnal ilmiah 13.037 buah jurnal, jauh tertinggal dengan Malaysia dan Thailand.
Malaysia memiliki 55.211 buah jurnal dan Thailand memiliki 58.931 buah jurnal.
Ketertinggalan inilah yang
membuat Kemendikbud perlu memacu munculnya jurnal ilmiah, meskipun dengan cara
pemaksaan. Nampaknya kenyataan ini disadari oleh Mendikbud, M. Nuh, terkait
dengan kebijakan tersebut.
Memicu
Budaya Instan
Kewajiban menulis karya pada
jurnal ilmiah, tentu akan memberatkan bagi mahasiswa, terutama yang ada di perguruan
tinggi (PT) ‘pinggiran’. Bahkan tidak dapat dipungkiri, perguruan tinggi
ternama sekalipun sejauh ini belum memiliki budaya akademik yang memadahi
terutama dalam penerbitan karya ilmiah mahasiswa, khususnya S-1. Jikapun ada
jumlahnya sangat sedikit sekali.
PT kecil dan juga PT yang ada di
beberapa pelosok daerah sejauh ini paling kurang memiliki budaya ilmiah yang
mapan. Kendala teknis dan juga minimnya sumberdaya manusia menjadi kendala
terbesar. Perpustakaan dengan minim koleksi referensi, jarangnya ada diskusi
yang didatangi oleh pakar atau ahli, dan berbagai persoalan yang lain
menghadang. Hanya internet sebagai sumber paling bisa diandalkan untuk
menunjang informasi dan menggali pengetahuan. Dengan demikian, darimana akan
muncul tulisan atau hasil riset yang bisa diandalkan?
Kemungkinan cara yang akan
ditempuh oleh civitas akademik hampir di seluruh Indonesia adalah cara instan.
Menulis dengan karya yang ‘asal-asalan’, comot kanan-kiri, copy-paste, plagiat, atau bahkan memunculkan ‘mafia penulis’. Hal
ini sangat memungkinkan, karena mustahil membentuk budaya tulis di kalangan
mahasiswa dalam jangka waktu yang sangat singkat, terlebih dengan berbagai
macam keterbatasan tadi.
Tentu masih segar dalam ingatan
kita, kasus plagiarisme yang menimpa dunia akademik perguruan tinggi beberapa
saat yang lalu. Demikian halnya dengan kasus mafia karya ilmiah di sejumlah
daerah, terkait dengan sertifikasi guru. Mengapa hal demikian bisa terjadi?
Karena tuntutan adminsitratif dan tidak mungkinnya dilakukan oleh yang
bersangkutan.
Kewajiban menulis karya pada
jurnal ilmiah, yang segera diberlakukan ‘jangan-jangan’ juga akan mendorong hal
yang sama. Sudah menjadi rahasia umum berapa banyak mafia-mafia penulisan
skripsi dan bahkan tesis di kota-kota besar. Inilah budaya instan akademik yang
paling menakutkan, karena telah mematikan kejujuran akademik dan proses
pembelajaran itu sendiri.
Budaya
Ilmiah
Apa yang diinginkan oleh DIKTI
tentu sesuatu yang mulia, namun berbagai kendala tadi tentu perlu dipikirkan. Keinginan
tersebut tentu harus gayung bersambut dengan PT dimanapun dengan upaya serius
membentuk budaya ilmiah. Budaya ilmiah tersebut harus dilakukan melalui proses
secara massif lewat ruang perkuliahan atau forum ilmiah lainnya.
Kemendikbud dalam hal ini DIKTI
juga harus mendorong tumbuhnya budaya ilmiah dalam civitas akademik PT. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan memberikan fasilitas yang memadahi dan memberikan
ajang kreasi yang mampu menumbuhkan budaya ilmiah itu sendiri. Sejauh ini
berapa besar dana hibah penelitian yang diberikan, khususnya kepada mahasiswa
S-1? Berapa banyak mahasiswa yang dilibatkan dalam berbagai penelitian?
Seberapa besar apresiasi yang diberikan kepada mahasiswa-mahasiswa berprestasi
dengan karya ilmiahnya?
Menumbuhkan budaya akademik yang
demikian tentu perlu waktu dan tentu saja tidak bisa instan. Kini kembali
kepada pada pemegang kebijakan bagaimana mendorong terwujudnya hal tersebut.
Kebijakan publikasi karya ilmiah sebagai syarat kelulusan tentu bukan
satu-satunya obat mujarab untuk mengatasi kegalauan akademik kita. Namun
menumbuhkan budaya akademik dengan proses yang tepat akan menjadi salah satu
solusi.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat harian cetak Republika, 20 Februari 2012, tentu saja dengan versi koran yang telah diedit. Tulisan ini saya tampilkan lagi dalam versi asli yang belum diedit pihak redaktur koran.
Komentar
Posting Komentar