Oleh Sukron Ma’mun
MASA kampanye calon presiden dana
calon wakil presiden (capres-cawapres) hari ini 4 Juli, berakhir. Kesempatan
bagi masing-masing capres-cawapres untuk melakukan pendekatan pada calon
pemilih tinggal menyisakan hitungan jam.
Dalam kondisi seperti inilah harus ada cara jitu untuk menembak calon pemilih pada saat-saat menentukan ini. Ibarat dalam sebuah pertarungan, seorang pendekar akan mengeluarkan jurus pamungkas untuk melumpuhkan lawan-lawannya. Maka apakah yang akan dilakukan oleh pasangan capres-cawapres kali ini?
Data yang dikeluarkan oleh sejumlah lembaga survei sementara masih mengunggulkan pasangan SBY-Boediono. Sementara pasangan JK-Wiranto dan Mega-Prabowo menguntit di belakang. Bahkan salah satu lembaga survei, yang kemudian belakangan dituding sebagai lembaga konsultan politik SBY-Boediono mengeluarkan prediksi kemenangan bagi SBY-Boediono dalam satu putaran. Tak pelak pernyataan ini menuai kontroversi dalam masyarakat dan juga memicu ”perang dingin” antartim sukses.
Terlepas dari hal itu beberapa lembaga survei dan polling SMS memang masih mengunggulkan kemenangan pasangan SBY-Boediono. Kenyataan inilah yang membuat tim sukses masing-masing pasangan terus mengupayakan ”jurus pamungkas” pada masa akhir kampanye. Upaya ini tampak diwujudkan dalam beberapa cara, pertama, melakukan kampanye hitam (black campaign). Kampanye hitam atau kampanye negatif nampaknya menjadi cara cukup jitu dalam mengubah persepsi calon pemilih.
Rainer Adam, Direktur Good Governance Friedrich-Naumann-Stiftung (2008) mengungkapkan kampanye hitam merupakan cara memojokkan lawan dengan berita negatif.
Kampanye Hitam
Dalam penelitian, Rainer Adam, mengungkapkan model kampanye negatif hampir menjadi pilihan seluruh kandidat di berbagai belahan negara. Bahkan model kampanye hitam justru menjadi cara efektif menarik simpati calon pemilih. Model kampanye hitam tidak hanya terjadi pada negara-negara berkembang, bahkan juga terjadi di negara-negara maju.
Di Amerika sendiri pada masa pemilihan presiden tahun lalu, kampanye hitam juga menjadi salah satu pilihan bagi masing-masing kandidat. Bahkan modal terbesar kampanye harus dikeluarkan untuk kepentingan kampanye hitam (black campaign).
Adam mencontohkan berapa dana yang harus dikeluarkan oleh masing-masing partai untuk melakukan kampanye hitam. Partai Republik mengeluarkan 88 juta dolar AS dan Partai Demokrat 73 juta dolar. Sementara dana kampanye positif tidak ada separo. Bahkan hasil evaluasi paro waktu kampanye pemilihan presiden di Amerika mengungkapkan 90 persen kampanye negatif dan 10 persen positif.
Pada masa pilpres ini nampaknya model kampanye hitam juga menjadi bagian yang cukup dominan. Meskipun intensitas dan kualitas ”kehitamannya” tidak terlalu kuat, namun para tim sukses nampaknya sangat menyukai. Kubu SBY-Boediono menjadi pasangan paling banyak diserang dan menyerang.
Berdasarkan riset yang dilakukan Strategy Public Relation (PR) menyatakan bahwa kubu SBY-Boediono mendapat serangan kampanye negatif sebanyak 163 kali dan menyerang 128 kali. Adapun JK-Wiranto (JK-Win) 89 kali menyerang dan diserang, serta Mega-Prabowo diserang sebanyak 78 dan menyerang sebanyak 67 kali (Republika, 30/06/09).
Kedua, meningkatkan intensitas pendekatan persuasif. Model pendekatan ini meskipun telah dilakukan dalam kurun waktu yang lama, akan sangat efektif jika dilakukan dalam kondisi lawan lemah. Kelemahan-kelemahan lawan politik inilah yang terus dicari dan dijadikan bahan kampanye untuk melakukan serangan. Bahkan tidak jarang dijadikan bahan kampanye negatif untuk menjatuhkan lawan.
Belakangan ini misalnya kita disuguhi kasus kampanye negatif terhadap kubu SBY-Boediono mengenai agama istri cawapres Boediono. Terlepas dari siapa yang mengembuskan isu tersebut, tentu kampanye negatif memiliki efek negatif dan positif bagi kandidat tersebut.
Sehingga kampanye negatif pada tataran tertentu sebenarnya tidak dilakukan oleh pihak lawan, namun dilakukan oleh pihak terkait. Hal ini dimaksudkan untuk meraih simpati publik bahwa dirinya sedang dalam kondisi ”teraniaya”, seraya melakukan serangan balik dengan pencitraan diri dan janji program.
Menebar Janji
Ketiga, jurus pamungkas yang banyak digunakan oleh tim dan kandidat adalah menebar janji dan pesona citra. Tebar janji kampanye merupakan hal lumrah, namun nampaknya masyarakat telah pandai membaca situasi. Namun inilah yang terus dilakukan oleh ketiga pasang capres-cawapres kali ini. Di ujung masa kampanye ini JK-Wiranto meluncurkan program MAMPU (Modal Usaha Mandiri untuk Pemuda). Program ini dimaksudkan untuk merebut hati kalangan muda.
Tim Mega-Prabowo nampaknya masih konsisten dengan delapan program unggulannya. Delapan program ini sebenarnya juga bagian dari jurus pamungkas kampanye Prabowo menjelang akhir pemilu legislatif lalu.
Tim SBY tergolong kandidat yang tidak banyak mengumbar janji. SBY lebih banyak melakukan pencitraan melalui capaian-capaian pemerintahannya.
Upaya ini dinilai cukup efektif untuk mengikat pilihan massa. Hal ini dilakukan berdasarkan hasil survei tim, massa pendukung SBY masih cukup tinggi.Tetapi semua tergantung pada lima menit di balik bilik 8 Juli nanti. (35)
––Sukron Ma’mun, alumnus S-2 Sosiologi UGM Yogyakarta (/)
Catatan: tulisan ini pernah dimuat harian Suara Merdeka
pada 04 Juli 2009. Tulisan ini dapat
diakses pula di http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/07/04/70928/Jurus-Pamungkas-Para-Capres
Komentar
Posting Komentar